Pada
era kolonial, Lawang ditetapkan oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai wilayah
yang diperuntukkan sebagai daerah peristirahatan dan perkebunan yang kaya di
lereng Gunung Arjuno. Sejak itulah banyak bermunculan bangunan kolonial yang
berfungsi sebagai rumah peristirahatan atau villa. Salah satunya adalah Hotel
Niagara, yang juga menjadi ikon dari Lawang karena merupakan bangunan lawas
tertinggi kawasan tersebut. Hotel ini terletak di Jalan Dr. Soetomo No. 63 Desa
Turirejo, Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur. Lokasi hotel
ini berada di sebelah utara Pasar Lawang, atau barat daya Kompleks Polisi
Militer Divisi Infanteri 2 Kostrad.
Awalnya,
bangunan Hotel Niagara ini merupakan sebuah villa pribadi milik Liem Sian Joe,
seorang konglomerat Tionghoa (pengusaha pabrik gula dan kayu jati). Villa ini
dibangun selama kurang lebih 15 tahun lamanya, dimulai dari tahun 1903 dan
selesai pada tahun 1918. Soal desain bangunan, Liem Sian Joe menyerahkannya
kepada Fritz Joseph Pinedo, seorang arsitek swasta Belanda profesional
keturunan Portugis-Brazil.
Villa
ini hanya difungsikan sebagai tempat peristirahatan keluarga selama dua tahun,
karena pada tahun 1920 Liem Sian Joe dan keluarga pindah ke Negeri Belanda.
Villa tersebut dipercayakan kepada ahli warisnya. Namun, karena jarang dipakai,
villa tersebut lambat laun menjadi kurang terurus dan kemudian terlantar selama
bertahun-tahun.
Kondisi yang demikian bertahan sampai tahun 1960, yang pada akhirnya salah seorang ahli waris keluarga Liem Sian Joe menjual villa tersebut kepada seorang pengusaha yang berasal dari Surabaya bernama Ong Kie Tjay. Oleh Ong Kie Tjay, bangunan berlantai lima itu kemudian dibenahi selama 4 tahun, dan selanjutnya difungsikan sebagai hotel dengan nama Hotel Niagara.
Menurut
prasasti yang ada, Hotel Niagara merupakan bangunan tertinggi, paling megah dan
mewah, tidak ada tandingannya (pada waktu itu). Unsur-unsur arsitektur Eropa
seperti ornamen, tiang besi, konsep bangunan Eropa yaitu hoogbouw atau membangun tinggi ke atas (vertikal) merupakan efek
gaya gedung pencakar langit (wolken
krabber) serta konstruksi bata digunakan pada rumah-rumah orang kaya atau
bangsawan pada abad ke-20 di Hindia Belanda.
Pendirian
bangunan tersebut kala itu memang memiliki tujuan tertentu, menunjukkan sebuah
kemegahan, kemewahan, peranan dan kedudukan atau identitas Liem Sian Joe.
Penunjukkan identitas dirinya sebagai seorang yang kaya, terhormat itu terlihat
dengan adanya pengacuan gaya masyarakat golongan lapisan atas (Eropa) pada
ornamen plafond, kaca timah, keramik dan kayu jati pelapis dinding, makna
komposisi simetris yang dipakainya, pemilihan bahan pada yang tidak lagi
sederhana, dipilih yang berkualitas tinggi bahkan impor seperti pelapis dinding
yang hanya digunakan pada ruang-ruang yang termasuk bagian dari area publik.
Hal ini memiliki makna unjuk kemampuan Liem Sian Joe pada tamu-tamu yang
diundangnya dari segi finansial.
Kini,
hotel tersebut dikelola oleh Ongko Budihartanto, anak dari Ong Kie Tjay. Dalam
perjalanan mengelola Hotel Niagara ini, memang pernah mengalami mendapat stigma
sebagai hotel yang menyeramkan, ada tapak tangan berjalan, dan berhantu serta
tempat bunuh diri. Hal ini tak terlepas dari lamanya bangunan ini pernah
mangkrak sebelum difungsikan sebagai hotel.
Terlepas
dari hal itu semua, Hotel Niagara ini memiliki arsitektur tempo doeloe dengan nuansa seni yang tinggi sebagai kombinasi gaya
Brazil, Belanda, Tiongkok, dan Victoria yang menawan. Warisan kekunaan yang
dipunyainya, sesungguhnya bisa mengantarkan nilai jual hotel tersebut kepada
turis mancanegara bila dikelola dengan sebaik-baiknya. Punya story, nuasa tempo doeloe, antik dan
unik. *** [180516]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar