Setelah
mengeksplorasi Panti Wibowo di Kepatihan, peserta rombongan Gelar Wisata
Kampung Kota bergerak menuju ke bagian terakhir kunjungan dari tur wisata
sejarah kampung ini, yaitu SMP Negeri 26 Surakarta. SMP ini terletak di Jalan
Joyonegaran No. 2 RT. 01 RW. 03 Kelurahan Kepatihan Kulon, Kecamatan Jebres,
Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi SMP ini berada di depan Sinar Solo
Advertising, atau sebelah barat SMK Negeri 8 Surakarta (dulu dikenal dengan
SMKI) ±
300 m.
Keberadaan
bangunan SMP Negeri 26 ini tidak terlepas dari munculnya Kepatihan Surakarta di
daerah ini. Kepatihan adalah istilah yang menunjuk kepada tempat tinggal atau
kantor yang digunakan oleh para patih Kraton Kasunanan Surakarta (Rijksbestuurder van Paleis van Soerakarta).
Patih sendiri berarti pejabat yang diangkat oleh Kraton Kasunanan Surakarta
untuk menjalankan roda pemerintahan atas titah
raja, atau dalam istilah sekarang setara dengan Perdana Menteri.
Sebelumnya,
Kepatihan Kraton Kasunanan Surakarta itu berada di Kelurahan Keprabon,
Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta. Lokasinya yang sekarang dikenal dengan
Pura Mangkunegaran. Setelah adanya Perjanjian Salatiga pada 17 Maret 1757,
bangunan Kepatihan yang berada di Keprabon tersebut diminta Raden Mas Said (yang
kemudian bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegoro I) untuk
dijadikan tempat tinggalnya.
Kemudian Kraton Kasunanan Surakarta memindahkan kantor dan tempat tinggal patihnya ke sebuah tempat yang berada di perbatasan dengan wilayah Kota Mangkunegaran dan pinggiran wilayah Nagari Surakarta. Wilayah itu sekarang dinamakan daerah Kepatihan. Pembangunan kompleks Kepatihan yang baru ini dimulai oleh Pepatih Dalem Kanjeng Raden Adipati Mangkupraja I yang kemudian diteruskan oleh penggantinya, yaitu Patih Kanjeng Raden Adipati Sasradiningrat I pada tahun 1769 dengan membangun Dalem Kepatihan.
Konon,
kompleks Kepatihan yang baru itu tidak kalah megahnya dengan Pura
Mangkunegaran. Ada pendopo Kepatihan,
pamedan, masjid, kandang kuda beserta kereta milik patih, dan tembok tinggi
Kepatihan. Kemudian para patih yang menjabat di Kepatihan tersebut, ada yang
berusaha membangun rumah atau dalem
yang berada di kompleks Kepatihan tersebut. Setidaknya masih ada dua bangunan rumah
milik sang patih yang tersisa setelah adanya bumi hangus yang dilakukan oleh
Gerakan Anti Swapraja, yaitu Dalem
Patih Kanjeng Raden Adipati Darmonagoro, dan Dalem Kanjeng Pangeran Arya Adipati Jayanegara. Dalem Patih Darmonegoro berada di
belakang SMK Negeri 8 Surakarta, dan Dalem
Patih Jayanegara berada di sebelah barat SMK Negeri 8 Surakarta.
Dalem Patih Jayanegara inilah yang
sekarang menjadi SMP Negeri 26 Surakarta. Patih Jayanegara merupakan seorang
patih Kraton Kasunanan Surakarta yang menjabat dari tahun 1916 sampai dengan
tahun 1939. Ia menggantikan Patih Sasradiningrat IV yang memasuki pensiun pada
tahun 1916.
Ketika pertama kali diangkat menjadi patih oleh Sampeyandalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Pakubuwono Senopati Ing Ngalogo Ngabdulrahman Sayiddin Panotogomo Ingkang kaping Sedasa, atau akrab dengan sebutan Pakubuwono (PB) X, Patih Jayanegara bergelar resmi Kanjeng Raden Adipati Jayanegara. Kemudian setelah 15 tahun bertugas, Sri Susuhunan Pakubuwono X memberikan gelar pangeran kepadanya. Setelah mendapatkan gelar pangeran, Patih Jayanegara kemudian menyandang gelar baru menjadi Kanjeng Pangeran Arya Adipati Jayanegara. Untuk memberi gelar pangeran kepada patih tersebut, Sri Susuhunan Pakubuwono X harus mendapatkan persetujuan dari pihak Belanda yang berkuasa saat itu, yaitu Gubernur Surakarta J.J. van Helsdingen.
Pemberian
gelar kepada Pepatih Dalem dilakukan
di Sasana Sumewa yang berada di Pagelaran Kraton Kasunanan Surakarta, yang
disaksikan oleh semua punggawa dan abdi
dalem yang hadir. Setelah menerima gelar pangeran, Pepatih Dalem Kanjeng Pangeran Arya Adipati Jayanegara melakukan sungkem kepada Sri Susuhunan Pakubuwono
X dan berjabat tangan dengan Gubernur Surakarta J.J. van Helsdingen. Usai
prosesi pemberian gelar, dilakukan jamuan minum. Pemberian gelar pangeran
kepada Patih Dalem Pakubuwono X ini
terjadi pada hari Senin, 30 Maret 1931 atau bertepatan dengan tanggal 10 bulan
Dulkangidah Jimawal 1861.
Pada tahun 1950-an, Dalem Patih Jayanegara ini dibeli dan dijadikan kompleks sekolah Tionghoa yang bernama Tjong Tjen Tjong Siauw Siak. Bangunan Dalem Patih Jayanegara digunakan untuk kegiatan proses belajar mengajar sekolah Tionghoa tersebut dari tingkat SD sampai dengan SMA kala itu.
Setelah
peristiwa G30S 1965, semua sekolah Tionghoa di Solo ditiadakan termasuk salah
satunya sekolah Tjong Tjen Tjong Siauw Siak. Bangunan sekolah seluas ± 8000 m² itu kemudian diambil alih
oleh tentara. Setelah situasi dan kondisi menjadi normal kembali paska meletus
G30S, bangunan bekas sekolah Tionghoa tersebut diserahkan kepada caretaker/pejabat Kepala STM Persiapan
Negeri 2 Surakarta, atau dikenal dengan STM Negeri Purwonegaran dari Komando
Distrik Militer (Kodim) Surakarta, agar dapat digunakan untuk kegiatan proses
belajar mengajar bagi STM Negeri Purwonegaran yang belum memiliki gedung
sekolah. Pada waktu itu, STM Persiapan Negeri 2 Surakarta masih menumpang di ST
Negeri I dan II yang berada di Purwonegaran (sekarang menjadi SMP Negeri 15
Surakarta). Kegiatan proses belajar mengajar di Kampung Joyonegaran ini
berlangsung hingga menjelang Ujian Negara. Pelaksanaan Ujian Negara bagi
siswa-siswa STM Persiapan Negeri 2 dilaksanakan di gedung ST Negeri 2 yang
berada di Jalan Adi Sucipto, sedangkan siswa-siswa ST Negeri 2 dipindahkan ke
ST lainnya yang ada di Kota Solo sesuai jurusannya masing-masing. Setelah itu gedung
bekas ST Negeri 2 tersebut menjadi gedung STM Negeri 2 Surakarta (sekarang
menjadi SMK Negeri 5 Surakarta).
Setelah ditinggalkan oleh STM Negeri Purwonegaran, bangunan bekas gedung sekolah Tjong Tjen Tjong Siauw Siak dikembalikan ke Kodim Surakarta. Lalu, Kodim Surakarta menyerahkan bangunan gedung tersebut kepada Kepala ST Negeri 6 dan 7 untuk kegiatan proses belajar mengajar. Semula ST Negeri 6 dan 7 berlokasi di Beton, Kampung Sewu, sehingga dulu dikenal dengan ST Beton. Karena sekolahannya mengalami kerusakan akibat banjir bandang yang melanda Kota Solo pada 16 Maret 1966, proses belajar mengajar di Beton sudah tidak memungkinkan lagi. Akhirnya dipindahkan ke Joyonegaran.
Seiring
perjalanannya dalam proses belajar mengajar di Joyonegaran, terbitlah Surat
Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor
0259/O/1994 tentang Alih Fungsi Sekolah Teknik Negeri dan Sekolah Kesejahteraan
Keluarga Pertama Negeri menjadi Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri. Dari
Keputusan Mendikbud ini, ST Negeri 6 dan 7 kemudian berubah atau beralih fungsi
menjadi SMP Negeri 26 Surakarta.
SMP Negeri 26 Surakarta memiliki 24 ruang kelas, masing-masing 8 kelas untuk kelas 7, 8, dan 9. Selain itu, terdapat sejumlah ruangan selain ruang kelas seperti ruang kepala sekolah, ruang tata usaha, ruang guru, ruang ibadah, koperasi, perpustakaan, laboratorium IPA, UKS, aula, ruang penjaga, ruang komputer, kamar mandi, dan gudang.
Pada
waktu peserta rombongan tur wisata sejarah kampung berkunjung ke SMP Negeri 26
Surakarta, kepala sekolah dan salah seorang petugas yang berkarya di sekolah
tersebut mendampingi rombongan berkeliling di kompleks sekolah tersebut. Di
dalam lingkungan SMP Negeri 26 Surakarta, ternyata masih dijumpai Dalem Patih Jayanegara, seperti pendopo, pringgitan, dan kamar para selirnya
yang berjumlah 6 orang. Meski telah berubah menjadi SMP Negeri 26 Surakarta,
bentuk bangunan sebelumnya masih tampak asli. Hanya sedikit mengalami renovasi
dalam hal bentuk, seperti di sekeliling pendopo
dibatasi tembok. Suasana pendopo akan
dirasakan bila kita masuk ke dalamnya, sedangkan bila dilihat dari luar kesan pendopo yang bercorak joglo sudah tidak
kelihatan. Penambahan ruang kelas pun hanya dibangun di sela-sela lahan yang
masih kosong, sehingga Dalem Patih
Jayanegara sebenarnya masih bisa disaksikan kemegahannya sebagai rumah seorang
Patih Kraton Kasunanan Surakarta. ***
[030917]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar