Banyak kota di Pulau Jawa memiliki lapangan terbuka untuk umum berbentuk persegi empat di pusat kota yang disebut alun-alun. Alun-alun merupakan identitas kota maupun kabupaten di Jawa pada umumnya, termasuk di antaranya alun-alun yang terdapat di Kota Malang, yang bernama Alun-alun Merdeka. Alun-alun ini terletak di Kelurahan Kiduldalem, Kecamatan Klojen, Kota Malang, Provinsi Jawa Timur. Lokasi alun-alun ini berbatasan dengan Jalan Merdeka Utara di sebelah utara, Jalan Merdeka Timur di sebelah timur, Jalan Merdeka Selatan d sebelah selatan, dan Jalan Merdeka Barat di sebelah barat.
Menurut sejarahnya, setelah Malang menjadi ibu kota administratif, pada 1882 dibangun sebuah alun-alun di sebelah barat kota lama. Kala itu terdapat perluasan kota ke arah barat dengan perencanaan jalan berorientasi utara-selatan dan timur-barat. Di dalam grid jalanan itu terbentuk blok-blok kotak dan salah satu blok menjadi alun-alun dengan ukuran 175 x 150 meter.
Alun-alun Merdeka ini sedikit berbeda dengan alun-alun kota tradisional Jawa pada umumnya. Jika pada tipologi alun-alun Jawa kantor kabupaten berada di sebelah selatan alun-alun, yang terjadi pada Alun-alun Merdeka ini justru kantor kabupaten yang berada di sebelah timur alun-alun dan kantor asisten residen pada sebelah selatannya. Selain itu, pendopo kantor kabupaten Malang tidak berorientasi ke alun-alun melainkan ke Jalan K.H. Agus Salim di sebelah selatannya sehingga tidak ada kesan bahwa alun-alun merupakan ‘halaman’ bagi kantor kabupaten. Perbedaan karakter ini membuat Alun-alun Merdeka dirancang khusus untuk kepentingan pemerintah Hindia Belanda.
Pembangunan alun-alun Kota Malang oleh pemerintah Hindia Belanda pada awalnya ditujukan untuk membentuk citra kekuasaan kolonial melalui kawasan terbuka tersebut sebagaimana citra kekuasaan Jawa yang terpancar dari tempat serupa. Pencitraan tersebut dilakukan dengan membangun berbagai bangunan dengan gaya arsitektur kolonial untuk kepentingan pemerintah Hindia Belanda di sekitar alun-alun. Bangunan-bangunan tersebut meliputi Kantor Asisten Residen (sekarang berubah menjadi Kantor Pos), penjara (sekarang berubah menjadi Mall Ramayana), Hotel Lapidoth (sekarang Hotel Pelangi), dan Protestantse Kerk (sekarang GPIB Immanuel), di mana di dalamnya terjadi aktivitas-aktivitas dengan kultur kolonial yang sangat kuat yang jauh berbeda dengan kebudayaan Jawa pada masa itu.
Semula memang didesain sebagai square seperti yang ada di Negeri Belanda maupun Eropa pada umumnya. Akan tetapi, pembentukan sebagai puasat kekuasaan bercitra kolonial tersebut kurang berhasil. Karena sejak awal masyarakat pribumi beranggapan bahwa alun-alun merupakan sarana sosialisasi dan penunjang kegiatan ekonomi, seperti berjualan di alun-alun tersebut.
Akhirnya, pemerintah Hindia Belanda berhasrat untuk memindahkan pusat administrasi mereka untuk membentuk citra kekuasaannya tanpa dinodai oleh aktivitas pribumi tersebut. Keinginan itu terwujud setelah keluarnya undang-undang desentralisasi (1913) dan Malang diubah statusnya menjadi gemeente pada tahun 1914. Selanjutnya oleh pemerintah Hindia Belanda, pusat pemerintahan dipindahkan dari alun-alun kota ke kawasan yang saat ini dikenal dengan alun-alun tugu.
Kemudian alun-alun kota yang dulunya sebagai pusat kota dalam hal kekuasaan kolonial, hanya dijadikan sebagai kawasan ekonomi dan kontrol produksi. Pengembangan untuk tujuan ini diwujudkan dengan pendirian sejumlah bangunan dengan fungsi ekonomi dan jasa seperti Javasche Bank (sekarang Bank Indonesia), De Central Kantoor voor de Comptabiliteit (sekarang Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara), Nederlandsch Indische Escompto Maatschappij (sekarang Kantor Pelayanan Pajak Pratama Malang Selatan), maupun Nederlandsch-Indisch Handelsbank (sekarang Bank Mandiri KCP Malang Merdeka).
Kondisi seperti ini akhirnya berlanjut hingga sekarang, kawasan Alun-alun Merdeka tidak terlepas dari aktivitas ekonomi. Bahkan, sejumlah bangunan peninggalan kolonial sebagian telah tergerus dengan hasrat komerisal seperti penjara berubah menjadi Ramayana Mall, dan Societeit Concordia berubah menjadi Kompleks Pertokoan Sarinah serta Kantor Asisten Residen yang berubah menjadi Kantor Pos.
Namun demikian, Kota Malang masih tergolong beruntung masih bisa mempertahankan keberadaan alun-alun kotanya sampai sekarang. Keberadaan alun-alun ini sangat penting karena merupakan bagian dari sejarah perjalanan bagi Kota Malang itu sendiri.
Alun-alun pada masa sekarang ini lebih berfungsi sebagai pusat keramaian atau tempat berkumpulnya masyarakat dari segala lapisan sambil menikmati rindangnya pepohonan yang ada di alun-alun itu. Oleh sebab itu, tampilan alun-alun ini disesuaikan dengan keadaan di sekitar alun-alun. Alun-alun tidak sekadar hamparan rumput di tanah lapang, tapi bermetaforsa dengan kebutuhan akan ruang publik bagi masyarakatnya. *** [210817]
Kepustakaan:
Sari, Astri Anindya. (2013). Transformasi Spasial-Teritorial kawasan Alun-Alun Malang: Sebuah Produk Budaya Akibat Perkembangan Jaman. E-Journal Eco-Teknologi UWIKA Vol. 2, Issue 1, Juli 2013
Menurut sejarahnya, setelah Malang menjadi ibu kota administratif, pada 1882 dibangun sebuah alun-alun di sebelah barat kota lama. Kala itu terdapat perluasan kota ke arah barat dengan perencanaan jalan berorientasi utara-selatan dan timur-barat. Di dalam grid jalanan itu terbentuk blok-blok kotak dan salah satu blok menjadi alun-alun dengan ukuran 175 x 150 meter.
Alun-alun Merdeka ini sedikit berbeda dengan alun-alun kota tradisional Jawa pada umumnya. Jika pada tipologi alun-alun Jawa kantor kabupaten berada di sebelah selatan alun-alun, yang terjadi pada Alun-alun Merdeka ini justru kantor kabupaten yang berada di sebelah timur alun-alun dan kantor asisten residen pada sebelah selatannya. Selain itu, pendopo kantor kabupaten Malang tidak berorientasi ke alun-alun melainkan ke Jalan K.H. Agus Salim di sebelah selatannya sehingga tidak ada kesan bahwa alun-alun merupakan ‘halaman’ bagi kantor kabupaten. Perbedaan karakter ini membuat Alun-alun Merdeka dirancang khusus untuk kepentingan pemerintah Hindia Belanda.
Pembangunan alun-alun Kota Malang oleh pemerintah Hindia Belanda pada awalnya ditujukan untuk membentuk citra kekuasaan kolonial melalui kawasan terbuka tersebut sebagaimana citra kekuasaan Jawa yang terpancar dari tempat serupa. Pencitraan tersebut dilakukan dengan membangun berbagai bangunan dengan gaya arsitektur kolonial untuk kepentingan pemerintah Hindia Belanda di sekitar alun-alun. Bangunan-bangunan tersebut meliputi Kantor Asisten Residen (sekarang berubah menjadi Kantor Pos), penjara (sekarang berubah menjadi Mall Ramayana), Hotel Lapidoth (sekarang Hotel Pelangi), dan Protestantse Kerk (sekarang GPIB Immanuel), di mana di dalamnya terjadi aktivitas-aktivitas dengan kultur kolonial yang sangat kuat yang jauh berbeda dengan kebudayaan Jawa pada masa itu.
Semula memang didesain sebagai square seperti yang ada di Negeri Belanda maupun Eropa pada umumnya. Akan tetapi, pembentukan sebagai puasat kekuasaan bercitra kolonial tersebut kurang berhasil. Karena sejak awal masyarakat pribumi beranggapan bahwa alun-alun merupakan sarana sosialisasi dan penunjang kegiatan ekonomi, seperti berjualan di alun-alun tersebut.
Akhirnya, pemerintah Hindia Belanda berhasrat untuk memindahkan pusat administrasi mereka untuk membentuk citra kekuasaannya tanpa dinodai oleh aktivitas pribumi tersebut. Keinginan itu terwujud setelah keluarnya undang-undang desentralisasi (1913) dan Malang diubah statusnya menjadi gemeente pada tahun 1914. Selanjutnya oleh pemerintah Hindia Belanda, pusat pemerintahan dipindahkan dari alun-alun kota ke kawasan yang saat ini dikenal dengan alun-alun tugu.
Kemudian alun-alun kota yang dulunya sebagai pusat kota dalam hal kekuasaan kolonial, hanya dijadikan sebagai kawasan ekonomi dan kontrol produksi. Pengembangan untuk tujuan ini diwujudkan dengan pendirian sejumlah bangunan dengan fungsi ekonomi dan jasa seperti Javasche Bank (sekarang Bank Indonesia), De Central Kantoor voor de Comptabiliteit (sekarang Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara), Nederlandsch Indische Escompto Maatschappij (sekarang Kantor Pelayanan Pajak Pratama Malang Selatan), maupun Nederlandsch-Indisch Handelsbank (sekarang Bank Mandiri KCP Malang Merdeka).
Kondisi seperti ini akhirnya berlanjut hingga sekarang, kawasan Alun-alun Merdeka tidak terlepas dari aktivitas ekonomi. Bahkan, sejumlah bangunan peninggalan kolonial sebagian telah tergerus dengan hasrat komerisal seperti penjara berubah menjadi Ramayana Mall, dan Societeit Concordia berubah menjadi Kompleks Pertokoan Sarinah serta Kantor Asisten Residen yang berubah menjadi Kantor Pos.
Namun demikian, Kota Malang masih tergolong beruntung masih bisa mempertahankan keberadaan alun-alun kotanya sampai sekarang. Keberadaan alun-alun ini sangat penting karena merupakan bagian dari sejarah perjalanan bagi Kota Malang itu sendiri.
Alun-alun pada masa sekarang ini lebih berfungsi sebagai pusat keramaian atau tempat berkumpulnya masyarakat dari segala lapisan sambil menikmati rindangnya pepohonan yang ada di alun-alun itu. Oleh sebab itu, tampilan alun-alun ini disesuaikan dengan keadaan di sekitar alun-alun. Alun-alun tidak sekadar hamparan rumput di tanah lapang, tapi bermetaforsa dengan kebutuhan akan ruang publik bagi masyarakatnya. *** [210817]
Kepustakaan:
Sari, Astri Anindya. (2013). Transformasi Spasial-Teritorial kawasan Alun-Alun Malang: Sebuah Produk Budaya Akibat Perkembangan Jaman. E-Journal Eco-Teknologi UWIKA Vol. 2, Issue 1, Juli 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar