Bangunan
Gereja Kristen Indonesia (GKI) Kwitang merupakan bangunan peribadatan
peninggalan zaman kolonial Belanda di Jakarta. Gereja berasal dari bahasa
Portugis ‘igreja’ yang berasal dari
kata dalam bahasa Yunani ‘eklesia’.
Kata ‘eklesia’ memiliki arti jemaat
yang dipanggil keluar dari dunia untuk menjadi milik Tuhan.
Dalam
bukunya, History of Architecture (1995),
Spiro Kostof menjelaskan bahwa definisi gereja adalah bangunan keagamaan umat
Kristiani yang digunakan untuk beribadah para jemaatnya. Gereja di Indonesia,
khususnya di Jakarta jumlahnya cukup banyak dengan sejarah dan gaya arsitektur
yang beragam. Adapun salah satu bangunan gereja lawas di Jakarta adalah GKI Kwitang. Gereja ini terletak di Jalan
Kwitang No. 28 Kelurahan Kwitang, Kecamatan Senen, Kota Jakarta Pusat, Provinsi
DKI Jakarta. Lokasi gereja ini berada di samping Kantor Hukum Ananta
& Rekan, atau di sebelah barat Bank Artha Graha.
Bangunan
GKI Kwitang ini semula dikenal dengan Gereformeerde
Kwitangkerk. Gereformeerde adalah
nama yang biasanya dipakai untuk bagian gereja Protestan yang berpokok pada
pembaruan (reformasi), meskipun “reformasi” berarti “pembaruan (bentuk)” dan
Reformasi Gereja pertama dilangsungkan oleh Martin Luther King, tetapi nama Gereformeerde hanya dipergunakan bagi
gereja Calvinis saja (Heuken, 2003).
Riwayat umat Gereformeerde yang berpusat di Kwitang sejak tahun 1870-an, penuh dengan kejadian yang tak terduga. Gereja ini menarik orang Protestan yang kurang puas dengan liberalisme (vrijizinnigheid) dan kemandegan Indische Kerk pada abad ke-19. Pada tahun 1873, Christelijke Gereformeerde Kerk di negeri Belanda mengutus Zendeling E. Haah untuk memberitakan Injil di kalangan orang-orang Belanda di Batavia. Kemudian terbentuklah Christelijke Gereformeerde Kerk van Batavia.
Selanjutnya,
Zendeling E. Haan membeli rumah bambu untuk dijadikan pastori. Berkat bantuan
Ny. R. Rijks, Nn. Hofland dan Ny. Blankert, di halaman pastori dibangun kelas
sekolah dan rumah ibadah sederhana dari kayu murahan. Kebaktian pertama
dilaksanakan pada 5 November 1876 dan dihadiri sekitar 50 orang. Lalu, pada 17
Juli 1877 diresmikanlah jemaat di Kwitang sebagai Gereja Gereformeerde Kwitang yang berbahasa Belanda. Anggotanya terdiri
dari orang-orang Eropa, Jawa, Ambon dan orang Tionghoa yang menetap di Batavia.
Dewan Jemaat dibentuk dan dibagi dua untuk kegiatan umat yang berbahasa Belanda
dan yang berbahasa Melayu. Pada 1878 Zendeling E. Haan memberi kesempatan
kepada 3 orang pribumi, yaitu Jacobus, Benjamin, dan Ismael untuk mengikuti
pendidikan di Sekolah Guru Injil agar selanjutnya mereka dapat membantu
melayani jemaat yang berbahasa Melayu.
Pada
1886 gereja-gereja di Belanda mengutus Ds. Huysing untuk menggantikan Zendeling
E. Haan. Di bawah penggembalaan Pendeta Huysing, bangunan gereja yang permanen.
Gaya arsitektur gereja permanen tersebut bercorak Indische Empire Style. Bagian tampak muka berbentuk gevel yang ditopang oleh empat pilar
besar dan tinggi model Tuscan. Di
tengah gevelnya terdapat lingkaran berlobang. Pintu utama gereje tersebut ada
tiga buah, besar dan tinggi serta atasnya berbentuk lengkungan. Secara
keseluruhan, bangunan gereja tersebut berbentuk memanjang ke belakang.
Pada 1901 Ds. D.J.B. Wijers tiba di Batavia menggantikan Pendeta Huysing. Pendeta Wijers diberi tugas memperhatikan jemaat berbahasa Belanda, di samping juga memperhatikan jemaat pribumi berbahasa Melayu. Lalu, pada 1911 Ds. L. Tiemersema diangkat sebagai pendeta pembantu yang khusus melayani jemaat berbahasa Melayu.
Pada
1921 bangunan gereja ini direnovasi dengan menggunakan hasil rancangan dari Ir.
F.L. Wiemans, sorang arsitek di Hnidia Belanda lulusan Technical High School Delft yang merupakan rekan seangkatan Henri
Maclaine Pont dan Thomas Karsten. Dalam pengerjaan fisik bangunan gereja ini,
Wiemans melibatkan teman-temanya, yaitu J. Abell dan Ir. W.F. Pichel, yang
tergabung dalam Het Bureau Wiemans, Abell
en Pichel te Batavia.
Renovasi
gereja ini selesai pada 1924 dengan tetap mempertahankan ruang utama. Renovasi
tersebut dilakukan untuk menambah ruang baru di bagian selatan untuk mimbar
konsistori serta menambah ruang di saya kanan mimbar. Perubahan tersebut juga
dilakukan pada fasad bangunan gereja. Semula bergaya Indische Empire Style, dan setelah dilakukan perombakan, bagian fasad
gereja ini dipengaruhi oleh gaya Art
Nouveau dan Art Deco. Hal ini
dapat dilihat dari penggunaan ornamen berbentuk geometris dan penggunaan kaca
patri.
Pada
11 Agustus 1929 jemaat gereja Gereformeerde
berbahasa Melayu didewasakan dan digembalakan oleh pendeta pribumi, selanjutnya
pada November 1930 Pendeta Isak Siagian ditahbiskan sebagai pendeta pertama di
Gereja Gereformeerde Melayu Kwitang
yang berbahasa Melayu, yang kemudian dikenal dengan Gereja Melayu Kwitang (pada
saat itu pada pagi hari dimanfaatkan untuk ibadah dalam bahasa Belanda dan
gereja dalam bahasa Melayu bisa melakukan ibadah pada sore harinya).
Pada
saat revolusi kemerdekaan, terjadi penurunan jumlah jemaat. Maka pada tahun
1945 Gereja Melayu Kwitang bergabung dengan Tiong
Hoa Kie Tok Kauw Hwee (THKTkH) atau Gereja Tiong Hoa di Jawa Tengah.
Setelah Indonesia merdeka, orang-orang Belanda banyak yang kembali ke negeri
asalnya. Kekosongan pendeta inilah kemudian didatangkan Pendeta A.A. Subana
(Liem Tjiauw Liep) dari GKI Karangsaru Semarang, untuk memimpin umat yang masih
berbahasa Belanda.
Berkat
bantuan anggota jemaat baru dari Jawa Tengah, pada tahun 1948 Gereja Melayu
Kwitang kembali mencapai kemandirian. Pada tahun 1956 diputuskan dalam Sidang
Sinode VI di Purwokerto bahwa Gereja Gereformeerde
Indonesia (CGI) diganti menjadi Gereja Kristen Indonesia (GKI). Hal inilah
juga yang menyebabkan Gereja Melayu Kwitang kemudian berubah nama menjadi GKI
Kwitang.
Pendeta
Liem Tjiauw Liep tidak lagi aktif pada tahun 1961. Kemudian, Pendeta Sam Gosana
(Go Hian Sing) kembali ditarik ke GKI Kwitang pada Januari 1967, dan sebagai
hasil pembicaraan dengan T.B. Simatupang dengan Komisi Usaha Gereja Toraja,
jemaat kemudian memanggil Pendeta Daud Palilu dan meneguhkannya pada 10 Mei
1967. Pada masa itu, jumlah jemaatnya meningkat menjadi 3.500 orang.
Pada
1993 jemaat GKI Kwitang mencakup 7.000 orang beriman yang berada di wilayah DKI
Jakarta, dan sampai saat ini berdasarkan data jemaat tiap minggunya yang
dicatat oleh majelis jemaat, rata-rata berkisar antara 400-500 jemaat yang
datang ibadah tiap minggunya.
GKI
Kwitang yang berdenah membentuk huruf L ini memilki luas bangunan 656 m²
yang berdiri areal lahan seluas 1.913 m². Bangunan GKI Kwitang ini juga
merupakan bangunan cagar budaya yang penetapannnya berdasarkan peraturan yang
dikeluarkan oleh Departemen Kebudayaan dan Pariwisata pada tahun 2005 dengan
nomor PM.13/PW.007/MKP/05. *** [260416]
Kepustakaan:
Nabilah Zata Dini, 2012. GKI Kwitang: Tinjauan Arsitektur dan Pemugaran dalam Rangka Pelestarian
Bangunan Cagar Budaya, dalam Skripsi di FIB UI
http://www.gkikwitang.or.id/tentang-kami/sejarah-gki-kwitang.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar