The Story of Indonesian Heritage

PG Sempalwadak dalam Kenangan

Melimpahnya produksi tebu di Kabupaten Malang paska berakhirnya sistem tanam paksa (Cultuurstelsel) pada 1870, Pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan ijin pembangunan pabrik gula kepada empat pengusaha asing. Salah satunya adalah pendirian PG Sempalwadak (Suikerfabriek Sempalwadak).
Pemegang konsesi pendirian PG Sempalwadak pada waktu itu tidak segera mewujudkan investasinya lantaran masih mengumpulkan kreditornya untuk mewujudkan pembangunan pabrik gula tersebut.  A.W. De Rijke dari Firma De Rijke, Groskam & Co yang berbasis di Belanda mulanya mendirikan Soerabaja Bank & Trading Company, dan mendirikan PG Klampok pada akhir 1880-an. Baru kemudian membangun PG Sempalwadak pada 1891.

Traktor dengan bajak multi alur di kebun-kebun tebu PG Sempalwadak (Sumber: https://commons.wikimedia.org/)

Pendanaan utama Firma De Rijke, Groskam & Co berasal dari Deichmann & Vom Rath, yaitu sebuah perusahaan yang berbasis di Amsterdam, Belanda, yang terlibat dalam perdagangan gula. Dalam perjalanannya ternyata firma tersebut tidak memperlihatkan peningkatan kinerja yang bagus dalam perihal keuangannya, sehingga akhirnya terjadi likuidasi terhadap Soerabaja Bank & Trading Company pada 1895 dan pabrik-pabriknya diambil oleh kreditornya, seperti Assembagoes (dibuka tahun 1885), Baron (1890), Pamottan (awal tahun 1890-an), dan lain-lainnya.
Setelah mengunjungi pabrik-pabrik yang baru diperoleh pada tahun 1896, Direktur Deichmann & Vom Rath memutuskan untuk mempertahankan dan membiayai beberapa ekspansi Sempalwadak dan Assembagoes. Kedua pabrik gula itu kemudian dimasukkan ke dalam “Suikercultuur Maatschappij” (Perusahaan Perkebunan Gula).

Menyeleksi tebu di lingkungan PG Sempalwadak (Sumber: https://commons.wikimedia.org/)

Sementara itu PG Baron dijual ke Liem Tik Koei, PG Kloerahan dijual ke Han Hoo Lan dan Han Hoo Tong, yang kemudian digabungkan dengan PG Pleret menjadi PG Pleret-Kloerahan. Sedangkan, Pamottan ditutup dan Klampok menjadi tidak jelas kepemilikannya.
Setelah diakuisisi, Firma Deichmann & Vom Rath mengambil peran aktif dalam pengelolaan PG Sempalwadak maupun Assembagoes. Firma itu juga yang menunjuk orang untuk menjadi Administrator maupun Techinal Adviser di PG Sempalwadak.
PG Sempalwadak selain membeli tebu dari petani tebu lokal dan pedagang tebu, juga menanam tebu sendiri di lahan seluas 280 ha yang dimilikinya maupun lahan yang disewa dari penduduk desa di sekitar pabrik. Untuk mengangkut tebu ke lokasi pabrik, PG Sempalwadak membangun jalur lori (decauvile line) yang panjangnya mencapai 88,5 kilometer. Dalam peta lawas juga terlihat bahwa pada jalur tram Malang Stoomtram Maatschappij (MSM) antara Stasiun Kotalama - Stasiun Gondanglegi, dulu terdapat percabangan menuju ke lingkungan PG Sempalwadak.
Pabrik mencapai produksi puncaknya pada tahun 1925 di tengah-tengah harga komoditas gula di pasaran internasional masih tinggi. Namun kemudian produksi pabrik itu mengalami penurunan yang cukup tajam pada tahun 1931. Hal ini disebabkan adanya depresi dunia pada waktu itu.

Peta lawas percabangan jalur Malang Stoomtram Maatschappij menuju PG Sempalwadak (Sumber: Universiteit Leiden, Nederland)

Depresi dunia 1930-an menimbulkan situasi yang sulit bagi ekonomi di seluruh dunia dan Hindia Belanda dan terutama pada industri perdagangan ekspor. Harga komoditi perdagangan di pasar dunia merosot tajam demikian pula permintaannya. Banyak dari pabrik gula itu terpaksa menutup usahanya tak terkecuali PG Sempalwadak. Akhrinya pada tahun 1933, PG Sempalwadak terpaksa ditutup.
Kemudian pada tahun 1936 Firma Deichmann & Vom Rath selaku pemilik menjual pabrik dengan segala prasaranannya kepada PG Kebon Agung. Nasibnya serupa dengan PG Panggungrejo yang berada di Kepanjen yang kemudian juga dibongkar (dismantled). Oleh karena itu, kedua pabrik itu tak memiliki jejak secara utuh untuk bangunannya.
Namun demikian, nasib untuk PG Sempalwadak masih sedikit beruntung. Meskipun lokasi pabriknya sudah rata dengan tanah, akan tetapi pabrik itu masih meninggalan rumah-rumah lawas yang dulu pernah dihuni oleh para karyawan pabrik, dibandingkan dengan PG Panggungrejo yang sudah tak berbekas sama sekali. *** [230320]

Kepustakaan:
Hartveld, Aard J.  (1996).  Raising cane : linkages, organizations and negotiations in Malang's sugar industry, East Java.  Delft :  Uitgeverij Eburon. Diunduh dari https://edepot.wur.nl/138386
Wiseman, R. (Roger) (2001). Three crises : management in the colonial Java sugar industry 1880s-1930s. Diunduh dari https://digital.library.adelaide.edu.au/dspace/handle/2440/21822
https://commons.wikimedia.org/wiki/File:COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Suikerriet_selectie_sempal_wadak_TMnr_10011644.jpg
https://commons.wikimedia.org/wiki/File:COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Veelscharige_ploeg_met_rupsbandtractor_op_ongelijk_terrein_Sempalwadak_TMnr_10010963.jpg

Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami