Seperti daerah lain yang ada di Indonesia, Solo juga pernah mengalami pendudukan oleh Jepang. Salah satu saksi bisu perjalanan pasukan Jepang terakhir di Solo ditandai dengan berdirinya sebuah monumen yang bernama Monumen Perebutan Kekuasaan Jepang dan Pertempuran Kempeitai.
Monumen ini terletak di Jalan Brigjend Slamet Riyadi No. 197 Kelurahan Kemlayan, Kecamatan Serengan, Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi monumen ini berada di sebelah barat gedung pertemuan Wisma Batari, atau tepat berada di depan eks Hotel Cakra.
Menurut catatan sejarah, pada waktu pelaksanaan penyerahan kekuasaan pemerintahan pendudukan Jepang kepada pemerintah Indonesia di Surakarta atau Solo tidaklah berjalan dengan mulus. Terjadi perbedaan dalam penyerahan kekuasaan sipil dan militer di kalangan Jepang. Tanggal 1 Oktober 1945, Ketua KNI (Komite Nasional Indonesia) daerah Surakarta, Mr. BPH Sumodiningrat memimpin delegasi Indonesia untuk bertemu dengan Shuchokan (Kepala Pemerintahan Sipil) Jepang, Watanabe. Dalam perundingan yang berjalan lancar, Watanabe dengan sukarela menyerahkan pemerintahan sipil di Surakarta terhadap Indonesia.
Untuk serah-terima bidang militer, pemuda Suyatno Yosodipuro ditugaskan memimpin delegasi pemuda untuk bertemu dengan Letnan Kolonel T. Masse, komandan garnisun kota. Perundingan berlangsung dua hari, yaitu tanggal 4 dan 5 Oktober 1945. Suyatno Yosodipuro berhasil meyakinkan komandan Tentara Jepang agar secara suka rela menyerahkan tanggung jawab militer terhadap Indonesia, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Watanabe sehingga dengan demikian dapat dihindari pertumpahan darah di kedua belah pihak. Akhirnya, tanggal 5 Oktober, T. Masse menyerahkan wewenang militer beserta seluruh senjata yang dikuasainya kepada pihak Indonesia (Hutagalung, 2010: 122-123).
Akan tetapi, pihak Kempeitai (polisi militer) yang tidak berada di bawah wewenang Letnan Kolonel Masse, tidak mau tunduk dengan keputusan tersebut, dan menolak menyerahkan senjata mereka kepada pihak Indonesia. Kapten Sato, pimpinan Kempeitai Surakarta enggan menyerahkan kekuasaannya karena beranggapan belum adanya perintah langsung dari Tenno Heika (Yang Mulia Kaisar) Jepang.
Sikap Kapten Sato ini memicu pengepungan dan penyerangan terhadap markas Kempeitai yang berada daerah Kemlayan. Tanggal 12 Oktober 1945 pukul 21.00, dimulai serangan atas markas Kempeitai yang dipimpin oleh bekas anggota Sekolah Pelayaran Tinggi (SPT) bernama Slamet Riyadi. Pertempuran berlangsung sepanjang malam sampai pukul 06.00, dan berakhir dengan menyerahnya Kempeitai Surakarta. Di pihak Indonesia, korban tewas adalah Arifin. Sebagai penghormatan kepada Arifin, nama jalan di depan kantor CPM dan jembatan di belakang Radio PTPN Rasitania diberi nama Arifin. Sedangkan di pihak Kempeitai, korban tewas dua orang.
Untuk mengenang tragedi itu dibangunlah sebuah Monumen Perebutan Kekuasaan Jepang dan Pertempuran Kempeitai untuk menandai keberhasilan pemuda Surakarta dalam menundukkan dan melucuti tentara pendudukan Jepang, yang diresmikan pada 13 Oktober 1985 oleh Gubernur Jawa Tengah, H.M. Ismail. *** [180419]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar