Satu
hari menjelang lebaran, saya dengan kedua anak wedok berkesempatan keliling di sekitar Baluwarti. Di samping
melihat suasana jalan dalam situasi mudik, kami juga ingin melihat sebuah
bangunan lawas yang ada di lingkungan Baluwarti. Salah satu bangunan kuno yang kami lihat, dipotret dan dicari tahu
kisahnya adalah Kori Brajanala Lor, sebuah pintu besar masuk ke dalam Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Kori Brajanala Lor terletak di Jalan Sasono
Mulyo, Kelurahan Baluwarti, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Surakarta, Provinsi
Jawa Tengah. Lokasi kori ini berada di sebelah selatan Siti Inggil, atau
sebelah utara Kamandungan.
Kori
Brajanala Lor ini dibangun oleh Sri Susuhunan Pakubuwono III, bersamaan dengan
dibangunnya tembok Baluwarti yang dulunya terbuat dari bambu. Tahun berdirinya
bisa dilihat sengkalan memet berupa
ornamen kulit sapi persegi. Ornamen ini dibaca ‘Lulang Sapi Siji’. Lu
dari kependekan kata wolu memiliki
watak 8, lang dari kependekan kata ilang berwatak 0, sapi berwatak 7, dan siji berwatak 1. Akhirnya, diperoleh
susunan angka 8071. Sesuai dengan kaidah dalam membaca sengkalan, cara membacanya yaitu susunan angka tersebut dibalik,
yang berarti 1708 (Tahun Jawa). Tahun Jawa 1708 bila dikonversi ke dalam Tahun
Masehi berarti 1782.
Kori Brajanala Lor memiliki jumlah pembentuk kata yang terdiri dari kori, brajanala, dan lor. Kori berarti pintu, dan brajanala berasal dari kata braja yang berarti ‘landhep’ atau tajam, dan nala berarti ‘hati’. Sedangkan, kata lor bermakna utara. Kori tersebut diberi nama Brajanala mempunyai maksud atau peringatan kepada yang lewat bahwa yang melewati pintu harus menggunakan hati yang tajam dan rasa yang dalam. Tuntunan ini mengajarkan kepada kita bahwa apabila memasuki lingkungan kraton segala tingkah laku serta pemikiran kita harus berdasarkan pada ‘rasa’ atau ketajaman hati.
Menurut
Yosodipuro (1994: 13), pemberian nama kori tersebut mempunyai maksud peringatan
(Jawa: pepenget) kepada siapa saja
yang melalui Kori Brajanala tersebut, agar menggunakan tajamnya akal sampai ke
batin (Jawa: landheping pamikir
minggahing manah). Oleh karena itu, Kori Brajanala ini juga dapat bermakna Osiking Batin. Maka dengan adanya Kori
Brajanala tersebut kita sebagai pengembang budaya Jawa, diingatkan bahwa Tuhan
memberi piranti kepada kita berupa dua macam, yaitu piranti lahir dan piranti
batin. Piranti lahir diperuntukkan memenuhi kebutuhan lahiriah, sedangkan
piranti batiniah digunakan untuk keperluan batiniah. Untuk keperluan batiniah
tersebut, tentunya dengan cara batin, misalnya dengan cara semedi, laku, dan sejenisnya.
Kori
Brajanala ini juga sering disebut dengan Kori
Gapit, karena baik di luar maupun di dalamnya diapit bangsal. Di bagian
luar disebut Bangsal Brajanala, yang terdiri atas Bangsal Brajanala Kiwa
(sebelah kiri) dan Bangsal Brajanala Tengen (sebelah kanan). Sedangkan yang
berada di bagian dalam dinamakan Bangsal Wisamarta, yang terdiri atas Bangsal
Wisamarta Kiwa (sebelah kiri) dan Bangsal Wisamarta Tengen (sebelah kanan).
Bangsal
Brajanala fungsinya adalah untuk tempat jaga abdi dalem jajar Brajanala golongan Keparak Kiwa dan Keparak
Tengen, sedangkan Bangsal Wisamarta fungsinya adalah untuk tempat jaga abdi
dalem jajar Wisamarta golongan Keparak Kiwa dan Keparak Tengen. Wisamarta
berarti penangkal bisa (Jawa: tulak wisa),
siapa saja yang mempunyai niat jahat atau niat tidak baik, apabila akan
memasuki kraton, semua niat yang tidak baik tersebut harus ditinggalkan atau
harus bersih hatinya.
Yang
menarik dari segi bentuk bangunan Kori Brajanala ini, selain berupa pintu
gerbang yang lumayan besar, juga dilengkapi dengan menara lonceng yang berada
di sebelah timur Bangsal Wisamarta Tengen. Menara lonceng, atau yang dalam
bahasa Jawa disebut dengan Panggung
Gentha ini, dulunya dijaga oleh abdi dalem jajar Miji dan Pinilih dari
golongan Keparak. Lonceng tersebut merupakan pemberian dari Belanda, yang
dibunyikan sebagai peringatan atan penanda waktu. *** [240617]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar