Jalan Jaksa Agung Suprapto merupakan salah satu jalan yang menjadi bagian dari sejarah perkembangan Kota Malang. Pada masa Hindia Belanda, jalan ini lebih dikenal dengan nama Tjelaket. Kawasan Tjelaket dulu merupakan jalan yang menghubungkan Malang dengan Surabaya. Sehingga, jalan ini memegang peranan yang penting dan strategis saat itu.
Oleh karena itu, sudah sewajarnya bila di sepanjang jalan itu banyak dijumpai bangunan lawas dengan desain arsitektur bergaya kolonial. Salah satu bangunan lawas yang masih bisa dijumpai adalah Gedung Sekolah Frateran. Gedung sekolah ini terletak di Jalan Jaksa Agung Suprapto No. 21 RT. 01 RW. 01 Kelurahan Samaan, Kecamatan Klojen, Kota Malang, Provinsi Jawa Timur. Lokasi gedung sekolah ini berada di depan RSUD Dr. Saiful Anwar, atau sebelah utara Polresta Malang.
Dulu, gedung ini merupakan gedung sekolah dan sekaligus untuk asrama bagi calon frater yang dielenggarakan oleh Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus di Malang. Dalam bahasa Belandanya dikenal dengan De Fraterschool op Tjelaket bij Malang. Karena itulah, masyarakat setempat mengenalnya dengan sebutan Sekolah Frateran.
Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus (Congregatie van de Fraters van Onze Lieve van het Heilig Hart) didirikan pada tanggal 13 Agustus 1873 oleh Mgr. Andreas Ignatius Schaepman (1815-1882), Uskup Agung Utrecht, di Kota Utrecht, Belanda. Maksud dari Mgr. Andreas Ignatius Schaepman mendirikan konggregasi ini adalah untuk menyediakan guru-guru bagi sekolah-sekolah Katolik yang baru didirikannya.
Awal mula kongregasi ini berkarya misi di Malang karena atas undangan dari para uskup di Hindia Belanda pada waktu itu. Pada tahun 1927 Dewan Kongregasi di Negeri Belanda mulai menindaklanjuti rencana dan niat untuk bermisi ke Hindia Belanda dengan mengadakan koresponden dengan para imam Kamelit di Malang, yang telah mengundang mereka. Sebagai jawabannya, para imam Kamelit menawarkan bukan hanya sebuah sekolah yang menangani para siswa laki-laki Belanda melainkan juga sebuah sekolah untuk anak-anak pribumi, dan juga panti asuhan untuk anak-anak Indo.
Namun semua perencanaan itu tidak terlaksana saat itu karena ternyata pimpinan Dewan Kongregasi di sana tidak menyetujuinya. Baru pada tahun 1928 karya misi itu bisa terlaksana setelah mendapat persetujuan dari Mgr. Van de Wetering untuk berangkat ke Hindia Belanda. Pada tahun itu pula kongregasi mencapai suatu persetujuan dengan para misionaris O’Carm (Kamelit) di Malang, yang membutuhkan guru-guru untuk sekolah anak laki-laki Eropa/Belanda.
Pada tanggal 2 Februari 1928 para frater misionaris pertama yang diutus Dewan Kongregasi atas restu pemimpin tertinggi kongregasi, Mgr. Van de Wetering, tiba di Hindia Belanda. Frater-frater itu adalah Fr. M. Wilfridus, BHK, Fr. M. Gregorius, BHK, dan Fr. M. Agustinus, BHK. Setibanya di Hindia Belanda, ketiga frater itu langsung menuju ke Kota Malang sebagai pusat misi para imam Kamelit, yang pada waktu itu berada di bawah pimpinan Mgr. Clemente van der Pas, O’Carm.
Tak lama setelah para frater misionaris pertama tiba, mereka juga ingin menjadikan Kota Malang sebagai pusat misi Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus layaknya para imam Kamelit tersebut. Oleh karena itu, langkah awal untuk mewujudkan hal itu mereka berusaha membangun sebuah biara dengan kompleks sekolah yang luas.
Karena mendesaknya akan kebutuhan kompleks itu, rancangan gedungnya diserahkan kepada biro arsitek yang terkemuka di Hindia Belanda saat itu. Biro arsitektur itu bernama NV Architecten-Ingenieursbureau Fermont te Weltevreden en Ed. Cuypers te Amsterdam, atau yang secara singkat dikenal dengan nama Biro Arsitek Fermont-Cuypers.
Akhirnya, kompleks bangunan gedung itu selesai didirikan pada tanggal 12 September 1928 dan diberkati oleh Mgr. Clemente van der Pas, O’Carm dari Prefek Apostolik Malang, pada tanggal 10 Februari 1929.
Setelah itu, para frater misionaris pertama ini menangani dua buah sekolah, yaitu Hollands-Inlandse Scholen (sekolah bagi anak-anak Indo) dan Hollands-Chinese Scholen (sekolah bagi anak-anak keturunan China). Kemudian tahun sesudah itu, Kongregasi Hati Kudus di Hindia Belanda mulai mengembangkan diri dengan mendirikan komunitas dan unit karya yang lebih sederhana di tempat-tempat lain, seperti komunitas, asrama anak-anak yaitm piatu Erasia dan anak-anak terlantar serta sekolah pendidikan gratis di Probolinggo (1934), komunitas dan SD/SMP di Palembang (1936), komunitas dan SPG di Kediri (1939), komunitas, SMP/SMA, dan asrama di Surabaya (1940).
Karya misi kongregasi di Hindia Belanda ini dari tahun ke tahun semakin berkembang, dan sampai menjelang Perang Dunia (PD) II yang awalnya hanya 3 orang frater yang diutus ke daerah misi, akhirnya menjadi 50 orang frater. Pada waktu itu, misi kongregasi ini mempunyai masa depan yang cerah. Namun semenjak Jepang menguasai Hindia Belanda, peran Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus mulai terhenti. Para frater dan orang-orang Belanda lainnya, mulai ditangkap, disiksa dan bahkan ada di antara mereka yang dibawa ke Bandung dan Cimahi untuk dijebloskan ke dalam kamp-kamp tawanan Jepang. Akibatnya, ada beberapa frater yang mulai jatuh sakit, dan akhirnya meninggal. Namun ada juga yang mampu bertahan hingga hengkangnya Jepang.
Setelah Indonesia merdeka, kompleks Gedung Sekolah Frateran Malang atau yang dikenal juga dengan Kompleks Komunitas Bunda Hati Kudus Celaket 21 Malang ini pernah mengalami bumi-hangus untuk mencegah Belanda kembali ke Malang pada Clash I. Setahun kemudian, di gedung ini mulai menunjukkan adanya aktivitas dalam pendidikan kembali. Pada 29 Desember 1948 lembaga pendidikan yang semula bernama HCS mulai aktif kembali dengan nama baru, yaitu SMP Katolik Celaket. Sekolah ini dikelola oleh Yayasan Mardi Wiyata, sebuah yayasan yang menangani karya pendidikan Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus.
Dulunya sekolah ini hanya menerima murid laki-laki saja, kemudian baru aal tahun 1975 sekolah ini menerima murid perempuan. Awalnya lokasi sekolahnya berada di seberang Sungai Brantas (kini SMAS Katolik Frateran Malang). Baru setelah tahun 1990, SMP itu menempati gedung tertua milik Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus yang monumental itu. Pada tahun 2003, nama SMP itu berubah menjadi SMP Katolik Frateran Celaket 21 hingga sekarang.
Dilihat dari fasadnya, Gedung Sekolah Frateran Malang ini memiliki gaya arsitektur Amsterdam School (Debora B & Riyanto D: 2010: 88). Bangunan dari aliran Amsterdam School ini dibuat dari susunan bata yang dikerjakan dengan keahlian yang tinggi dan bentuknya sangat plastis sekali, ornamen skulptural dan diferensiasi warna dari bahan-bahan asli (bata, batu alam, kayu) memainkan peran penting dalam desainnya. Dulu, sebelum mengalami bumi-hangus, di atas gedung ini memiliki menara (tower). Tapi setelah di renovasi, menaranya sudah tidak ada lagi. Selain itu, bangunan dua lantai ini mempunyai dormer yang semula simteris dengan menara itu.
Dilihat dari sisi historis dan bentuk bangunannya yang besar, menjadikan Gedung Sekolah Frateran ini sebagai salah satu bangunan yang memiliki nilai lebih dalam bangunan heritage di Kota Malang. *** [190915]
Kepustakaan:
Budiyono, D. & Djoko, Riyanto. (2010). Potensi Wisata Bangunan Kolonial di Kota Malang. Jurnal Buana Sains Vol. 10 No. 1: 83-92
Tnopo, Vinsencius. (2009). Kepemimpinan Kegembalaan Yesus Dalam Injil Yohanes 10: 11-15 Sebagai model Kepemimpinan Para Frater Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus Di Indonesia Dalam Kehidupan Di Zaman Sekarang. Skripsi di Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik di FKIP, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
http://fportfolio.petra.ac.id/user_files/81-005/The%20Amsterdam%20School.pdf
Oleh karena itu, sudah sewajarnya bila di sepanjang jalan itu banyak dijumpai bangunan lawas dengan desain arsitektur bergaya kolonial. Salah satu bangunan lawas yang masih bisa dijumpai adalah Gedung Sekolah Frateran. Gedung sekolah ini terletak di Jalan Jaksa Agung Suprapto No. 21 RT. 01 RW. 01 Kelurahan Samaan, Kecamatan Klojen, Kota Malang, Provinsi Jawa Timur. Lokasi gedung sekolah ini berada di depan RSUD Dr. Saiful Anwar, atau sebelah utara Polresta Malang.
Dulu, gedung ini merupakan gedung sekolah dan sekaligus untuk asrama bagi calon frater yang dielenggarakan oleh Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus di Malang. Dalam bahasa Belandanya dikenal dengan De Fraterschool op Tjelaket bij Malang. Karena itulah, masyarakat setempat mengenalnya dengan sebutan Sekolah Frateran.
Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus (Congregatie van de Fraters van Onze Lieve van het Heilig Hart) didirikan pada tanggal 13 Agustus 1873 oleh Mgr. Andreas Ignatius Schaepman (1815-1882), Uskup Agung Utrecht, di Kota Utrecht, Belanda. Maksud dari Mgr. Andreas Ignatius Schaepman mendirikan konggregasi ini adalah untuk menyediakan guru-guru bagi sekolah-sekolah Katolik yang baru didirikannya.
Awal mula kongregasi ini berkarya misi di Malang karena atas undangan dari para uskup di Hindia Belanda pada waktu itu. Pada tahun 1927 Dewan Kongregasi di Negeri Belanda mulai menindaklanjuti rencana dan niat untuk bermisi ke Hindia Belanda dengan mengadakan koresponden dengan para imam Kamelit di Malang, yang telah mengundang mereka. Sebagai jawabannya, para imam Kamelit menawarkan bukan hanya sebuah sekolah yang menangani para siswa laki-laki Belanda melainkan juga sebuah sekolah untuk anak-anak pribumi, dan juga panti asuhan untuk anak-anak Indo.
Namun semua perencanaan itu tidak terlaksana saat itu karena ternyata pimpinan Dewan Kongregasi di sana tidak menyetujuinya. Baru pada tahun 1928 karya misi itu bisa terlaksana setelah mendapat persetujuan dari Mgr. Van de Wetering untuk berangkat ke Hindia Belanda. Pada tahun itu pula kongregasi mencapai suatu persetujuan dengan para misionaris O’Carm (Kamelit) di Malang, yang membutuhkan guru-guru untuk sekolah anak laki-laki Eropa/Belanda.
Pada tanggal 2 Februari 1928 para frater misionaris pertama yang diutus Dewan Kongregasi atas restu pemimpin tertinggi kongregasi, Mgr. Van de Wetering, tiba di Hindia Belanda. Frater-frater itu adalah Fr. M. Wilfridus, BHK, Fr. M. Gregorius, BHK, dan Fr. M. Agustinus, BHK. Setibanya di Hindia Belanda, ketiga frater itu langsung menuju ke Kota Malang sebagai pusat misi para imam Kamelit, yang pada waktu itu berada di bawah pimpinan Mgr. Clemente van der Pas, O’Carm.
Tak lama setelah para frater misionaris pertama tiba, mereka juga ingin menjadikan Kota Malang sebagai pusat misi Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus layaknya para imam Kamelit tersebut. Oleh karena itu, langkah awal untuk mewujudkan hal itu mereka berusaha membangun sebuah biara dengan kompleks sekolah yang luas.
Karena mendesaknya akan kebutuhan kompleks itu, rancangan gedungnya diserahkan kepada biro arsitek yang terkemuka di Hindia Belanda saat itu. Biro arsitektur itu bernama NV Architecten-Ingenieursbureau Fermont te Weltevreden en Ed. Cuypers te Amsterdam, atau yang secara singkat dikenal dengan nama Biro Arsitek Fermont-Cuypers.
Akhirnya, kompleks bangunan gedung itu selesai didirikan pada tanggal 12 September 1928 dan diberkati oleh Mgr. Clemente van der Pas, O’Carm dari Prefek Apostolik Malang, pada tanggal 10 Februari 1929.
Setelah itu, para frater misionaris pertama ini menangani dua buah sekolah, yaitu Hollands-Inlandse Scholen (sekolah bagi anak-anak Indo) dan Hollands-Chinese Scholen (sekolah bagi anak-anak keturunan China). Kemudian tahun sesudah itu, Kongregasi Hati Kudus di Hindia Belanda mulai mengembangkan diri dengan mendirikan komunitas dan unit karya yang lebih sederhana di tempat-tempat lain, seperti komunitas, asrama anak-anak yaitm piatu Erasia dan anak-anak terlantar serta sekolah pendidikan gratis di Probolinggo (1934), komunitas dan SD/SMP di Palembang (1936), komunitas dan SPG di Kediri (1939), komunitas, SMP/SMA, dan asrama di Surabaya (1940).
Karya misi kongregasi di Hindia Belanda ini dari tahun ke tahun semakin berkembang, dan sampai menjelang Perang Dunia (PD) II yang awalnya hanya 3 orang frater yang diutus ke daerah misi, akhirnya menjadi 50 orang frater. Pada waktu itu, misi kongregasi ini mempunyai masa depan yang cerah. Namun semenjak Jepang menguasai Hindia Belanda, peran Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus mulai terhenti. Para frater dan orang-orang Belanda lainnya, mulai ditangkap, disiksa dan bahkan ada di antara mereka yang dibawa ke Bandung dan Cimahi untuk dijebloskan ke dalam kamp-kamp tawanan Jepang. Akibatnya, ada beberapa frater yang mulai jatuh sakit, dan akhirnya meninggal. Namun ada juga yang mampu bertahan hingga hengkangnya Jepang.
Setelah Indonesia merdeka, kompleks Gedung Sekolah Frateran Malang atau yang dikenal juga dengan Kompleks Komunitas Bunda Hati Kudus Celaket 21 Malang ini pernah mengalami bumi-hangus untuk mencegah Belanda kembali ke Malang pada Clash I. Setahun kemudian, di gedung ini mulai menunjukkan adanya aktivitas dalam pendidikan kembali. Pada 29 Desember 1948 lembaga pendidikan yang semula bernama HCS mulai aktif kembali dengan nama baru, yaitu SMP Katolik Celaket. Sekolah ini dikelola oleh Yayasan Mardi Wiyata, sebuah yayasan yang menangani karya pendidikan Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus.
Dulunya sekolah ini hanya menerima murid laki-laki saja, kemudian baru aal tahun 1975 sekolah ini menerima murid perempuan. Awalnya lokasi sekolahnya berada di seberang Sungai Brantas (kini SMAS Katolik Frateran Malang). Baru setelah tahun 1990, SMP itu menempati gedung tertua milik Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus yang monumental itu. Pada tahun 2003, nama SMP itu berubah menjadi SMP Katolik Frateran Celaket 21 hingga sekarang.
Dilihat dari fasadnya, Gedung Sekolah Frateran Malang ini memiliki gaya arsitektur Amsterdam School (Debora B & Riyanto D: 2010: 88). Bangunan dari aliran Amsterdam School ini dibuat dari susunan bata yang dikerjakan dengan keahlian yang tinggi dan bentuknya sangat plastis sekali, ornamen skulptural dan diferensiasi warna dari bahan-bahan asli (bata, batu alam, kayu) memainkan peran penting dalam desainnya. Dulu, sebelum mengalami bumi-hangus, di atas gedung ini memiliki menara (tower). Tapi setelah di renovasi, menaranya sudah tidak ada lagi. Selain itu, bangunan dua lantai ini mempunyai dormer yang semula simteris dengan menara itu.
Dilihat dari sisi historis dan bentuk bangunannya yang besar, menjadikan Gedung Sekolah Frateran ini sebagai salah satu bangunan yang memiliki nilai lebih dalam bangunan heritage di Kota Malang. *** [190915]
Kepustakaan:
Budiyono, D. & Djoko, Riyanto. (2010). Potensi Wisata Bangunan Kolonial di Kota Malang. Jurnal Buana Sains Vol. 10 No. 1: 83-92
Tnopo, Vinsencius. (2009). Kepemimpinan Kegembalaan Yesus Dalam Injil Yohanes 10: 11-15 Sebagai model Kepemimpinan Para Frater Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus Di Indonesia Dalam Kehidupan Di Zaman Sekarang. Skripsi di Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik di FKIP, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta
http://fportfolio.petra.ac.id/user_files/81-005/The%20Amsterdam%20School.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar