Surakarta,
atau yang dikenal dengan Kota Solo merupakan sebuah kota tua yang dikelilingi
oleh beberapa sungai atau kali
(bahasa Jawa), di antaranya Kali Kabanaran, Kali Pepe, Kali Jenes dan Bengawan
Solo. Pada waktu dulu, di Solo sendiri terdapat empat bandar yang ramai saat
itu, yaitu Bandar Kabanaran di Laweyan, Bandar Pecinan di Kali Pepe, Bandar
Arab di Kali Jenes dan Bandar Nusupan di Semanggi.
Setelah
terjadinya pendangkalan pada anak-anak sungai Bengawan Solo (Kali Jenes, Kali
Kabanaran, dan Kali Pepe) maka bandar-bandar yang ada padanya akhirnya tidak
dapat berfungsi lagi. Hal ini mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk kota
(morfologi kota) yang ada di Solo. Keramaian tidak bertumpu di sepanjang tepian
sungai-sungai tersebut, akan tetapi mulai menyebar seiring dibangunnya berbagai
utilitas kota yang lebih modern pada waktu itu. Salah satunya adalah
pembangunan jembatan antarkota yang melintasi Bengawan Solo, yaitu Jembatan
Jurug yang menghubungkan dengan Karanganyar, Sragen serta kota-kota di Jawa
Timur.
Jembatan ini terletak di perbatasan antara Kelurahan Jebres, Kecamatan Jebres, Kota Surakarta, dengan Desa Ngringo, Kecamatan Jaten, Kabupaten Karanganyar, atau berada di sebelah timur pintu masuk Taman Satwataru Jurug.
Jembatan ini terletak di perbatasan antara Kelurahan Jebres, Kecamatan Jebres, Kota Surakarta, dengan Desa Ngringo, Kecamatan Jaten, Kabupaten Karanganyar, atau berada di sebelah timur pintu masuk Taman Satwataru Jurug.
Jembatan Jurug Lama ini mulai dibangun pada tahun 1913 semasa pemerintahan Sri Susuhunan Pakubuwono X. Pengerjaan jembatan tersebut memakan waktu selama dua tahun. Pada tahun 1915, Sri Susuhunan Pakubuwono X dan Residen Surakarta F.P. Sollewijn Gelpke yang didampingi oleh pejabat sipil dan militer, melakukan peresmian jembatan yang berada di atas Bengawan Solo tersebut. Upacara peresmian Jembatan Jurug diabadikan dalam sebuah foto berukuran 21 x 27 cm yang diarsipkan oleh Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) dalam Collection KITLV Digital Image Library dengan judul: ‘De soesoehoenan Pakoe Boewono X (midden) en resident F.P. Sollewijn Gelpke (links van de soesoehoenan) in gezelschap van burgerlijke en militaire functionarissen bij de opening van de brug over de Solo te Soerakarta’ (1915).
Jembatan Jurug Lama ini merupakan jembatan tipe gelagar baja komposit dengan plat lantai kayu. Jembatan ini mempunyai 5 bentang dengan panjang 92,2 m. Data eksisting jembatan menunjukkan bahwa jembatan tersebut memiliki bentang tengah 50 m pada panjang jembatan, lebar jembatan 5 m, tebal perkerasan 7 cm, tebal slab beton rencana 15 cm, berat jenis beton 2,4 t/m3, berat jenis aspal 2,2 t/m3, berat jenis besi tuang 7,1 t/m3, berat jenis air 1 t/m3, dan jarak balok memanjang 1 m (Silvia Yulita Ratih, dkk, 2012: 42).
Kondisi
eksisting Jembatan Jurug akibat pengaruh umur jembatan dan banjir mengalami
beberapa kerusakan di beberapa tempat. Oleh karena itu, jembatan ini sekarang
hanya dikhususkan bagi pejalan kaki, sepeda onthel maupun sepeda motor saja.
Kendaraan roda empat sudah tidak diperbolehkan melewati Jembatan Jurug Lama
ini, tetapi harus melewati Jembatan Jurug yang dibangun kemudian di sebelah
selatan jembatan yang lama. *** [260617]
Kepustakaan:
Qomarun & Prayitno, Budi. (2007). Morfologi Kota
Solo (Tahun 1500-2000). Dimensi Teknik
Arsitektur Vol. 35, No. 1, Juli 20017: 80-87
Ratih, Silvia Yulita., & Safarizki, Hendramawat
Aski. (2012). Alternatif Perbaikan Kerusakan Pada Jembatan Gelagar Baja
Komposit Dengan Prategang Eksternal (Studi Kasus Jembatan Jurug Surakarta). Wacana Vol. 13 No. 2 September 2012:
40-47
http://media-kitlv.nl/image/cb85ae45-3f82-4abc-aca7-0156a78caa23
https://daerah.sindonews.com/read/1273348/189/cicit-paku-buwono-x-silsilah-keluarga-kami-dipalsukan-penggugat-1515825212
BalasHapus