Liburan
lebaran tahun ini, memberikan kesempatan yang luas untuk mengeksplorasi
bangunan lawas yang ada di Kota Solo.
Pada kesempatan tersebut dengan didampingi dua anak wedok, saya mengunjungi sebuah bangunan kuno yang berada di pojok
barat daya Taman Sriwedari.
Pada
kesempatan ini, bangunan kuno yang saya kunjungi adalah Gedung Bekas Rumah
Sakit Jiwa (RSJ) Mangunjayan. Gedung ini terletak di Jalan Bhayangkara No. 50,
Kelurahan Sriwedari, Kecamatan Laweyan, Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah.
Lokasi gedung ini berada di sebelah selatan Museum Keris, atau Stadion
Sriwedari.
Dulu
waktu saya masih kecil, gedung tersebut memang merupakan gedung RSJ
Mangunjayan. Bangunan gedung tersebut sudah berkurang bila dibandingkan saat
saya masih kecil. Setidaknya yang terlihat mencolok berubah adalah hilangnya
bangunan berlantai dua yang ada di bagian depan. Bangunan tersebut memang
merupakan bangunan tambahan yang dibangun antara tahun 1970 – 1980, dan yang
tersisa sekarang malahan bangunan yang dibangun pada awal pendirian rumah sakit
ini.
Keberadaan rumah sakit jiwa pada masa Hindia Belanda tidak terlepas dari adanya penderita gangguan kejiwaan yang ada di tengah-tengah masyarakat pribumi dan tentara akibat kekerasan yang sering terjadi. Menurut sensus penderita gangguan jiwa di Pulau Jawa dan Madura tahun 1862, terdapat kurang lebih 600 orang penderita gangguan jiwa di Pulau Jawa dan Madura. Sedangkan, kurang lebih 200 penderita berada di tempat lain.
Dari
hasi sensus tersebut membuat Pemerintah Hindia Belanda ingin membuat rumah
sakit jiwa, karena penderita gangguan jiwa yang ditampung di Rumah Sakit Sipil
atau Rumah Sakit Militer di Jakarta, Semarang dan Surabaya sudah tidak
mencukupi mengingat Rumah Sakit Sipil/Militer juga melayani pasien non kejiwaan
yang lumayan banyak.
Atas
dasar inilah, Pemerintah Hindia Belanda merealisasikan rencana tersebut dengan
membangun beberapa rumah sakit jiwa (Krankzinnigengestichten)
di berbagai kota, seperti di Bogor bernama Krankzinnigengesticht te Buitenzorg (1875), Malang bernama Krankzinnigengesticht te Lawang (1894), Magelang bernama Krankzinnigengesticht te Magelang (1916), dan Sabang bernama Krankzinnigengesticht
te Sabang (1926).
Selain pengadaan fasilitas rumah sakit jiwa, dalam pelayanan kesehatan jiwa didirikan pula doorgangshuizen atau rawat perantara, verpleegtehuizen atau rumah rawat inap gangguan jiwa, dan colonie atau penampungan penderita gangguan jiwa kronis. Fakta tersebut diuraikan oleh dr. R.J. Prins dalam De Krankzinnigenverzorging in Nederlands Indie Gedurende de Laatste Vijf en Twintig jaar, 1936 (Denny Thong, et al., 2011: 37). Doorgangshuis di Solo dibuka tahun 1919, Doorgangshuis te Grogol di Batavia pada 1924, Doorgangshuis di Semarang dan Surabaya didirikan tahun 1929, sementara di luar Jawa juga didirikan doorgangshuizen, yaitu Doorgangshuis te Gloegoer di Medan, dan Doorgangshuis di Makassar.
Instansi
yang bertanggung jawab terhadap masalah kesehatan jiwa ditangani oleh Dienst van het Krankzinnigewezen yang
dipimpin oleh seorang inspecteur
pribumi yaitu dr. R. Tumbelaka yang merupakan orang pertama dan terakhir di
masa Hindia Belanda. Selanjutnya instansi ini ditutup dan digabung dengan unit
lain yaitu Dienst van Gezondheid, di
mana urusan kesehatan jiwa diserahkan kepada seorang dokter umum yaitu dr.
Fischer dan didampingi seorang psikiater yaitu dr. Prins. Pada masa ini juga
terjadi pembagian wewenang, bahwa semua doorgangshuizen
ditangani oleh instansi ini, sedangkan verpleegtehuizen
dan colonies di bawah pengawasan
provinsi.
Doorgangshuis te Soerakarta, yang
setelah dinasionalisasi dikenal dengan RSJ Mangunjayan ini, merupakan rumah
penampungan tertua dibandingkan dengan doorgangshuis
di Batavia, Semarang maupun Surabaya. Doorgangshuis
te Soerakarta didirikan pada 17 Juli 1919, dan dibangun di atas tanah milik
Kasunanan Surakarta Hadiningrat, yaitu Sriwedari.
Posisi lokasinya yang sangat dekat dan memiliki akses langsung ke Taman Sriwedari menggambarkan adanya kaitan antara keberadaan RSJ Mangunjayan ini dengan fasilitas Taman Sriwedari yang pada awalnya dilengkapi dengan taman bunga, tempat rekreasi dan hiburan.
Menurut
catatan Raden Mas Ngabehi Tiknopranoto (mantan Asisten Wedana Onder-Distrik
Gesi, Sragen) dalam bukunya Sejarah Kutho
Solo (Kusumastuti, 2016: 15) menjelaskan, bahwa Srwiedari adalah taman
untuk rekreasi (plesiran), ngenggar-enggar
ati (menyenangkan hati). Di dalam taman dapat ditemukan bunga-bunga dan
binatang-binatang, oleh sebab itu Sriwedari disebut juga Bon Rojo. Bon Rojo
singkatan dari Kebon Rojo atau
Kebunnya Sang Raja.
Berdasarkan
intepretasi peta tahun 1927, antara bangunan RSJ Mangunjayan dengan Taman Sriwedari merupakan satu kesatuan keruangan yang tertata dan terencana meski
periodisasi pembangunannya tidak bersamaan. Dari peta tersebut terlihat jika
bangunan berdenah ‘U’ menghadap ke barat dengan satu buah unit bangunan di sisi
barat yang merupakan RSJ Mangunjayan terlihat langsung terhubung dengan jalur
yang terkoneksi langsung dengan Taman Sriwedari.
Pemerintah
Hindia Belanda memang kala itu meminta izin kepada Sri Susuhunan Pakubuwono X
untuk membangun rumah sakit jiwa di Srwiedari, memang agar bisa mengakses Taman Srwiedari. Karena untuk membantu menyembuhkan penderita gangguan jiwa,
lingkungan rumah sakit jiwa harus luas dan situasinya yang bisa mendukung.
Akhirnya, dipilihlah Sriwedari karena masuk kriteria tersebut. Makanya secara
fisik, bangunan rumah sakit jiwa di Solo tidaklah terlalu besar dan luas. RSJ
Mangunjayan berdiri di areal seluas sekitar 0,69 hektar dengan daya tampung pasien
sebanyak 216 tempat tidur.
Pada
3 Februari 1986, RSJ Mangunjaya dipindahkan ke daerah Kentingan, di belakang
Taman Satwa Taru Jurug, dekat dengan Sungai Bengawan Solo. Perpindahan tersebut
atas dasar kesepakatan bersama dalam bentuk ruislag
dengan Pemda Dati II Kodya Surakarta, yang menyediakan lahan penggantinya
seluas 10 hektar.
Kemudian
bangunan bekas RSJ Mangunjaya dimanfaatkan sebagai kantor KONI Kodya Surakarta,
kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Surakarta serta kantor ORARI.
Setelah itu, bangunan tersebut sempat terlantar karena kosong atau tidak lagi
difungsikan, sehingga akhirnya banyak mengalami kerusakan.
Namun
seiring adanya pembangunan Museum Keris yang di sebelah utaranya, bangunan
bekas RSJ Mangunjaya ini juga turut direvitalisasi. Kini, wajah ruangan-ruangan
yang ada terlihat berbeda dengan sebelumnya. Ruangan-ruangan yang dulunya
sempat digunakan untuk RSJ Mangunjaya itu kembali terlihat baru. *** [260617]
Kepustakaan:
Kusumastuti. (2016). Kajian Perencanaan Kota Pada Gedung Bekas RSJ Mangunjayan, Sriwedari,
Surakarta. Region, Vol. 7, No. 1,
Januari 2016
Thong, Denny, et al. (2011). Memanusiakan Manusia: Menata Jiwa Membangun Banga. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama
Wartomo, Yoyoh. (1975). Sejarah Kesehatan Nasional Indonesia, Jilid I. Jakarta Departemen
Kesehatan RI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar