The Story of Indonesian Heritage

  • Istana Ali Marhum Kantor

    Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)

  • Gudang Mesiu Pulau Penyengat

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Benteng Bukit Kursi

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Kompleks Makam Raja Abdurrahman

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Mesjid Raya Sultan Riau

    Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

Stasiun Kereta Api Kebonagung

Peta Lokasi Stasiun Kebonagung (Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Malang_Stoomtram_Maatschappij)

Dalam Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië (Stibbe & Sandbergen, 1939: 1441) disebutkan ada 4 perusahaan gula di Malang (er zijn 4 suikerondernemingen), yaitu Krebet, Kebonagung, Panggungrejo, dan Sempalwadak.

Keempat pabrik gula tersebut memiliki pengaruh besar terhadap pengembangan infrastruktur wilayah tersebut, termasuk pembangunan jalur kereta api dan stasiun. Tujuannya untuk mendukung kebutuhan transportasi industri gula, sehingga gula dan produk lainnya dapat diangkut ke pasar dengan lebih efisien. Karena pada waktu itu, gula kebetulan menjadi komoditas unggulan di Eropa.

Dalam peta yang diterbitkan Pemerintah Hindia Belanda sekitar tahun 1932 memperlihatkan bahwa keempat lokasi pabrik gula tersebut tersambung dengan halte atau stasiun kereta api meski ukurannya tak sebesar pada stasiun-stasiun yang ada di ibu kota kabupaten/kota.

Salah satu di antaranya yang akan dibahas di sini adalah Stasiun Kereta Api Kebonagung, yang selanjutnya disebut Stasiun Kebonagung (KBA). Stasiun ini termasuk stasiun dengan klasifikasi kelas III/kecil.

Kendati secara fisik sudah tak tampak lagi, namun bila dilihat dalam peta jadoel masih meninggalkan jejaknya. Diperkirakan lokasi stasiun Kebonagung dulu berada di Desa Kebonagung, Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang. Ancer-ancernya berada di belakang parkiran truk yang akan membawa tebu untuk masuk ke mesin giling di Pabrik Gula (PG) Kebonagung.

Jejak yang masih tersisa adalah rel persilangannya. Persilangan tersebut, dalam peta jadoel, ada yang lurus mengarah ke Stasiun Pakisaji untuk arah selatan, dan mengarah ke Stasiun Malang Kota Lama untuk yang ke utara. Sedangkan, persilangannya masuk ke kompleks PG Kebonagung.

Menurut sejarahnya, pembangunan stasiun Kebonagung bersamaan dengan pembangunan jalur kereta api Staatsspoorwegen (SS) lintas Malang-Kepanjen yang selesai dan diresmikan pada 5 Januari 1896. 

SS adalah perusahaan kereta api milik pemerintah Hindia Belanda yang didirikan pada tahun 1875. SS menjadi perusahaan besar pesaing Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS). Jalur pertama yang dibangun oleh SS adalah lintas Surabaya-Pasuruan, dengan lintas cabang dari Bangil menuju Malang. Pada perkembangannya, cakupan SS semakin luas. SS juga membangun jalur kereta api di berbagai daerah lain.

Dengan adanya The Great Depression, masa keemasan industri ekspor Hindia Belanda pada tahun 1929 hingga 1939 mengalami kemerosotan bahkan hingga banyak industri yang ditutup, termasuk di antaranya pabrik gula.

Kemerosotan ini tentu berpengaruh kepada operasional stasiun Kebonagung, yang kemudian dipengaruhi dengan faktor eksternal lainnya dengan kedatangan Jepang hingga masa kemerdekaan, mempengaruhi eksistensi stasiun tersebut.

Meski sudah tidak ada lagi secara fisik, tetapi hubungan historisnya dengan pabrik gula menjadikannya bagian menarik dari sejarah perkeretaapian Indonesia. Perlu diketahui, PG Sempalwadak (dulu berlokasi di Desa Sempalwadak yang berada pada tengah-tengah rute Jagalan dan Bululawang), PG Krebet (Desa Krebet) dan PG Panggungrejo (Kepanjen) terhubung dengan jalur trem Malang Stoomtram Maatschappij (MS). Sedangkan, PG. Kebonagung dulu tidak tidak terhubung dengan jalur trem tapi langsung dengan jalur SS. Keempat stasiun di 4 pabrik gula yang ada di Kabupaten Malang itu semuanya sudah tak berwujud lagi. *** [210325]



Share:

Klenteng Hok Tek Bio Salatiga

Klenteng Hok Tek Bio Salatiga (Foto: 4 Januari 2025)

Terletak di lereng Gunung Merbabu, Kota Salatiga menawarkan nuansa sejuk yang memikat para pengunjung. Kota kecil yang dikenal dengan julukan "Kota Hati Beriman" ini, menyimpan berbagai cerita sejarah yang menarik, salah satunya adalah jejak budaya Tionghoa yang dapat ditemukan melalui Klenteng Hok Tek Bio.

Klenteng Hok Tek Bio yang terletak di Jalan Sukowati No. 13 Kelurahan Kalicacing, Kecamatan Sidomukti, Kota Salatiga, Provinsi Jawa Tengah, adalah salah contoh bangunan heritage yang memiliki nilai sejarah dan budaya yang sangat penting. 

Sebagai sebuah klenteng, Hok Tek Bio bukan hanya berfungsi sebagai tempat ibadah Tri Dharma bagi umat Buddha, Konghucu, dan Tao, tetapi juga menjadi simbol penting dalam sejarah perkembangan komunitas Tionghoa di Indonesia, khususnya di Salatiga. Klenteng ini tidak hanya memiliki nilai spiritual, tetapi juga nilai arsitektur dan sosial yang turut memperkaya warisan budaya Indonesia.

Tahun berdiri klenteng ini belum diketahui dengan pasti. Sumber dalam prasasti marmer beraksara Tiongkok menunjukkan adanya pemugaran klenteng pada tahun 1872. Awalnya, kelenteng ini dibangun oleh masyarakat Tionghoa yang bermigrasi ke wilayah Salatiga untuk tujuan perdagangan dan memperluas pengaruh budaya mereka.

Nama "Hok Tek Bio" sendiri berasal dari bahasa Hokkian, salah satu bahasa Tiongkok, tepatnya dari Minnan (Min selatan) dan bahasa ini digunakan secara luar di wilayah Fujian. Secara etimologis, "Hok Tek Bio" terdiri dari gabungan kata “Hok” (bumi), “Tek” (kebajikan), dan “Bio” (rumah ibadah). Sehingga, nama tersebut mengandung arti "Kelenteng Dewa Hok Tek," yang merujuk pada Dewa Hok Tek (atau Hotei) yang dipercaya sebagai dewa kebahagiaan dan kelimpahan dalam tradisi Taoisme.

Patung Dewa Hok Tek, atau lengkapnya bernama Hok Tek Ceng Sin, digambarkan sebagai seorang pria tua yang tersenyum ramah, berambut serta berjanggut panjang berwarna putih, dan sering kali digambarkan dalam posisi duduk.

Klenteng Hok Tek Bio dengan luas 600 m² ini memiliki gaya arsitektur khas Tionghoa, dengan atap melengkung yang indah, ornamen-ornamen berwarna cerah, dan ukiran-ukiran yang sarat dengan makna simbolis. Bangunan ini memadukan elemen-elemen arsitektur tradisional China dengan pengaruh lokal, menciptakan kesan yang eksotik sekaligus harmonis dengan lingkungan sekitar.

Pada bagian depan klenteng, terdapat sebuah gapura paduraksa bertuliskan nama klenteng dalam aksara Tionghoa sebagai pintu gerbang masuk ke dalam lingkungan klenteng, yang biasa disebut dengan shan men atau pai lou. Di atas gapura ini terdapat hiasan dengan ukiran mutiara bola api milik Sang Buddha (huo zhu) yang diapit oleh sepasang naga yang saling berhadapan (xing long).

Memasuki pintu gerbang, pengunjung akan berada di pelataran (courtyard), sebuah halaman terbuka yang biasanya banyak ditemukan di rumah-rumah tradisional Tiongkok. Pelataran dengan bangunan keliling pada keempat sisi yang menghadap taman di tengahnya dan umumnya bersumbukan utara-selatan itu disebut si he yuan.

Di pelataran (si he yuan) itu, pengunjung akan menyaksikan ada dua tempat pembakaran kertas (kim lo) yang berbentuk botol besar berwarna merah yang ditaruh di atas umpak putih dengan pelisir warna merah di bagian bawah dan pelisir kuning di bagian atas umpak. Sedangkan, pada atap bangunan klenteng juga terdapat ragam hias seperti pada pintu gerbang, yaitu huo zu yang diapit xing long.

Melangkah menuju ke dalam, pengunjung akan menjumpai sepasang arca singa (shi zi) berwarna hijau dengan paduan warna kuning, merah, dan putih. Lalu, tepat di pintu utama mau masuk bangunan utama terdapat hiolo (tempat menancapkan hio) yang terbuat dari kuningan.

Lanjut langkah kaki ke dalam, pengunjung akan menjumpai altar-altar bagi penganut untuk bersembahyang. Ada sembilan altar di dalam sembilan ruang. Ruang paling depan pada bangunan utama yang bentuknya menyerupai huruf T terbalik adalah ruang penyembahan Thian Than (Tuhan Yang Maha Esa). Ruang tengah yang merupakan ruang utama terdapat altar Dewa Bumi (Hok Tek Cing Sien) beserta dewa lain dan pengawalnya.

Melihat peletakan altar Dewa Bumi di ruang utama tengah, menandakan bahwa di klenteng ini yang menjadi tuan rumahnya yakni Dewa Bumi (Hok Tek Ceng Sien). Dewa ini diyakini memiliki wewenang dalam mengatur rezeki pada manusia sehingga biasa dipuja oleh orang yang mengharapkan rezeki yang lancar dan usaha yang maju. Oleh sebab itu, Klenteng Hok Tek Bio yang diperuntukkan kepada penganutnya sering kali dibangun dekat dengan pasar, seperti yang ada di Kota Salatiga ini. Jarak ke Pasar Salatiga sekitar 150 meter.

Kemudian di sebelah timur, terdapat dua ruang penyembahan, yakni ruang penyembahan Dewi Welas Asih (Mak Co Kwan Im) dan ruang penyembahan Dewa Rezeki lainnya. Sementara, di sebelah barat bangunan utama juga terdapat dua ruang penyembahan, yakni ruang penyembahan Dewi Lautan (Mak Co Thian Siang Sing Bo) dan ruang penyembahan Smiling Buddha (Buddha yang selalu tersenyum).

Terpisah dari bangunan utama, pada sebelah barat terdapat bangunan memanjang ke utara yang berisi tiga ruang penyembahan. Ruang paling utara terdapat altar Buddha Sidharta Gautama, sedangkan ruang tengah terdapat altar Thay Sang Lo Kun. Sementara, ruang paling timur terdapat altar Nabi Khong Hu Cu.

Selain bangunan klenteng yang masih asli sejak 1872, sekitar tahun 2008 dibangun aula di bagian belakang. Adapun umat yang melangsugkan sembahyang di sini mencapai 300-an orang.

Klenteng Hok Tek Bio ini dikelola oleh Yayasan Tri Dharma Amurvabhumi Hok Tek Bio, sehingga klenteng ini sering juga disebut sebagai Klenteng Amurvabhumi. *** [100325]



Share:

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami