Jalan
Drs. Yap Tjwan Bing merupakan jalan kenangan bagi saya tatkala SMA. Pada waktu
kelas 3, saya sering melewati jalan ini untuk menuju sekolah saya, yaitu SMA Negeri 3 Surakarta, yang berada di Kerkhof,
Jagalan. Dulu jalan ini masih bernama Jalan Jagalan. Pada waktu itu, saya juga
tahu kalau di sepanjang jalan itu terdapat bangunan lawas yang berhubungan dengan agama Khonghucu. Hanya saja ketika
itu saya belum mempunyai kamera dan belum mengenal blog, jadi ya sekadar lewat
saja.
Setelah
sekian tahun berlalu, saya berkesempatan lagi untuk menapak tilas jalan
tersebut, dan berkunjung ke sebuah bangunan kuno tersebut yang dikenal dengan
Litang Gerbang Kebajikan. Litang ini terletak di Jalan Drs. Yap Tjwan Bing No.
15 RT. 01 RW. 01 Kelurahan Purwodiningratan, Kecamatan Jebres, Kota Surakarta,
Provinsi Jawa Tengah. Lokasi litang ini berada di dalam kompleks SD Tripusaka,
atau selatan Rumah Potong Hewan Jagalan ± 300 m.
Litang
adalah nama tempat ibadah agama Khonghucu yang banyak terdapat di Indonesia.
Saat ini sudah ada lebih dari 150 litang yang tersebar di seluruh Indonesia
yang berada di bawah naungan Majelis Agama Khonghucu Indonesia (MAKIN) di antaranya
yang berada di Surakarta, atau yang dikenal dengan Kota Solo ini.
Keberadaan
litang ini tidak terlepas dari adanya permukiman masyarakat Tionghoa di Kota
Solo. Keberadaan masyarakat Tionghoa ini telah ada sejak berabad-abad yang
lalu, bersamaan dengan datangnya para pedagang dari Tiongkok semenjak adanya
hubungan perdagangan dengan kerajaan-kerajaan di Nusantara dengan
kerajaan-kerajaan yang berada di daratan Tiongkok kala itu.
Mula-mula, sejumlah masyarakat Tionghoa yang berada di Solo mendirikan Klenteng Tien Kok yang berada di Pasar Gede bersamaan dengan pindahnya Kraton Kartasura Hadiningrat menuju Solo. Kemudian disusul Klenteng Poo An Kiong semasa pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwono IX. Lalu, barulah dibangun Litang Gerbang Kebajikan pada tahun 1918, dan bersamaan itu pula dibentuk Khong Kauw Hwee sebagai lembaga Khonghucu. Khong Kauw Hwee adalah organisasi yang didirikan oleh penganut Khonghucu, yang anggotanya merupakan orang-orang Tionghoa. Tujuan dari organisasi ini untuk memperbaiki adat istiadat dan keimanan orang keturunan Tionghoa yang sudah menyimpang dari ajaran Khonghucu. Selain itu, organisasi ini juga mendirikan sekolah Confusius di lingkungan litang ini. Semula sekolah tersebut berada di litang, kemudian seiring waktu bisa mendirikan di samping litang, yang masih satu halaman. Sekolah tersebut sekarang ini dikenal dengan SD Tripusaka.
Dilihat
dari fasadnya, bentuk bangunan tempat ibadah agama Khonghucu ini sepintas lebih
mirip dengan pendopo daripada klenteng. Tak banyak pernak-pernik atau
ornamen-ornamen yang menghiasi pada fasadnya. Atapnya pun terlihat polos, tidak
tampak huo zhu (mutiara api) dan xing long (naga yang sedang berjalan).
Sebelum
memasuki bangunan utama litang, pengunjung perlu melewati men lou wu, sebuah pintu gerbang untuk masuk ke dalam persil
litang. Pintu gerbang tersebut didominasi warna kuning dan merah. Setelah
melewati men lou wu, pengunjung akan
menapaki sebuah halaman yang cukup luas sebelum menuju bangunan utama litang.
Halaman ini selain digunakan untuk kegiatan yang diadakan oleh pihak litang,
juga dipakai untuk upacara atau kegiatan dari SD Tripusaka.
Memasuki bangunan utama litang, pengunjung akan menjumpai hiolo di depan pintu utama masuk ke dalam litang. Hiolo adalah bejana yang berisi abu yang biasa untuk menancapkan dupa persembahan. Di dalam bangunan utama litang terdapat sebuah altar yang di atasnya ada hiolo yang diapit oleh dua lilin yang lumayan tinggi serta ada Kim Sin Nabi Kongzi atau Khonghucu yang besar. Di altar tersebut, umat Konghucu bisa melakukan sembahyang.
Umat
Khonghucu biasanya melakukan ibadah di litang setiap tanggal 1 dan 15
penanggalan Imlek. Namun ada pula yang melaksanakannya pada hari Minggu dan
hari lain. Hal ini disesuaikan dengan kondisi dan keadaan setempat.
Upacara-upacara hari keagamaan lain seperti peringatan Hari Lahir Nabi
Khonghucu (28 bulan 8 Imlek), Hari Wafat Khonghucu (18 bulan 2 Imlek), Hari
Tangcik (Genta Rohani), dan Tahun Baru Imlek, biasanya juga dilakukan di
litang.
Pada
dekade 60-an, litang ini masih memiliki banyak umat yang mengikuti kebaktian.
Saat itu, umat yang mengikuti kebaktian memenuhi litang, bahkan hingga halaman.
Berbeda dengan keadaan sekarang, umat yang masih mengikuti kebaktian yang
dilaksanakan setiap pagi hanya tinggal puluhan orang saja, dan itu pun sebagian
besar memang telah berusia di atas 50 tahunan.
Konon,
minimnya umat ini tidak terlepas dari kebijakan semasa Orde Baru melalui Inpres
No. 14 Tahun 1967 dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 477 tanggal 18
November 1978. Inpres No. 14 Tahun 1967 melarang segala bentuk agama,
kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa, sedangkan SE Mendagri No. 477 tersebut
hanya mengakui agama resmi negara dengan meniadakan agama Khonghucu. Kedua
kebijakan tersebut secara nyata telah menekan kebebasan beragama bagi
masyarakat Tionghoa. Akibatnya banyak umat Khonghucu yang terpaksa pindah ke
lain agama agar tidak mendapat dikatakan ateis, untuk memenuhi keperluan
pendidikan (ijasah) dan masalah kependudukan (identitas). Tak bisa dipungkiri
bahwa kebijakan tersebut mempunyai implikasi yang sangat signifikan terhadap
perkembangan agama Khonghucu.
Namun
angin segar kembali menggembirakan masyarakat Tionghoa semasa kepemimpinan
Presiden Abdurrahman Wahid yang mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 6
Tahun 2000. Keppres tersebut merupakan pengakuan kembali terhadap agama Khonghucu
dengan memberikan kesempatan lagi untuk berkembang. Selang dua tahun kemudian,
kembali Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan Keppres No. 19 Tahun 2002 yang
menjadikan Hari Raya Imlek sebagai libur nasional. Pengakuan kembali secara
formal ini telah memberikan harapan yang begitu besar bagi agama Khonghucu.
Dengan ditetapkannya Imlek sebagai hari raya bagi agama Khonghucu benar-benar
telah diakui secara sah dan legal sebagai agama ke-enam. *** [260617]
Kepustakaan:
Anggraini, Novita Dian. (2010). Perkembangan Agama Khonghucu di Surakarta (Studi Deskriptif Kualitatif
tentang Sosialisasi pada Keluarga Khonghucu di Surakarta). Skripsi di
FISIPOL UNS Surakarta
Rochmani, Safitri. (2011). Penggunaan Media Gambar untuk Meningkatkan Prestasi Belajar Bahasa Mandarin
Siswa Kelas V di SD Tripusaka Surakarta. Skripsi di FSSR UNS Surakarta
http://www.meandconfucius.com/2010/12/tempat-ibadah-agama-khonghucu.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar