Lebaran tahun ini memang berbeda dengan lebaran tahun sebelumnya. Lebaran kali ini saya memiliki waktu yang luang untuk melakukan silaturahmi atau halal bihalal dengan leluasa, karena memang baru mulai tahun ini berkesempatan mendapat libur yang cukup panjang.
Lebaran H+4 adalah berkunjung ke rumah teman di daerah Colomadu. Di tengah suasana cengkerama yang hangat dan mengalir, saya pun diajak beranjak menuju ke Warung Tengkleng Kambing “Mbah Min” yang terletak di Jalan Nanasan, Desa Malangjiwan, Kecamatan Colomadu, Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi warung tengkleng ini berada di sebelah selatan perempatan Nanasan, atau sebelah utara PG Colomadu atau yang sekarang dikenal dengan De Tjolomadoe Convention & Heritage.
Di warung itu, saya dipesankan satu porsi oleh teman bernama Agus Setyawan. Di situ, kita melanjutkan mengobrol hingga warungnya tutup sekitar pukul 13. 30 WIB. Memang warung itu cukup laris karena rasa tengklengnya lumayan enak.
Tengkleng merupakan salah satu kuliner khas Kota Surakarta, atau yang dikenal dengan Kota Solo. Diperkirakan masakan tengkleng muncul sekitar abad ke-19. Sejarah terciptanya masakan ini dimulai ketika masa kolonial Hindia Belanda di Solo. Mahalnya daging kembing di masa itu, maka hanya para pembesar Belanda dan orang-orang Eropa yang dapat menikmati daging kambing sedangkan tulang-tulangnya dibuang. Bagi para pribumi yang tidak mampu membeli daging kambing, mereka mencoba memanfaatkan sisa-sisa tulang kambing untuk dimasak dengan bumbu-bumbu sederhana lalu tercipta masakan tengkleng ini. Meskipun hanya tulang, biasanya masih ada sedikit daging yang menempel pada sisi tulang-tulang tersebut.
Tengkleng adalah masakan sejenis sup dengan bahan utama kepala, kaki, dan tulang kambing. Bentuk fisik dari tengkleng berbeda dengan gulai kambing, terutama pada kuahnya. Bila gulai kental maka tengkleng kuahnya encer. Rasa kuah tengkleng kambing ini gurih, asam, manis, asin karena berasal dari campuran berbagai bumbu seperti lengkuas, serai, kemiri, kunyit, bawang merah, bawang putih, daun salam, dan ketumbar.
Masakan ini bisa ditemukan dengan mudah di Solo, seperti Tengkleng Bu Edi di Klewer, Tengkleng Bu Jito Dlidir di Jalan Kolonel Sugiono Banjarsari, Tengkleng di Stadion Sriwedari dan lain-lain. Bahkan di sejumlah warung sate kambing pun sekarang juga banyak yang ikut menyediakan tengkleng, seperti warung sate kambing Pak Kasdi di depan Pasar Ayu Balapan, warung sate kambing Man Gulit di Sondakan maupun warung sate kambing lainnya. Termasuk warung tengkleng Mbah Min ini konon juga belajar dari warung tengkleng milik Bu Edi.
Kini, warung tengkleng semakin berkembang dan marak di daerah lain. Tidak hanya di Kota Solo tapi sudah menyebar ke daerah lainnya seperti Karanganyar, Sukoharjo, Boyolali, dan Yogyakarta. Menunya pun juga disesuaikan dengan permintaan konsumen. Berbagai pilihan ditawarkan seperti tulang iga, kaki, mata, telinga, lidah, pipi, sumsum, otak hingga jeroan kambing. *** [190618]
Lebaran H+4 adalah berkunjung ke rumah teman di daerah Colomadu. Di tengah suasana cengkerama yang hangat dan mengalir, saya pun diajak beranjak menuju ke Warung Tengkleng Kambing “Mbah Min” yang terletak di Jalan Nanasan, Desa Malangjiwan, Kecamatan Colomadu, Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi warung tengkleng ini berada di sebelah selatan perempatan Nanasan, atau sebelah utara PG Colomadu atau yang sekarang dikenal dengan De Tjolomadoe Convention & Heritage.
Di warung itu, saya dipesankan satu porsi oleh teman bernama Agus Setyawan. Di situ, kita melanjutkan mengobrol hingga warungnya tutup sekitar pukul 13. 30 WIB. Memang warung itu cukup laris karena rasa tengklengnya lumayan enak.
Tengkleng merupakan salah satu kuliner khas Kota Surakarta, atau yang dikenal dengan Kota Solo. Diperkirakan masakan tengkleng muncul sekitar abad ke-19. Sejarah terciptanya masakan ini dimulai ketika masa kolonial Hindia Belanda di Solo. Mahalnya daging kembing di masa itu, maka hanya para pembesar Belanda dan orang-orang Eropa yang dapat menikmati daging kambing sedangkan tulang-tulangnya dibuang. Bagi para pribumi yang tidak mampu membeli daging kambing, mereka mencoba memanfaatkan sisa-sisa tulang kambing untuk dimasak dengan bumbu-bumbu sederhana lalu tercipta masakan tengkleng ini. Meskipun hanya tulang, biasanya masih ada sedikit daging yang menempel pada sisi tulang-tulang tersebut.
Tengkleng adalah masakan sejenis sup dengan bahan utama kepala, kaki, dan tulang kambing. Bentuk fisik dari tengkleng berbeda dengan gulai kambing, terutama pada kuahnya. Bila gulai kental maka tengkleng kuahnya encer. Rasa kuah tengkleng kambing ini gurih, asam, manis, asin karena berasal dari campuran berbagai bumbu seperti lengkuas, serai, kemiri, kunyit, bawang merah, bawang putih, daun salam, dan ketumbar.
Masakan ini bisa ditemukan dengan mudah di Solo, seperti Tengkleng Bu Edi di Klewer, Tengkleng Bu Jito Dlidir di Jalan Kolonel Sugiono Banjarsari, Tengkleng di Stadion Sriwedari dan lain-lain. Bahkan di sejumlah warung sate kambing pun sekarang juga banyak yang ikut menyediakan tengkleng, seperti warung sate kambing Pak Kasdi di depan Pasar Ayu Balapan, warung sate kambing Man Gulit di Sondakan maupun warung sate kambing lainnya. Termasuk warung tengkleng Mbah Min ini konon juga belajar dari warung tengkleng milik Bu Edi.
Kini, warung tengkleng semakin berkembang dan marak di daerah lain. Tidak hanya di Kota Solo tapi sudah menyebar ke daerah lainnya seperti Karanganyar, Sukoharjo, Boyolali, dan Yogyakarta. Menunya pun juga disesuaikan dengan permintaan konsumen. Berbagai pilihan ditawarkan seperti tulang iga, kaki, mata, telinga, lidah, pipi, sumsum, otak hingga jeroan kambing. *** [190618]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar