Pada
zaman dulu, orang-orang tua di Jakarta mengenal Jatinegara dengan sebutan Meester Cornelis. Sebutan ini diambil
dari nama seorang kaya dari Pulau Lontar, Banda, Maluku, yang bernama Cornelis
Senen. Ia adalah orang pribumi. Setelah tempat asal kelahirannya Banda
dihancurkan oleh Coen maka ia pindah ke Batavia. Selama berada di Batavia ia
menjadi guru Injil di sana, melayani jemaat-jemaat yang berbahasa Melayu dan
Portugis. Mengingat tugasnya yang begitu mulia maka ia kemudian hari diangkat
menjadi pendeta. Walaupun setelah mengalami ujian dihadapan pendeta-pendeta
dari Barat dan dinyatakan tidak lulus akan tetapi ia tetap bekerja dengan setia
sampai akhir hayatnya untuk melayani umat.
Pada
waktu itu, wilayah Meester Cornelis
masih berupa hutan-hutan yang subur. Hal ini wajar, karena wilayah ini dilalui
oleh sungai Ciliwung yang memberikan banyak manfaat bagi keadaan alam di sana. Setelah
Cornelis Senen berada di Batavia, ia diberi kekuasaan penuh oleh Belanda untuk
mengelola dan memberdayakan wilayah kekuasaannya. Wujud pemberdayaan wilayah
tersebut selama di tangan Cornelis Senen adalah dengan memanfaatkan dan
mengelola hutan-hutan yang ada, kemudian membuka lahan-lahan perkebunan di
wilayah itu. Hal ini dilakukan dengan mempekerjakan penduduk sekitar, yang
kemudian penduduk diharuskan menyerahkan sebagian hasilnya kepada Cornelis
Senen. Kebijakan yang dilakukan oleh Cornelis Senen dalam memberdayakan wilayah
tersebut lebih banyak menguntungkan penduduk sekitar, sehingga mereka dengan
senang hati bekerja pada Cornelis Senen. Hal itulah yang menyebabkan wilayah
tersebut berkembang pesat walaupun termasuk daerah pinggiran pusat kota
Batavia. Kemudian sepeninggal Cornelis Senen, namanya diabadikan sebagai nama
wilayah yang termasuk daerah penguasaannya. Sebutan Meester oleh orang biasa tersebut, sebagai bentuk penghargaan
tertinggi penduduk sekitar terhadap orang yang berjasa dalam membangun wilayah
tersebut menjadi wilayah pinggiran kota Batavia yang maju dan berkembang. Maka,
daerah tersebut akhirnya dikenal oleh penduduk sekitar dengan sebutan Meester Cornelis.
Nama
Jatinegara baru muncul pada tahun 1942, ketika pasukan Jepang menduduki Hindia
Belanda. Nama Meester yang terlalu
berbau Belanda mulai dihapus dan diganti menjadi Jatinegara. Sejak itulah, baru
nama Meester Cornelis perlahan menghilang dari telinga orang-orang tua, dan telinga
mereka menjadi akrab dengan Jatinegara sampai sekarang.
Bentuk kemajuan dan perkembangan yang tampak di wilayah Meester Cornelis (sekarang menjadi Jatinegara) adalah terdapatnya beberapa fasilitas umum yang digunakan sebagai sarana pendukung bagi kegiatan dan aktivitas masyarakat di sekitar wilayah tersebut. Sarana pendukung yang ada untuk kegiatan dan aktivitas masyarakat saat itu, antara lain stasiun kereta api dan jalur trem (kendaraan khusus yang mengenakan rel, hanya saja jalurnya bercampur dengan kendaraan biasa) yang digunakan sebagai sarana trasportasi saat itu, pasar pada saat itu difungsikan sebagai tempat melakukan aktivitas jual beli, dan gereja yang difungsikan sebagai tempat melakukan peribadatan jemaat Kristiani pada saat itu.
Salah
satu bangunan gereja yang masih berdiri kokoh dan megah di wilayah Jatinegara
saat ini adalah Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Koinonia.
GPIB ini terletak di Jalan Matraman Raya No. 216 Kelurahan Bali Mester,
Kecamatan Jatinegara, Kota Jakarta Timur, Provinsi DKI Jakarta. Lokasi Lokasi GPIB
ini berada di penghujung Jalan Matraman yang kemudian terbelah menjadi dua
jalan, yaitu Jalan Mataram dan Jalan Jatinegara Barat, tak jauh dari Halte
Busway Kebon Pala.
Menurut
sejarahnya, GPIB Koinonia ini dibangun pada 28 Maret 1889 dengan bentuk yang
masih cukup sederhana. Kemudian direnovasi pada tahun 1911-1916 atas sumbangsih
dari Keuchenius. Seperti disebutkan A. Heuken dalam bukunya, Gereja-Gereja Tua di Jakarta (Yayasan
Cipta Loka Caraka, Jakarta, 2003), sekitar awal 1900-an seorang pendeta ultra
liberal menyampaikan kotbah di Willemsker (sekarang Gereja Immanuel di kawasan
Jalan Merdeka Timur, Gambir, Jakarta Pusat) yang membuat marah seorang bernama
Keuchenius. Dia adalah mantan Ketua Mahkamah Tinggi di Batavia.
Keuchenius
akhirnya tidak mau datang lagi ke Willemskerk,
dan dia menyumbang dana cukup besar untuk membangun rumah peribadatan di
kawasan Meester Cornelis. Maka
berdirilah sebuah gereja yang diberi nama Bethelkerk
in Meester Cornelis te Batavia, atau yang biasa disingkat menjadi Gereja
Bethel. Bethel berarti Bait Allah
atau Rumah Allah.
Pada
1948, Gereja Bethel ini masuk dalam tata kelola Indische Kerk, yaitu Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat
(GPIB). GPIB didirikan pada 31 Oktober 1948, yang pada waktu itu masih
menggunakan bahasa Belanda, De Protestantse
Kerk in Westelijke Indonesie, berdasarkan Tata Gereja dan Peraturan Gereja
yang dipersembahkan oleh proto Sinode kepada Badan Pekerja Am (Algemene
Moderamen) Gereja Protestan Indonesia. Sejak itu, nama Gereja Bethel pun
kemudian diganti menjadi GPIB Bethel Jemaat Djatinegara.
Pada
1 Januari 1961, nama gereja ini berganti lagi menjadi GPIB Jemaat Koinonia, dan
sampai sekarang nama tersebut masih digunakan. Nama Koinonia ini diambil dari bahasa Ibrani, yang berarti Persekutuan. Berubahnya
nama menjadi GPIB Jemaat Koinonia ini terjadi sejak adanya otonomi terhadap
gereja-gereja. Perubahan nama menjadi GPIB Jemaat Koinonia bertujuan untuk
memperluas wilayah pelayanan gereja terhadap jemaatnya. Dengan pelayanan yang
semakin luas cakupannya maka wilayah-wilayah tersebut nantinya akan menjadi
bakal jemaat yang akan dilayani dan dibina agar menjadi jemaat yang berdiri
sendiri.
GPIB
Jemaat Koinonia ini memiliki desain dan bentuk yang sederhana serta tidak
rumit. Bentuk dan denah bangunan memiliki pola simetris. Bangunannya mempunyai
tiga lantai. Lantai pertama merupakan tempat ruang utama berada, dan pada
lantai kedua merupakan tempat menampung jemaat apabila lantai pertama atau
ruang utama tidak bisa menampung jemaat lagi. Selain itu, fungsi lain dari
lantai kedua ini adalah sebagai tempat untuk paduan suara jika hari ibadah tiba
atau hari-hari besar datang. Sedangkan, lantai ketiga dari gereja ini merupakan
ruang doa, tempat ini merupakan tempat khusus, dan tidak sembarang orang bisa
masuk ke dalam ruang ini tanpa izin dari pengelola gereja tersebut.
Gereja
ini memiliki empat anak tangga yang berada di setiap sudut bangunan. Keempat
anak tangga ini menjadi penghubung tiap lantainya. Dua buah anak tangga yang
berada di sisi depan bangunan merupakan penghubung antara lantai satu dengan
lantai kedua, sedangkan dua buah anak tangga yang berada di belakang bangunan
gereja merupakan penghubung antara lantai pertama dengan lantai ketiga. Empat
lokasi anak tangga yang berada di setiap sudut bangunan gereja membuatnya
terlihat seperti empat buah menara yang mengapit bangunan utama apabila
terlihat dari luar bangunan. Bagian dalamnya berbentuk salib simetri, yang
menjadi letak jemaat berdoa pada waktu diadakan misa.
Gereja
tiga laintai ini ini masuk dalam kategori benda cagar budaya (BCB) pada 30
September 1997. Sedangkan, pengajuan untuk menjadi bangunan BCB dilakukan pada
Februari 1992 berdasarkan surat dari Dinas Tata Bangunan dan Pemugaran
Pemerintah DKI Jakarta tentang permohonan untuk pelestarian bangunan GPIB
Jemaat Koinonia, yang ditandatangani oleh Pendeta Iswiadji.
Bangunan
gereja ini akhirnya memperoleh plakat sebagai bangunan sadar pelestarian budaya
untuk pemeliharaan dan pemugaraan lingkungan dan BCB di Provinsi DKI Jakarta
pada 2005, yang disahkan oleh Kepala Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi
DKI Jakarta. Selain itu, bangunan gereja ini juga menjadi salah satu dari 60
bangunan terpilih yang menjadi bangunan penting dalam sejarah perkembangan kota
Jakarta. Keaslian bangunan GPIB Jemaat Koinonia yang masih terawat sampai saat
ini, memperlihatkan bahwa bangunan ini merupakan salah satu aset sejarah
perkembangan kota Jakarta. *** [210416]
Kepustakaan:
A. Heuken. 2003. Gereja-Gereja Tua di Jakarta. Jakarta:
Yayasan Cipta Loka Caraka
Rinno Widianto, 2009. Gereja
Koinonia, Meester Cornelis Jatinegara: Gaya dan Ragam Hias, dalam Skripsi
di FIB UI, Depok
https://id.wikipedia.org/wiki/Jatinegara,_Jakarta_Timur
http://jakartapedia.bpadjakarta.net/index.php/Gereja_Koinonia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar