Pada
abad ke-19, Kota Pasuruan pernah menghiasi lembaran sejarah Nusantara sebagai
salah satu kota pelabuhan terbesar di pantai utara Jawa. Pesona sebagai kota
besar, menjadi magnet bagi siapa saja yang ingin mengadu nasib di sini. Sehingga,
tak mengherankan bila pada waktu itu, Kota Pasuruan telah menujukkan
heterogenitas penduduknya, seperti Belanda, Tionghoa, Arab, Jawa, maupun
Madura.
Kemajemukan
ini mampu menciptakan suatu suasana yang dinamis dalam mewarnai Kota Pasuruan
pada waktu itu. Tak hanya bermunculan bangunan untuk produksi, rumah tinggal
maupun perkantoran, tapi juga yang berhubungan dengan keagamaan seperti
klenteng, masjid maupun gereja. Di Kota Pasuruan ini terdapat dua gereja yang
memiliki arsitektur yang khas. Salah satunya adalah GPIB Pniel. GPIB ini
terletak di Jalan Anjasmoro No. 6 Kelurahan Kandangsapi, Kecamatan
Panggungrejo, Kota Pasuruan, Provinsi
Jawa Timur. Lokasi gereja ini berada di sebelah utara Terminal Bis yang lama.
Sesuai
yang tertulis di gevel, bangunan gereja ini diresmikan pada 15 November 1829
dengan nama De Protestantse Kerk te
Pasoeroean. Pemerintah Hindia Belanda mendirikan gereja ini untuk
mengakomodasi umat Kristen Protestan di Pasuruan. Kota ini semakin berkembang
akibat digulirkan Undang-Undang Gula dan Undang-Undang Agraria Tahun 1830, yang
memberikan izin semakin luas perusahaan swasta Eropa menanamkan investasinya di
Hindia Belanda. Seiring itu pula, semakin banyak orang Belanda dan Eropa yang
tinggal di Hindia Belanda, termasuk Kota Pasuruan.
Pada tahun 1854, bangunan gereja ini mengalamim kerusakan, dan selanjutnya diperbaiki kembali. Setelah selesai, gereja ini diresmikan pada 15 Agustus 1855. Pada waktu itu, jalan yang menuju ke gereja tersebut masih ditumbuhi pohon cemara yang cukup rindang berjajar di kiri-kanan jalan. Halaman gereja tidak memiliki pagar seperti sekarang ini. Sehingga, saat dari Jalan Balaikota sudah tampak akan kemegahan gereja berlanggam Gothic yang didominasi warna putih. Di atas gevel ada menara lonceng, dan di tengah-tengah gevel terdapat lingkaran berbentuk menyerupai roda. Sebelum memasuki pintu utama, ada selasar yang dihiasi dengan kolom-kolom yang disatukan dengan lengkungan di atasnya, dan di kiri-kanan kolom terdapat lampu dengan hiasan klasik yang terbuat dari besi.
Bangunan
ini kembali dipugar pada tahun 1910 hingga 1917. Dalam pemugaran ini sedikit
mengalami perubahan pada fasad bangunan gereja. Menara di atas gevel sedikit
diperbesar berbentuk kubus, dan di atasnya diberi atap. Kemudian, bentuk
lingkaran menyerupai roda di tengah-tengah gevel diubah menjadi persegi panjang
yang atasnya melengkung dan dipasangi besi memanjang untuk menempatkan bendera.
Di depan gereja, dibangun sebuah tugu berbentuk silinder. Selain itu, halaman
gereja telah disulap menjadi taman dengan beraneka pepohonan.
Pada
saat terjadi kerusuhan di Kota Pasuruan tahun 2001, gereja ini terbakar habis.
Bagian yang tersisa dari bangunan ini hanyalah bagian dinding. Akhirnya
dilakukan rehabilitasi atas kondisi bangunan ini yang dimulai tanggal 22 Juli
2001 hingga 22 November 2004. Hasil rehabilitasi tersebut, secara fisik masih
terlihat langgam Gothic. Akan tetapi
pada fasad, sedikit mengalami perubahan terutama pada atas gevel. Dulu, di atas
gevel terdapat menara lonceng namun sekarang sudah diubah, yang awalnya menara
lonceng sekarang masih menyerupai menara tapi fisiknya ditarik hingga sampai
belakang. Jadi, tampak seperti atap limasan bertumpang yang banyak ditemui pada
atap emplasemen stasiun kereta api yang ada di kota atau kabupaten. Kemudian,
tugu berbentuk silinder yang pernah menghiasi halaman depan gereja, sekarang
sudah tidak ada lagi.
Gereja
yang di bangun di atas lahan seluas 1.916 m² ini berdasarkan Surat
Keputusan Walikota Pasuruan Nomor 188/496/423.031/2015 tentang Penetapan Cagar
Budaya Kota Pasuruan ditetapkan sebagai salah satu dari 20 bangunan atau
kawasan yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya Kota Pasuruan seusai yang
tertera pada Diktum Kesatu. *** [200915]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar