The Story of Indonesian Heritage

GKJW Jemaat Sitiarjo

Pagi itu udara cukup cerah. Dari jendela Aula Puskesmas Sitiarjo terlihat bangunan megah memanjang. Bangunan itu dikenal dengan Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Jemaat Sitiarjo (Oost-Javaansche Kerk van Sitiardjo). Gereja itu terletak di Jalan Barat Greja No. 9 Dusun Palung RT 23 RW 05 Desa Sitiarjo, Kecamatan Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur.

Keberadaan gereja ini tidak terlepas dari perjalanan sejarah Desa Sitiarjo. Menurut sejarahnya, desa ini dulu dibuka oleh beberapa anggota komunitas kristiani yang berasal dari Suwaru dan Wonorejo. Bedhah krawang atau babat alas dinakhodai oleh Kyai Truna Semita dan beberapa keluarga Kristen lainnya. Mereka mulai membuka lahan pada tahun 1893 setelah sebelumnya sebanyak dua kali dilakukan survey lokasi terlebih dahulu, dan baru diterbitkan surat ijin resminya dari Pemerintah Hindia Belanda di Batavia pada 25 Juni 1895, meski surat ijin itu baru sampai di Sitiarjo pada 11 Februari 1897.


Bangunan GKJW Jemaat Sitiarjo dari sisi timur

Penerbitan surat ijin berlogo singa atas nama Pemerintah Hindia Belanda itu sekaligus menandai terbentuknya pasamuwan (jemaat) di Sitiarjo. Jemaat Sitiarjo ini terbentuk oleh sejumlah komunitas kristiani yang membuka lahan hutan tersebut. Di daerah Malang, perkembangan jemaat GKJW diawali di Suwaru (1857), Peniwen (1880), Wonorejo (1887), dan kemudian Sitiarjo.

Segera setelah selesai pembukaan lahan hutan tersebut, pada tahun 1901 itu mulai dibangun sebuah gereja yang difungsikan sebagai sekolah di lahan Pasamuwan Sitiarjo. Aktivitas sekolah itu diemban oleh dua orang guru pada waktu itu, yaitu Ernes dan Sasminah, sedang Guru Injilnya dipegang oleh Akimas. Sekarang, sekolah itu menjadi area SMP YBPK Sitiarjo.


Bangunan GKJW Jemaat Sitiarjo dari depan

Seiring perjalanan waktu, sekolah di lahan Pasamuwan Sitiarjo itu jumlah siswanya kian bertambah. Pertambahan jumlah siswa ini menyebabkan daya tampung sekolah pasamuan sudah tidak mampu menampung lagi. Sehingga, pihak pasamuwan membangun lagi sebuah sekolah yang lebih luas di lahan sebelah barat milik Pasamuwan Sitiarjo, yang sekarang merupakan area SDN Sitiarjo.

Dengan dibangunnya gedung sekolah baru itu, bangunan gereja yang semula digunakan juga untuk aktivitas sekolah akhirnya dikembalikan sebagai tempat untuk beribadah saja (gereja).

Bangunan gereja ini awalnya berukuran kecil. Dari foto lawas yang terpampang di ruang kantor gereja memperlihatkan bahwa bangunan gereja itu hanya memiliki 2 pintu dan 3 jendela di masing-masing sisi tembok.


Bekas tempang lonceng gereja

Kendati sekolah dan gereja sudah dipisahkan, namun seiring semakin ramainya kawasan baru itu menyebabkan daya tampung bangunan gereja lama sudah tidak memadai lagi untuk menampung jemaat yang semakin bertambah.

Akhirnya diputuskan untuk membangun gereja yang lebih luas dan besar di sisi utara sungai, tepatnya berada di lereng lembah Panguluran. Peletakan batu pertama dilakukan oleh Pendeta De Vries, selaku pendeta di Pasamuwan Swaru yang menggantikan Pendeta Luinenburg, pada tahun 1918. Pembangunan gedung gereja itu berhasil diselesaikan dan diresmikan sebagai rumah ibadah Pasamuwan Sitiarjo pada tahun 1921.

Gedung gereja yang dibangun selama tiga tahun itu sampai sekarang masih berdiri kokoh, dan boleh dibilang menjadi bangunan ikonik di Desa Sitiarjo.

 

Jendela ganda gereja di sisi timur

Dilihat dari fasadnya, bangunan GKJW itu bernuansa gaya arsitektur kolonial. Arsitektur kolonial adalah arsitektur cangkokan dari negeri induknya Eropa ke daerah jajahannya. Arsitektur kolonial Belanda adalah arsitektur Belanda yang dikembangkan di Hindia Belanda selama masih dalam kekuasaan Belanda sekitar awal abad 17 sampai tahun 1942 (Soekiman, 2011).

Kendati bangunannya tanpak sederhana, namun masih ada ornamen yang memperlihatkan bahwa bangunan gereja merupakan bangunan kolonial. Dalam Handinoto (2010) bahwa ciri dari bangunan kolonial yaitu adanya gevel atau gable.

Gevel terletak pada bagian depan atau tampak bangunan, memiliki bentuk segitiga atau yang mengikuti bentuk dari atap atau bangunan itu sendiri. Bentuk gevel pada bangunan GKJW Jemaat Sitiarjo adalah pediment gable, berwarna abu-abu di antara dominasi warna putih dengan atap pelana yang memiliki kemiringan tertentu. Pada gevel terpasang jam ukuran besar berbentuk bulat dengan warna putih. Berdasarkan catatan yang ada di Zendingsblad der Nederlandse Hervormde Kerk (halaman 8 dan 9) yang dipublikasikan pada 1 November 1961 diceriterakan bahwa jam tersebut merupakan kiriman dari mantan pendeta misionaris yang pernah menginjakkan kaki di GKJW Jemaat Sitiarjo. Pendeta yang bernama J. Wiegers itu mengorganisir penggalangan dana di antara teman-teman misionaris di Belanda untuk membeli sebuah jam besar untuk dipasang di GKJW Jemaat Sitiarjo. Pemasangannya bertepatan dengan ulang tahun gedung gereja yang ke-40.


Prasasti penanda berdirinya Jemaat Sitiarjo

Konstruksi bangunan gereja memakai bahan bangunan utama bata dan kayu. Pemakaian kaca terbatas pada pintu dan jendela ganda yang ada. Ada dua pintu ganda di bagian depan sebagai pintu utama. Pintunya tinggi dan diatasnya terdapat lengkungan kaca.

Jumlah jendela ganda ada 6 buah di sisi barat dan 6 buah di sisi timur. Jendelanya berukuran besar, di atasnya juga terdapat kaca seperti pada pintu gereja. Terdapat beberapa kaca di atas pintu maupun jendela yang berada di sisi timur meninggalkan jejak terkena peluru. Menurut Singgih, salah seorang pengurus gereja, bekas tembusan peluru saat terjadi Agresi Militer II pada 1 Januari 1949 itu mengenai 1 pintu dan 2 jendela tapi untungnya tidak melukai jemaat.

Bangunan GKJW ini denahnya berbentuk simetris. Terdapat pagar keliling yang membatasi bangunan gereja dengan bangunan lainnya. Di sisi selatan halaman depan gereja terdapat cripedoma, yaitu trap-trap tangga naik yang cukup tinggi menuju bangunan gereja setelah melewati halaman depan. Cripedoma ini sekaligus sebagai pintu masuk halaman gereja dari Jalan Barat Greja.

Dilihat dari tingginya cripedoma menunjukkan bahwa letak bangunan gereja itu berada di lereng lembah Sungai Panguluran. Secara geografis, Desa Sitiarjo memang merupakan daerah perbukitan dengan lembah sungai dan dekat dengan Pantai Selatan yang berjarak sekitar 12 kilometer.

Pada tulisan J.Pik-Scharten yang dipublikasikan di Nederlands Zendingblad (halaman 14) pada 1 Januari 1928 disebutkan bahwa Pasamuwan Sitiarjo merupakan sebuah jemaat yang besar yang terdiri dari 2.000 jiwa (kerkeraadsleden uit Siti-Ardjo, een groote gemeente van meer dan 2000 zielen, in het Zuid-Malangsche).

Di dalam Nederlandsch Zendingsjaarboek Voor 1937-1939 dikatakan bahwa Pasamuwan Sitiarjo termasuk ke dalam delapan distrik gerejawi yang disebut Groote Kerkeraad dengan sebutan Dewan Pasamoean Agung yang pusatnya dulu menginduk ke Suwaru. Setelah berdiri sendiri, GKJW Jemaat Sitiarjo masih tetap menunjukkan eksistensinya hingga sekarang. *** [290121]


Kepustakaan:

Djoko Soekiman.  (2011).  Kebudayaan Indis dari zaman Kompeni sampai revolusi.  Depok : Komunitas Bambu

Fitroh, Ismaul. Berdirinya Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Tunjungrejo Kecamatan Yosowilangun Kabupaten Lumajang. Candra Sangkala, [S.l.], v. 1, n. 2, sep. 2020. ISSN 2745-7990. Available at: <https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/JCS/article/view/28761>. Date accessed: 29 jan. 2021. doi:http://dx.doi.org/10.23887/jcs.v1i2.28761

Handinoto. (2010). Arsitektur dan Kota-kota di Jawa pada Masa Kolonial. Graha Ilmu: Yogyakarta

Nederlandsch zendings-jaarboekje. Geraadpleegd op Delpher op 28-01-2021, http://resolver.kb.nl/resolve?urn=MMZEND01:002708001:00001

https://www.digibron.nl/viewer/collectie/Digibron/id/tag:PKN,19230701:newsml_56e2ddf3c49d67a9b4562b1efd22f1fe

https://zahranaa.blogspot.com/2017/07/agama-dan-integrasi-sosial-studi-atas.html

 

 

Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami