Selesai
melihat bangunan cagar budaya GPIB Marga Mulya, perjalanan berikutnya
menyaksikan bangunan kuno yang berhalaman luas. Bangunan tersebut, oleh
masyarakat Jogja, dikenal dengan Gedung Agung.
Gedung
ini terletak di Jalan Ahmad Yani No. 3 Kampung Ngupasan RT. 09 RW. 03 Kelurahan
Ngupasan, Kecamatan Gondomanan, Kota Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta. Lokasi gedung ini tepat berada di depan benteng Vredeburg, atau
berada di sebelah utara BNI 46 dan di sebelah selatan GPIB Marga Mulya.
Seperti
halnya Loji Besar (sekarang dikenal dengan Benteng Vredeburg), Loji Kebon juga
menjadi saksi sejarah. Loji Kebon ini merupakan istilah yang digunakan oleh
masyarakat Jogja pada waktu itu untuk menyebut Gedung Agung karena halaman luas
yang dimiliki oleh rumah besar (loji) tersebut. Halaman yang luas tersebut,
oleh masyarakat Jogja, kerap disebut dengan kebon.
Menurut
catatan sejarah, Loji Kebon atau Gedung Agung ini dibangun pada Mei 1824 atas
prakarsa Residen Belanda ke-18 di Yogyakarta, Anthonie Hendriks Smissaert. Pada
waktu itu, sang residen mengajukan pembangunan gedung ini sebagai kediaman
resmi atau rumah dinas bagi residen yang bertugas di Yogyakarta. Karena tidak
mau kalah dengan wibawa Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, maka pembangunan
gedung ini pun juga tak kalah megahnya dengan kediaman Sultan Yogyakarta
tersebut.
Dalam pembangunan gedung ini, Gubernur Jenderal Hindia Belanda kala itu, Godert Alexander Gerard Phillip Baron van der Capellen (1816-1826), menunjuk langsung seorang arsitek bernama Antonie Auguste Joseph Payen. Payen adalah seorang arsitek berkebangsaan Belgia yang gemar melukis dan membuat litografi. Ia lahir di Brussel pada 12 November 1792. Setelah lulus arsitek di Doomik Belgia, kemudian ia menjadi murid di studio H. Van Assche di Brussel. Lalu, ia ditunjuk sebagai pelukis untuk Natural Sciences Commision di bawah Prof. C.G.C. Reinwardt, dan berkesempatan melakukan perjalanan ke Jawa, Maluku dan Sulawesi. Tiba di Hindia Belanda pada tahun 1817, dan tinggal di Bogor. Pada waktu tinggal di Bogor, Payen mendapat kepercayaan untuk membuat rancangan guna merenovasi Istana Bogor.
Setelahnya,
Payen mendapat kepercayaan lagi dari Gubernur Jenderal untuk merancang sebuah
kediaman resmi residen di Yogyakarta. Pengalamannya di Bogor, menginspirasi
Payen dalam mendesain Loji Kebon dengan suasana taman yang luas seperti Istana Bogor. Selain sebagai arsitek, Payen dikenal juga sebagai guru dari Raden Saleh,
dan membantu Raden Saleh mencarikan beasiswa dari pemerintah untuk belajar seni
selama dua tahun di Belanda. Kembali ke Eropa pada tahun 1826. Selama di Hindia
Belanda, ia berhasil membuat sekitar 500 lukisan, dan menulis mengenai Hindia
Belanda. Tulisannya memberi informasi penting bagi Hindia Belanda selama
beberapa periode. Sebuah koleksi besar dari pekerjaannya adalah di Volkendundig Museum (National Museum of Ethnology) di Leiden.
Ia meninggal di Doomik, Belgia, pada 18 Januari 1853.
Pembangunan
gedung ini sempat tertunda karena terjadinya Perang Jawa (1825-1830). Perang
gerilya yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro beserta pengikutnya, nyaris
membuat Pemerintah Hindia Belanda mengalami kebangkrutan. Sehingga, pembangunan
gedung tersebut terbengkelai. Baru dilanjutkan kembali setelah berakhirnya
perang tersebut, dan selesai pada tahun 1832. Pada 10 Juni 1867, gedung ini
mengalami rusak parah akibat gempa bumi yang melanda Yogyakarta, dan dipugar
kembali pada tahun 1869.
Pada
19 Desember 1927, status administratif wilayah Yogyakarta sebagai karesidenan
ditingkatkan menjadi provinsi di mana gubernur menjadi penguasa tertinggi.
Dengan demikian, gedung tersebut menjadi kediaman para gubernur Belanda di
Yogyakarta. Beberapa gubernur Belanda yang pernah mendiami gedung ini, adalah
J.E. Jesper (1926-1927), P.R.W. van Gesseler Verchuur (1929-1932), H.M. de Kock
(1932-1935), J. Bijlevel (1935-1940), sampai pada L. Adam (1940-1942).
Pada
masa pendudukan Jepang, gedung ini digunakan
untuk kediaman petinggi Jepang bernama Kooch Zimmukyoku Tyookan.
Kemudian, setelah Jepang hengkang dari Yogyakarta, pada tanggal 29 Oktober 1945
gedung ini digunakan untuk Kantor Komite Nasional Indonesia. Namun, sejak 6
Januari 1946, gedung ini resmi menjadi Istana Kepresidenan Republik Indonesia
bertepatan dengan dijadikannya Yogyakarta sebagai ibukota sementara pada waktu
itu. Ketika Presiden dan Wakil Presiden sudah kembali ke Jakarta pada 28 Desember
1949, gedung ini digunakan untuk menerima tamu-tamu para petinggi RI pada waktu
ingin mengunjungi Yogyakarta. Oleh karena itu, masyarakat Jogja menyebutnya
dengan Gedung Agung, yaitu sebagai tempat penerimaan tamu-tamu agung. Begitu pula
halnya dengan keberadaan Presiden Soekarno beserta keluarga yang pernah tinggal
dan berkantor di gedung ini, maka gedung ini juga mendapat julukan sebagai
Istana Kepresidenan Yogyakarta.
Gedung
yang berdiri di atas lahan seluas 43.585 m² ini memiliki banyak ruangan,
namun dilihat dari arsitekturnya terlihat bahwa gedung ini memiliki langgam Indische Empire Style. Gaya rumah Indische serta gaya dari kebun yang
menyertainya diadopsi dari gaya arsitektur yang berkembang di Perancis pada
abad ke 17 dan 18. Gaya ini merupakan tiruan dari gaya aristokratik kalangan
atas orang-orang Eropa. Kebanyakan yang membangun rumah tersebut adalah para
pejabat VOC di Hindia Belanda. *** [160815]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar