The Story of Indonesian Heritage

  • Istana Ali Marhum Kantor

    Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)

  • Gudang Mesiu Pulau Penyengat

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Benteng Bukit Kursi

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Kompleks Makam Raja Abdurrahman

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Mesjid Raya Sultan Riau

    Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

Sejarah Singkat Desa Plumbangan

Desa Plumbangan merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Doko, Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur. Topografi ketinggian desa ini adalah berupa dataran tinggi .
Berdasarkan data administrasi pemerintahan Desa Plumbangan tahun 2010, jumlah penduduknya adalah 5.118 orang dengan jumlah 1.435 KK dengan luas wilayah 738,32 hektar. Desa Plumbangan terdiri atas empat dusun, yaitu Dusun Plumbangan, Dusun Barek, Dusun Precet, dan Dusun Pagak. Sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai petani yang didukung oleh lingkungan alam yang menopang pertanian.
Jarak tempuh Desa Plumbangan ke ibu kota Kecamatan Doko yaitu sekitar 8 kilometer. Sedang jarak ke ibu kota Kabupaten Blitar adalah sekitar 22 kilometer.
Secara administratif, Desa Plumbangan dibatasi oleh wilayah desa-desa tetangga. Di sebelah utara berbatasan dengan Desa Sumberurip. Di sebelah barat berbatasan dengan Desa Wlingi, Kecamatan Wlingi. Di sisi selatan berbatasan dengan Desa Suru, sedangkan di sisi timur berbatasan dengan Desa Suru.
Dalam Dokumen Sejarah Desa Plumbangan Tahun 1042 Masehi – Sekarang Tahun 2011, dikisahkan bahwa pada zaman pemerintahan Raja Sri Aji Jayabaya, raja dari Kerajaan Kediri, terdapat sebuah desa yang lokasi agak jauh dari pusat kerajaan yang disebut dengan Desa Panumbangan.
Awalnya, desa tersebut terkenal dengan yang aman dan tenteram. Penduduknya hidup tenang, dan bekerja seperti sedia kala. Ada yang bercocok tanam, menggembala sapi dan merawat kuda kerajaan. Suatu ketika di pasetran sumur Gumuling, yang sekarang dikeramatkan sebagai punden Blumbang, warga Desa Panumbangan dikejutkan huru-hara karena ulah raja jin bernama Waroklodro. Setiap hari, Waroklidro senantiasa menganggu penduduk desa yang akan mengambil air minum untuk memasak dan mandi di Kali Tiko. Sehingga, hal ini menimbulkan keresahan bagi penduduk Desa Panumbangan.
Salah seorang penggembala sapi memberanikan diri untuk melaporkan kejadian di Desa Panumbangan kepada raja di Kediri. Sesampainya di kerajaan, sang penggembala diterima oleh raja tetapi sayangnya raja tidak dapat turun tangan sendiri. Lalu, raja Kediri menyuruh minta bantuan di pasetran Pandan Rowo yang berada di Watu Gede Wlingi. Begitu Sang Begawan menerima laporan, ia memerintahkan untuk membuat Candi Lawang sebagai persyaratan dalam melawan raja jin Waroklodro. Benar adanya, setelah Candi Lawang atau dikenal juga dengan Candi Watu Lawang berdiri, raja jin merasa sangat senang dan bersila duduk di depan candi. Selanjutnya, oleh Sang Begawan disiram dengan tirta suci pemusnah. Akibatnya, Waroklodro hilang dan musnah.
Sebenarnya sebelum Candi Watu Lawang jadi, candi atau pun arca-arca lainnya sudah dibuat. Misalnya batu tulis (prasasti) yang sekarang berada di sebelah kanan depan candi itu dibuat pada tahun 1042 Masehi, dan tertanggal 11 Agustus yang isinya bukan merupakan silsilah raja-raja tetapi hanya merupakan sabda raja.
Isi dari prasasti tersebut antara lain: “Sing sopo manungso kang hanerak angger-angger dhawuhe nata lamun lumebu ing wana gung cinakota ing ulo mandi, lamun lumaku ing bulak di sambera ing glap.” (Barang siapa orang yang melanggar sabda baginda raja kalau masuk hutan mudah-mudahan digigit ular berbisa dan dimakan harimau, kalau berjalan di padang mudah-mudahan di sambar petir).Jadi, kalau dilihat dari batu tulis tersebut, Desa Plumbangan yang dulunya dikenal dengan nama Desa Panumbangan itu hari jadinya adalah tanggal 11 Agustus 1042.
Karena desa tersebut telah berhasil meluruskan huru-hara dan keadaannya menjadi aman, tenteram dan damai oleh sang raja diberikan hadiah menjadi tanah perdikan. Artinya, desa tersebut dibebaskan dari pajak , desa tersebut tidak usah membayar pajak kepada kerajaan.
Setelah runtuhnya Majapahit, penduduk yang tinggal di desa tersebut tinggal sedikit, yaitu sekitar 14 rumah tangga yang di antaranya pasangan dari Soka Sentono dan Sokawati yang makamnya sampai sekarang masih dikeramatkan oleh warga Desa Plumbangan.
Adapun yang menjadi kepala desa yang pertama seiring terbentuknya pemerintahan desa adalah Marto Djoyo (1905-1913). ***
Share:

Pabrik Sirop Siropen

Saat melintas Jalan Jembatan Merah, pandangan saya tertuju pada plang atau papan berwarna merah maron yang dipelisir warna putih dengan bertuliskan “Pabrik Sirop Siropen ± 100 M” yang dipancangkan di mulut jalan kecil antara gedung PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) X dan Prima Master Bank. Rasa penasaran menggelayuti keingintahuan. Lalu, motor saya belokkan ke jalan tersebut, dan saya parkir di sebelah bangunan kuno kecil tapi berpilar tiga tiang besar.
Di bagian atas pilar bangunan kuno tersebut masih terdapat tulisan asli “Pabrik Limoen J.C. van DRONGELEN & HELLFACH.” Itulah yang kini dikenal umum dengan Pabrik Sirop Siropen lantaran produknya terkenal dengan nama Siropen Telasih.


Pabrik Sirop Siropen terletak di Jalan Mliwis No. 5 Kelurahan Krembangan Selatan, Kecamatan Krembangan, Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur. Lokasi ini tidak begitu jauh dengan Hotel Ibis Rajawali karena posisinya berada di belakang hotel tersebut.
Pabrik rumahan yang didirikan oleh J.C. van Drongelen pada tahun 1923 ini merupakan pabrik sirop pertama di Indonesia. Sejak awal berdirinya pabrik ini, Drongelen tidak mau menggunakan metode terbaru padahal saat zaman penjajahan Belanda, bangsa Eropa sudah akrab dengan teknologi modern dan mesin. Tapi memang dengan metode konvensional dalam mempertahankan rasa dan aroma sirop ini yang menjadi salah satu alasan pabrik tetap berdiri sampai sekarang.
Bangunan pabrik ini sempat beberapa kali berpindah tangan. Pada tahun 1942 diambil alih oleh Jepang. Setelah pendudukan oleh Jepang selesai, pabrik dikuasai kembali oleh Belanda hingga ada program nasionalisasi tahun 1958, yaitu semua perusahaan Belanda diambil alih oleh Indonesia. Tahun 1962, diserahkan ke Perusahaan Industri Daerah Makanan dan Minuman yang dilebur menjadi P.D. Aneka Pangan tahun 1985. Akhirnya, pada tahun 2002 masuk PT. Pabrik Es Wira Jatim yang merupakan holding company dari PT. Panca Wira Usaha Jawa Timur, sebuah BUMD Provinsi Jawa Timur.


Awalnya, produksi pabrik ini terdiri dari limun dan sirup tetapi hingga kini yang masih bertahan hanya sirupnya saja. Sebenarnya nama lengkap dari sirop hasil produksi di pabrik ini adalah Siropen Cap Bulan Telasih tapi di kalangan masyarakat dikenal Siropen saja. Pabrik ini masih berproduksi dalam skala kecil sehingga pengunjung dapat melihat langsung bagaimana nafas industry dari era Belanda ini masih berjalan. Saat ini Siropen meluncurkan dua jenis produk yaitu Siropen Telasih dan Siropen Premium. Sebagai produk yang dikhususkan untuk oleh-oleh khas Surabaya, Sirop Siropen dikemas dengan botol seperti botol wine, dan dilengkapi dengan kota kemasan yang ringan untuk dibawa sebagai buah tangan.
Dulu, sirop ini hanya dikonsumsi oleh kalangan pedagang maupun saudagar yang saat itu menjadi mitra bisnis Belanda selama penjajahan. Sirop ini juga hanya dikonsumsi kalangan menengah ke atas atau tamu kehormatan Belanda saat itu. Namun sekarang, sirop ini sudah dapat dinikmati oleh semua kalangan masyarakat, bahkan produk khas Surabaya ini telah dibranding sebagai oleh-oleh khas Surabaya. “Reguk segarnya, rengkuh sejarahnya.” *** [180114]
Share:

Sejarah Singkat Desa Landungsari

Desa Landungsari merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Dau, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur. Topografi ketinggian desa ini adalah berupa dataran tinggi, yaitu antara 540- 700 meter di atas permukaan air laut. Berdasarkan keadaan data BPS Kabupaten Malang, curah hujan rata-rata mencapai 300 mm.
Berdasarkan data administrasi pemerintahan Desa Landungsari tahun 2010, jumlah penduduknya adalah 9.122 orang dengan jumlah 2.161 KK dengan luas wilayah 499 hektar. Desa Landungsari terdiri atas tiga dusun, yaitu Dusun Rambaan, Dusun Bendungan, dan Dusun Klandungan. Sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai petani yang didukung oleh lingkungan alam yang menopang pertanian, di samping ada juga yang menjadi PNS.
Jarak tempuh Desa Landungsari ke ibu kota Kecamatan Dau yaitu sekitar 2 kilometer. Sedang jarak ke ibu kota Kabupaten Malang adalah sekitar 35 kilometer.
Secara administratif, Desa Landungsari dibatasi oleh wilayah desa-desa tetangga. Di sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Tlogomas, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang. Di sebelah barat berbatasan dengan Desa Mulyoagung. Di sisi selatan berbatasan dengan Kelurahan Merjosari, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang, sedangkan di sisi timur berbatasan dengan Kelurahan Tlogomas, Kecamatan Lowokwaru, Kota Malang.
Dalam Profil Desa Landungsari, Kecamatan Dau, Kabupaten Malang Tahun 2011, diceriterakan bahwa pada zaman dahulu daerah ini masih berupa hutan belantara yang kemudian datanglah seseorang tokoh dan melakukan babat alas, bersama keluarga dan kerabatnya hingga perkembangannya menjadi sebuah perkampungan atau pedesaan. Pembukaan alas pertama dimulai dari Dusun Bendungan yang pada saat itu dikenal tanahnya subur karena dilalui oleh 2 sungai. Sungai tersebut dibendung untuk mengairi tanah pertanian di dusun tersebut. Berkat adanya bendungan air yang dapat mengairi sawah untuk pertanian itulah dinamakan Dusun Bendungan. Lalu, babat alas meluas ke daerah utara yang disebut Rambaan. Kemudian diteruskan atau “ngelandungnobabat alas ke selatan yang akhirnya menjadi tambah luas (landing), dan disebut dengan Klandungan. Akhirnya orang tersebut meninggal dan dimakamkan di Dusun Klandungan, dan sebagai tetenger makam tersebut dinamakan Makam Ki Ageng Mbah Doko Wono. Sampai saat ini tidak diketahui secara jelas dari berbagai sumber asal usul Ki Ageng Mbah Doko Wono tersebut, keluarga dan kerabatnya. Di samping itu belum diketahui pula sejak tahun berapa Desa Landungsari ini berdiri. Nama desa Landungsari sendiri oleh sesepuh desa pada umumnya diartikan “Landung sama dengan panjang, sari adalah inti atau madu, dan dapat diartikan panjang penggalihe, punjung rejekine”. Adapun yang menjadi kepala desa yang pertama adalah Denan (1920-1924).  ***
Share:

Taman Apsari Surabaya

Dalam catatan sejarah yang ada, salah satu residen yang pernah menempati GedungGrahadi (dulu disebut Tuinhuis) adalah Tuan J.C. Kroesen (1888-1896). Ia dikenal sebagai seorang pecinta lingkungan yang baik.
Ketika menempati tuinhuis sebagai kediaman resminya, Kroesen senantiasa memperhatikan lingkungan sekelilingnya. Tak luput dari perhatiannya adalah lahan kosong yang berada di depan kediamannya tersebut. Lahan kosong tersebut dulunya berupa ladang yang banyak ditumbuhi semak belukar. Ladang yang ada di depan rumahnya itu, ia ubah menjadi taman yang molek dan asri. Di sekitar taman itu juga dibangun jalan melingkar. Di taman tersebut juga ada bangku-bangku dan lampu-lampu taman dari besi yang berukir. Puluhan jenis bunga bisa tumbuh di taman itu.


Orang-orang pun menamai taman bunga elok itu dengan sebutan Kroesenpark atau Taman Kroesen. Di taman itu juga terdapat patung Raja Kertanegara yang lazim disebut Patung Joko Dolog.
Sekarang taman tersebut masih ada, hanya saja Kroesenpark itu kini menjadi Taman Apsari. Taman Apsari dimaknai sebuah taman yang disukai oleh para bidadari, karena kata apsari berasal dari bahasa Sansekerta yang memiliki arti bidadari.
Taman Apsari terletak di Jalan Gubernur Suryo, Kelurahan Embong Kaliasin, Kecamatan Genteng, Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur. Lokasi tersebut tepat berada di depan Gedung Grahadi.


Taman yang merupakan salah satu taman peninggalan Belanda memang memiliki kekhasan tersendiri bila dibandingkan dengan taman yang ada di Surabaya. Taman tersebut terasa sejuk dan relatif tenang meski letaknya berada di tengah kota. Taman yang memiliki area seluas 5.300 m² itu dilengkapi dengan berbagai jenis tanaman bunga maupun tanaman peneduh lainnya. Di sela tanaman bungan dan tanaman peneduh disediakan fasilitas yang nyaman untuk jalan-jalan maupun jogging track. Sedangkan, di depannya terdapat bangku-bangku taman terbuat dari besi ukir yang diletakkan berjajar dari timur ke barat. Bila Anda duduk di situ, Anda bisa langsung memandangi kemegahan Gedung Grahadi dan hilir mudik kendaraan yang sedang melintas di jalan tersebut.
Di tengah taman, dibangun Monumen Gubernur Suryo. Monumen tersebut untuk mengenang perjuangan Gubernur Pertama Provinsi Jawa Timur (1946-1948) di era kemerdekaan. *** [290114]
Share:

Sejarah Singkat Desa Jandimeriah

Desa Jandimeriah merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Tiganderket, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara. Topografi ketinggian desa ini adalah berupa dataran perbukitan, yaitu sekitar 1.200 meter di atas permukaan air laut. Berdasarkan keadaan geografis desa, curah hujan rata-rata mencapai 2.000 mm dengan suhu berkisar antara 29° C.
Berdasarkan data administrasi pemerintahan Desa Jandimeriah tahun 2010, jumlah penduduknya adalah 1.192 orang dengan jumlah 381 KK serta luas wilayah 740 hektar. Sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai petani yang didukung oleh lingkungan alam yang menopang pertanian.
Jarak tempuh Desa Jandimeriah ke ibu kota Kecamatan Tiganderket yaitu sekitar 5,8 kilometer. Sedang jarak ke ibu kota Kabupaten Karo adalah sekitar 28,8 kilometer.
Secara administratif, Desa Jandimeriah dibatasi oleh wilayah desa-desa tetangga. Di sebelah utara berbatasan dengan Sungai Lau Makam. Di sebelah barat berbatasan dengan Sungai Lau Borus. Di sisi selatan berbatasan dengan Sungai Lau Biang, sedangkan di sisi timur berbatasan dengan Desa Batukarang dan Desa Sukatendel.
Dalam Profil Desa Jandimeriah, Kecamatan Tiganderket, Kabupaten Karo, yang disusun oleh Tim Perumus Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Des) Tahun 2010 – 2014, diceriterakan bahwa pada era tahun 1700 penduduk Desa Jandimeriah berasal dari Kerajaan Bangun Mulia yang terletak sekitar 1 kilometer sébelah barat dari Desa Jandimeriah sekarang ini. Dipimpin oleh seorang raja yang bijaksana bernama Raja Mulia yang bermarga Bangun di mana raja memiliki 2 orang istri yakni 1 orang permaisuri dan 1 orang kawan (kawan dalam bahasa Karo berarti selir) dan melahirkan 5 anak laki-laki serta 1 anak perempuan. Dalam legenda ini tidak disebutkan siapa ibu kandung dari ke 6 anak raja tersebut.
Pada waktu itu putri raja yang cantik, Girik br Bangun, sedang sakit parah. Seluruh tabib di wilayah kerajaan dikumpulkan, namun tidak ada seorang pun yang sanggup mengobatinya, dan tidak tahu penyakit yang dideritanya. Sehingga raja mengutus pengawalnya untuk menyebarkan berita atau pengumuman barang siapa yang sanggup untuk mengobati putri raja akan diberikan hadiah berupa perhiasan.
Berita tersebut sampai ke telinga Guru Sakti dari Pakpak yang terkenal dengan sebutan Guru Pakpak 7 Sendalanen ( 7 sendalanen dalam bahasa Karo berarti 7 sekawan ). Berita ini juga sampai terdengar oleh guru yang sakti pula yang berasal dari Desa Jenabun dengan sebutan Guru Ndiden. Karena jarak dari Desa Jinabun tidak jauh dari Bangun Mulia hanya berjarak 6 Km maka Guru Ndiden lebih duluan sampai ke Kerajaan Bangun Mulia untuk mengobati putri raja tersebut. Alhasil putri raja dapat disembuhkan oleh Guru Ndiden dengan sempurna dan raja merasa sangat senang sekali dan sekembalinya Guru Ndiden ke  kampungnya, Jenabun, raja tidak lupa memberikan bingkisan berupa perhiasan sebagai ucapan tanda tarima kasih yang telah dijanjikannya.
Beberapa hari kemudian Guru Pakpak 7 Sendalanen sampai juga di Kerajaan Bangun Mulia yang hendak mengobati putri raja. Sangatlah kaget Guru Pakpak mendapati putri raja yang telah sembuh total dari penyakitnya, dan merasa sangat terhina karena tidak menyangka ada guru yang lebih hebat dari dirinya yang sanggup mengobati putri raja tersebut, maka dari itu Guru Pakpak mencari informasi siapakah guru itu karena dia ingin membuat perhitungan atau adu kesaktian.
Singkat cerita, maka terjadilah perkelahian antara kedua guru tersebut dengan mengandalkan kesaktian masing-masing di lokasi Bangun Mulia. Pada saat perkelahian tiba-tiba datang angin yang sangat kencang disertai guntur yang menggelegar, bumi terasa berguncang kuat seperti gempa sehingga membuat rumah-rumah penduduk saling berbenturan keras dan hancur berantakan.
Raja dan semua penduduk berlarian kekatutan menyelamatkan diri sampai ke tempat yang agak aman, yakni lokasi yang sekarang didekenal sebagai Desa Jandimeriah. Di tempat inilah raja dan kelima putranya membuat kesepakatan dan perjanjian yang meriah ( perjanjian meriah adalah asal kata dari Desa Jandimeriah).
Dalam isi perjanjian tersebut disepakati bahwa ke lima putra raja dihijrahkan ke lima lokasi yang sekarang dikenal dengan nama Taneh Lima Senina, yakni putra pertama dipindahkan ke Penampen (Bangun Penampen), putra kedua dihijrahkan ke Narigunung (Bangun Narigunung), putra ketiga dipindahkan ke Batukarang (Bangun Batukarang, putra keempat dihijrahkan ke Selandi (Bangun Selandi dan putra kelima tetap tinggal di Desa Jandimeriah.
Sedangkan salah seorang putri raja dipinang oleh Anak Beru dari Desa Perbaji bermarga Sembiring Pelawi, di mana keturunan dari putri raja tersebut kita kenal dengan nama Guru Patimpus, pendiri kota Medan sekarang ini. ***
Share:

Kantor Pos Simpang Surabaya

Melintas Jalan Gubernur Suryo Surabaya, memori kita seakan dibawa ke masa lalu. Betapa tidak! Deretan bangunan kuno yang ada di sepanjang jalan tersebut seakan-akan berceritera akan adanya sebuah riwayat lampau yang masih bisa disaksikan hingga sekarang ini. Salah satunya adalah Kantor Pos Simpang. Kantor pos ini terletak di Jalan Taman Apsari No. 1 Kelurahan Embong Kaliasin, Kecamatan Genteng, Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur. Lokasi kantor pos ini tepat berada di pojok timur laut dari Taman Apsari yang juga tak kalah melegendanya.
Kisah keberadaan Kantor Pos simpang ini masih ada kaitannya dengan Residentiehuis yang sekarang bernama Gedung Grahadi. Dulu pada waktu gedung tersebut dibangun, mukanya menghadap ke Kali Mas (utara). Di belakangnya terdapat istal dan gudang tempat makan kuda. Namun, semenjak Herman Willem Daendels menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda, ia memerintahkan untuk merenovasi bangunan tersebut.



Akhirnya Residentiehuis yang dikenal juga dengan tuinhuis itu pun direnovasi menjadi bangunan kolonial bergaya Indische Empire dari semula berarsitektur Oud Holland Stijl. Wajah mukanya pun dirombak menghadap ke selatan. Konsekuensinya, halaman belakang yang dulunya berupa pekarangan terpaksa terpotong untuk membuat jalan. Hal ini menyebabkan sebagian sisa halaman belakangnya menjadi terpisah dengan lahan yang ditempati gedung tersebut. Akhirnya, istal dimanfaatkan sebagai SDN Kaliasin III, dan gudangnya kemudian dibangun menjadi kantor pos.
Kantor pos ini dibangun pada tahun 1931, dan selesai pada tahun 1932 yang dirancang oleh Ir. W. Lemei yang dibantu oleh staffnya, H.A. Breuning dari Landsgebouwdienst (Jawatan Gedung-Gedung Negara). Bangunan satu lantai ini dirancang dengan arsitektur yang khas dengan pelat kuningan pada dinding luar. Karena lokasi berdirinya kantor pos berada di kawasan yang pada zaman dulu masyarakat menyebutnya dengan Simpangstraat maka sampai sekarang, masyarakat lebih mengenal kantor pos tersebut sebagai Kantor Pos Simpang atau Postagentschapskantoor te Simpang, Surabaya.



Di dalam kantor pos ini terdapat aktivitas layaknya sebagaimana fungsi kantor pos pada umumnya, yaitu pengiriman surat melalui jasa pos, jasa telegram, pengiriman uang dengan wesel dan fungsi-fungsi lainnya. Bahkan sejak 30 November 2013, PT. Pos Indonesia selaku pemilik bangunan ini telah digandeng oleh Coffee Toffee untuk membuka gerainya yang keempat di Surabaya dengan meresmikan Post Shop Coffee Toffe Simpang. Sebelumnya Coffee Toffee telah sukses dengan tiga gerai di Klampis, Rungkut, dan Jatim Expo.
Adanya Post Shop Coffee Toffee hendaklah dipandang secara positif. Gelaran kedai kopi ala café ini menambah suasana ramai namun santai dalam menikmati secangkir kopi dengan pemandangan bangunan tua yang ada di sekelilingnya. Kantor pos pun bisa melayani ekstra di luar jam kantor, dan yang tak kalah pentingnya adalah secara implisit kehadiran Post Shop Coffee Toffee yang mendekatkan dan mencerdaskan masyarakat terhadap bangunan cagar budaya (BCB). Karena Kantor Pos Simpang telah ditetapkan sebagai BCB sesuai dengan Surat Keputusan (SK) Walikota Surabaya Nomor 188.45/004/402.1.04/1998 dengan nomor urut 54. Tinggal bagaimana Kantor Pos menitipkan pesan tersebut untuk mensinergikan fungsi layanan pos dan fungsi BCB kepada pengelola Coffee Toffee. *** [190114]
Share:

Sejarah Singkat Desa Parakanlima

Desa Parakanlima merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Cikembar, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Topografi ketinggian desa ini adalah berupa dataran sedang, yaitu sekitar 450 meter di atas permukaan air laut. Berdasarkan keadaan geografis desa, curah hujan rata-rata mencapai 6.000 mm dengan suhu berkisar antara 30°- 42° C.
Berdasarkan data administrasi pemerintahan Desa Parakanlima tahun 2010, jumlah penduduknya adalah 7.304 orang dengan luas wilayah 1.154,04 hektar. Desa Parakanlima terdiri atas enam dusun, yaitu Dusun Parakanlima, Dusun Mekarsari, Dusun Cijolang, Dusun Babakan, Dusun Cigarung, dan Dusun Leuwiliang. Sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai petani yang didukung oleh lingkungan alam yang menopang pertanian.
Jarak tempuh Desa Parakanlima ke ibu kota Kecamatan Cikembar yaitu sekitar 9 kilometer. Sedang jarak ke ibu kota Kabupaten Sukabumi adalah sekitar 50 kilometer. Akan tetapi, bila ke Kota Sukabumi hanya menempuh jarak sekitar 17 kilometer.
Secara administratif, Desa Parakanlima dibatasi oleh wilayah desa-desa tetangga. Di sebelah utara berbatasan dengan Desa Kertaraharja. Di sebelah barat berbatasan dengan Desa Cibatu. Di sisi selatan berbatasan dengan Sungai Cimandiri atau Kecamatan Jampang Tengah, sedangkan di sisi timur berbatasan dengan Desa Sirnaresmi, Kecamatan Gunungguruh.
Dalam Profil Desa Parakanlima, Kecamatan Cikembar, Kabupaten Sukabumi, yang disusun oleh Tim Perumus Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Des) Tahun 2011 – 2015, dikisahkan bahwa konon menurut cerita bahwa pada sekitar tahun 1834, seorang pimpinan pemerintahan setingkat Bupati bernama Dalem Gelung, yang kala itu menjabat sebagai Kepala Wilayah Kabupaten Cianjur, sering mengadakan kegiatan macangkrama atau menagkap ikan (dalam istilah bahasa Sunda disebut marak). Adapun kegiatan “marak” tersebut dilakukan di sungai Cimandiri, yang merupakan tapal batas sebelah selatan wilayah Desa Parakanlima saat ini, di mana saat itu wilayah Kabupaten Sukabumi masih termasuk salah satu wilayah administratif Kabupaten Cianjur sebagai bagian dari Parahiyangan dan Kabupaten Sukabumi mungkin masih belum terbentuk. Kemudian untuk mempermudah proses penangkapan ikan sekaligus menyenangkan hati Dalem Gelung, maka para Somah (ajudan/pembantunya) menyediakan pemarakan, sebanyak 5 (lima) tempat yang berlokasi di Kampung Pangantolan. Karena seringnya Dalem Gelung macangkrama, maka beliau menyebut wiilayah ini dengan sebutan Parakanlima. Sejak saat itu, wilayah ini ditetapkan sebagai sebuah kesatuan masyarakat hukum (desa), yang dipimpin oleh seorang kepala desa. Dari situlah wilayah ini dikenal dengan sebutan Desa Parakanlima. Pada awalnya luas Desa Parakanlima, sebelah timur meliputi wilayah Pasirmalang, sebelah utara mencakup Padaraang dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Bojong, sedangkan batas wilayah selatan dibatasi oleh sungai Cimandiri. Pusat Pemerintahan atau Kantor Desa berada di Pangleseran (sekarang Kantor Desa Sirnaresmi) dan wilayah administratifnya masuk ke dalam wilayah Kecamatan Cikembar. Seiring berkembangnya zaman dan meningkatnya jumlah populasi penduduk, maka untuk meningkatkan dan mempermudah pelayanan terhadap masyarakat, Desa Parakanlima pada tahun 1980 dimekarkan menjadi dua, yaitu bagian timur menjadi wilayah Desa Sirnaresmi yang meliputi Pasirmalang, sebagian Pangleseran dan Padaraang dan bagian barat yang meliputi sebagian Pangleseran, Cibodas dan Parakanlima masuk wilayah Desa Parakanlima, dan Kantor Desanya dipindahkan ke wilayah Babakan. Kemudian pada tahun 1986 2 (dua) desa ini, yaitu Parakanlima dan Sirnaresmi dimekarkan kembali. Untuk wilayah Parakanlima dibagi dua, sebelah utara menjadi Desa Kertaraharja dengan Kantor Desanya berada di Kampung Cibodas dan sebelah selatan masih tetap Desa Parakanlima. Dan untuk wilayah Desa Sirnaresmi sebagian wilayah timurnya dimekarkan menjadi Desa Kebonmanggu. Selanjutnya dalam perjalanannya, Desa Sirnaresmi dan Kebonmanggu masuk wilayah administratif Kecamatan Gunungguruh, sedangkan untuk Parakanlima dan Kertaraharja masih tetap masuk wilayah Kecamatan Cikembar.
Dengan demikian maka Desa Parakanlima sepanjang sejarah telah mengalami pemekaran wilayah sebanyak 2 (dua) kali, yaitu pada tahun 1980 dan tahun 1986 dan menghasilkan 4 (empat) desa pemekaran, sedangkan Desa Parakanlima masih tetap menjadi desa induk.
Desa Parakanlima pertama kali dipimpin oleh seorang Kepala Desa yang bernama Mama Isa, yang menjabat dari tahun 1834 sampai dengan tahun 1859. Selanjutnya dari tahun 1859 sampai dengan tahun 1880 dijabat oleh kepala desa yang bernama R.E. Soerjamanggala, pada waktu itu yang menjadi Bupati (Dalem)nya masih Raden Surja Danoeningrat, yang lebih dikenal dengan sebutan Dalem Gelung. ***
Share:

Gedung Pertamina UPDN V

Jika melintas Jalan Veteran ke arah Jalan Pahlawan, tengoklah sebelah kiri sebelum traffic light Kebon Rojo, Surabaya. Ada bangunan megah di sebelah pojok timur laut dari perempatan tersebut. Bangunan tersebut sekarang tertulis dengan nama Pertamina UPDN V.
Gedung ini terletak di Jalan Veteran No. 6-8 Kelurahan Krembangan Selatan, Kecamatan Krembangan, Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur. Lokasi ini berada di sebelah timur Kantor Pos Besar Surabaya.


Awalnya gedung ini merupakan bangunan De Sociëteit Concorda hasil rancangan J.P. Ermeling yang dibangun pada tahun 1843. Sociëteit adalah tempat hiburan, di mana para Meneer (tuan) dan Mevrouw (nyonya) besar bangsa Belanda dan Eropa, bergembira ria menikmati kehidupan malam. Sedangkan, Concorda adalah nama sebuah club untuk elite kolonial era 1800-an di seantero Hindia Belanda. Jadi, Sociëteit Concorda merupakan club house yang didesain oleh para kolonial dengan gaya Eropa untuk memenuhi kebutuhan refreshing atau tempat hiburan elite di Surabaya, bahkan ada yang menyebutnya sebagai tempat dugem pertama di Surabaya. Di dalam gedung tersebut, juga dilengkapi dengan fasilitas bilyar maupun fitness. Sehingga, gedung ini merupakan salah satu sociëteit terkenal yang dibangun oleh Belanda pada kala itu, dan menyebabkan jalan yang melintasi gedung tersebut terkenal dengan nama Sociëteitstraat.
Pada waktu didirikan, bangunan gedung tersebut menghadap ke Kali Mas. Dulu, Jalan Veteran atau Sociëteitstraat bukan merupaka jalan utama seperti sekarang ini tapi hanya sebuah gang menuju luar kota yang dibatasi tembok kota.


Seiring perkembangan waktu, daerah tersebut kian menjadi ramai semenjak tembok kota diruntuhkan, dan daerah sekitarnya menjadi pemukiman baru. Semula gangnya kecil dan sepi berubah menjadi besar dan ramai. Pada awal 1900-an, daerah ini menjadi kawasan yang ramai. Lalu lintas Jalan Veteran semakin ramai. Lalu, Sociëteit Concorda dipindahkan ke pinggiran kota lagi agar menemukan kembali suasana tenang seperti ketika De Sociëteit Concorda pertama kali berdiri.
Pada 1917, club Concorda pindah ke sociëteit baru di Simpangstraat, dan namanya berubah menjadi Simpangsche Sociëteit (kini Balai Pemuda). Lalu, gedung yang ditinggalkan De Sociëteit Concorda direnovasi berdasarkan desain arsitek G.C. Citroen untuk menjadi kantor Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM). BPM merupakan perusahaan pertambangan minyak yang didirikan pada 26 Februari 1907 dengan kantor pusat di Den Haag, yang kelak berubah menjadi Shell Petroleum.
Renovasi dilakukan pada 1917-1918. Dari bangunan sebuah club menjadi perkantoran dengan karakter bangunan yang lebih lugas. Pintu masuknya tidak lagi dari Kali Mas melainkan diubah ke Jalan Veteran, sehingga bangunan tersebut menjadi menghadap ke selatan.
Pada 25 Oktober 1945, gedung ini diduduki oleh pasukan Sekutu di bawah pimpinan Kolonel Pugh. Dari gedung inilah, Kolonel Pugh menginstruksikan kepada pasukannya untuk merampas persenjataan pejuang Surabaya. Akibat instruksi tersebut menimbulkan amarah rakyat sehingga meletuslah pertempuran 28-30 Oktober 1945 yang berakhir dengan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby.
Sejak dilakukan nasionalisasi, gedung tersebut menjadi Kantor UPDN V Pertamina, dan sesuai yang tertulis dalam pahatan yang ditempel di dinding luar samping kanan pintu masuk utama, bangunan telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya sesuai dengan Surat Keputusan (SK) Walikota Nomor 188.45/251/402/1.04/1996 dengan nomor urut 36. *** [180114]
Share:

Sejarah Singkat Desa Tulakan

Desa Tulakan merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Tulakan, Kabupaten Pacitan, Provinsi Jawa Timur. Topografi ketinggian desa ini adalah berupa perbukitan kapur. Berdasarkan keadaan geografis desa, curah hujan rata-rata mencapai 2.549 mm dan suhu rata 26°C.
Berdasarkan data administrasi pemerintahan Desa Tulakan tahun 2010, jumlah penduduknya adalah 3.959 orang dengan jumlah 1.187 KK dengan luas wilayah 496,51 hektar. Desa Tulakan terdiri atas lima dusun, yaitu Dusun Krajan, Dusun Dlopo, Dusun Gesingan, Dusun Sepang, dan Dusun Tembelang
Secara adminstratif, Desa Tulakan  dibatasi oleh wilayah desa-desa tetangga. Di sebelah utara berbatasan dengan Desa Losari. Di sebelah barat berbatasan dengan Desa Wonoanti. Di sisi selatan berbatasan dengan Desa Bungur, sedangkan di sisi timur berbatasan dengan Desa Bungur.
Dalam Profil Desa Tulakan, Kecamatan Tulakan, Kabupaten Pacitan diceriterakan bahwa alkisah dari para sesepuh Desa Tulakan, pada masa penjajahan Belanda dulu di wilayah Pacitan bagian timur (termasuk daerah Tulakan dan sekitarnya) tak berbeda dengan daerah lainnya hampir semua terjangkit wabah penyakit. Penyakit itu sukar disembuhkan. Bisa diibaratkan pagi sakit siangnya mati, siang sakit sorenya mati, malam sakit paginya mati. Betapa ganasnya penyakit yang menimpa masyarakat pada waktu itu. Berbagai usaha dari beberapa tokoh masyarakat untuk mengobati penyakit ini tidak membawa hasil, sehingga kemiskinan dan penderitaan masyarakat semakin merajalela. Dalam kondisi seperti ini ada suatu keanehan, ada sekelompok penduduk yang tidak tertimpa wabah, yakni penduduk yang tinggal ditepi sungai Tulakan.
Pada masa kolonialis Belanda, Onderan Tulakan  (sekarang Kecamatan Tulakan) terbagi menjadi beberapa kademangan. Salah satunya adalah Kademangan Tulakan. Wilayah Kademangan Tulakan ini masih sangat luas (bila dibandingkan dengan wilayah desa-desa yang ada sekarang ini).
Sekitar tahun 1850 M datanglah seorang pengembara dari Kraton Solo. Banyak hal yang menjadi perhatian pengembara ini. Salah satunya adalah adanya kelompok masyarakat yang terhindar dari wabah penyakit. Karena terhindarnya masyarakat ditepi sungai Tulakan ini merupakan suatu yang aneh, maka pengembara tadi berkata: “ Kanggo pangeling-eling daerah kang luput saka bebenduning Kang Murbeng Dumadi, yaiku wiwit saka perengan wetan sadawaning pinggir kali iku, tumeka poporing gunung kidul kae tak jenengake TULAKAN, mergo ditulak saka sakabehing bebendhu. “
Berdasarkan pernyataan pengembara dari Kraton Solo itu wilayah Kademangan Tulakan dipersempit menjadi daerah di sepanjang tepi sungai Tulakan. Sejak itulah wilayah Kademangan Tulakan ditetapkan meliputi sekitar tepi sungai yang kemudian dalam perkembangannya disebut sebagai Desa Tulakan sebagaimana yang ada sampai sekarang ini.
Adapun yang menjadi Kepala Desa Tulakan pertama kalinya adalah Sarponen. Akan tetapi periodisasi tidak ada catatan yang jelas. ***
Share:

Gedung Grahadi

Sebelum bernama Gedung Grahadi, bangunan ini dulu dikenal dengan nama tuinhuis. Ketika Dirk van Hogendorp ditugaskan di Surabaya sebagai Penguasa Wilayah Timur Ujung Timur (Gezaghebber van het Oost Hoek) pada tahun 1794, awalnya tinggal di kediaman resmi yang tak jauh dari Jembatan Merah. Namun, karena tempat itu dianggap kurang representatif maka ia berkehendak membangun kediaman baru. Lantas, ia tertarik pada sebuah lahan kosong yang menghadap ke arah Kali Mas yang sangat jernih airnya pada waktu itu. Lahan tersebut milik salah seorang pedagang China. Dengan kepiawaiannya, Dirk berhasil melobby untuk menguasai lahan tersebut dengan harga yang sangat murah, yaitu dengan ganti rugi hanya 2,5 sen.
Setelah itu, pada tahun 1795 dibangunlah sebuah tuinhuis. Tuinhuis merupakan suatu sebutan bagi model rumah musim panas di Eropa yang indah yang dikelilingi taman bunga nan elok. Konon, biaya yang dikeluarkan Dirk untuk membangun tempat tinggal barunya itu adalah 14 ribu ringgit dengan arsitektur bergaya Oud Holland Stijl, di mana bangunan induk dengan atap yang menjulang tinggi kekar dan berwibawa serta pelatarannya yang sangat luas. Tepat di tepian sungai terdapat dermaga kecil sebagai tempat perahu Dirk bersandar, sehingga pada saat santai sore hari, Dirk bisa memandangi perahu-perahu yang hilir mudik di Kali Mas.
Dirk hanya menempati tuinhuis yang menyerupai istana itu selama 3 tahun saja karena pada 1 Januari 1798, ia ditangkap dan dibawa ke Batavia sebelum ia berhasil meloloskan diri serta dengan segala cara ia bisa kembali dan tiba dengan selamat di Belanda. Kala itu, Dirk ditangkap karena kritikan pedasnya terhadap para petinggi Belanda yang dialamatkan kepada Nederburgh selaku Ketua Komisi Jenderal.
Lalu, pada tahun 1799 diangkatlah Fredrik Jacob Rothenbuhler, seorang Residen Pekalongan, menjadi Penguasa Wilayah Ujung Timur hingga 1809. Saat bertugas di Surabaya, Rohthenbuhler menempati tuinhuis yang dibangun Dirk.


Ketika Herman Willem Daendels diangkat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Timur, ia berkunjung ke Surabaya pada tahun 1810. Ia memang pernah mendengar adanya tuinhuis yang terletak di tepi Kali Mas yang sangat jernih airnya. Tatkala ia menginap di istana yang dibangun oleh Dirk van Hogendorp itu, ia nampak kecewa. Tidak sesuai dengan yang ia bayangkan. Lalu, Daendels memerintahkan para petinggi Surabaya untuk merenovasi bangunan tersebut. Akhirnya, tuinhuis itu pun direnovasi. Muka gedung yang dulunya menghadap ke Kali Mas (utara) diganti menjadi ke selatan. Selain itu, Daendels memerintahkan untuk memberi gaya The Empire Style yang dipengaruhi gaya Perancis dengan ditambahi pilar gaya Doric.
Pada masa pendudukan Jepang, gedung tersebut digunakan sebagai kediaman Syuuchokan Kaka. Syuuchokan Kaka merupakan sebutan residen di masa pendudukan Jepang. Setelah kemerdekaan, gedung ini menjadi kediaman resmi Gubernur Provinsi Jawa Timur pertama, yaitu Raden Mas Tumenggung Ario Soerjo.
Sekarang, bangunan tuinhuis itu dikenal dengan nama Gedung Grahadi. Nama Grahadi diambil dari bahasa Sansekerta, Graha berarti rumah, dan Adi memiliki makna derajat tinggi. Jadi secara harafiah, gedung ini memiliki arti rumah yang derajatnya tinggi.
Semenjak tak lagi digunakan sebagai kediaman gubernur, Gedung Grahadi menjadi Gedung Negara yang lebih sering dijadikan tempat untuk menerima tamu Gubernur Jawa Timur, mengadakan rapat, dan melaksanakan sejumlah acara penting pemerintahan, seperti pelantikan pejabat dan upacara peringatan hari nasional.
Gedung Grahadi terdiri dari dua lantai yang berdiri di atas lahan seluas 1,6 hektar. Luas bangunan utamanya adalah 2.016 m² dan luas sejumlah bangunan penunjangnya adalah 4.126 m². Di bagian teras gedung utama terdapat sejumlah meja dan kursi yang di atasnya nampak menggantung lampu-lampu bergaya klasik serta lantainya terbuat dari marmer.
Gedung in terletak di Jalan Gubernur Suryo No. 7 Kelurahan Embong Kaliasin, Kecamatan Genteng, Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur, atau tepatnya berada di sebelah barat Balai Pemuda (Surabaya Tourism information Centre). Gedung ini telah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya (BCB) sesuai dengan Surat Keputusan Walikota Nomor 188.45/251/402.1.04/1996 dengan nomor urut 15. *** [190114]

Kepustakaan:
Dukut Imam Widodo, Sorabaia Tempo Doeloe Buku 2, Surabaya: Dinas Pariwisata Surabaya
Share:

Sejarah Singkat Desa Tutul

Desa Tutul merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Balung, Kabupaten Jember, Provinsi Jawa Timur. Topografi ketinggian desa ini adalah berupa dataran sedang, yaitu sekitar 30 meter di atas permukaan air laut. Berdasarkan data BPS Kabupaten Jember tahun 2010, curah hujan rata-rata mencapai 1.257 mm dengan suhu antara 28° - 37°C.
Berdasarkan data administrasi pemerintahan Desa Tutul tahun 2010, jumlah penduduknya adalah 9.989 orang dengan jumlah 2.713 KK. Dilihat dari penyebaran etnis yang mendiami Desa Tutul, terdapat suku Jawa, suku Madura, dan sebagian kecil suku yang lainnya. Secara umum mata pencaharian masyarakat Desa Tutul dapat teridentifikasi ke dalam beberapa sektor, yaitu pertanian, industri, jasa, perdagangan, dan lain-lain. Akan tetapi, sebagian besar penduduknya masih bermatapencaharian sebagai petani.
Jarak tempuh Desa Tutul ke ibu kota Kecamatan Balung yaitu sekitar 3 kilometer. Sedang jarak ke ibu kota Kabupaten Jember adalah sekitar 25 kilometer.
Secara administratif, Desa Tutul dibatasi oleh wilayah desa-desa tetangga. Di sebelah utara berbatasan dengan Desa Balung Lor, Desa Karang Semanding, dan Desa Karang Duren. Di sebelah barat berbatasan dengan Desa Karang Semanding, dan Desa Bagon, Kecamatan Puger. Di sisi selatan berbatasan dengan Desa Jambe Arum, Kecamatan Puger, sedangkan di sisi timur berbatasan dengan Desa Balung Kulon dan Desa Balung Lor.
Dalam Profil Desa Tutul, Kecamatan Balung, Kabupaten Jember, yang disusun oleh Tim Perumus Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Des) Tahun 2011 – 2015, dikisahkan bahwa Desa Tutul berdiri sekitar tahun 1842, dan ketika itu, Desa Tutul masih merupakan hutan belantara. Pada saat itu, R. AryoTarongso beserta adiknya yang bernama R. Suryo mulai melakukan penebangan sejumlah pohon hutan (babat alas) guna dijadikan tempat tinggal mereka bersama keluarganya.
Hingga 4 tahun bermukim di daerah tersebut, penghuni desa tersebut masih sekitar 30 KK yang terdiri dari keturunan serta sanak keluarga R. Aryo Tarongso. Pada waktu itu, desa hasil babat alasnya sekitar 25 hektar.
Desa hasil babat alas tersebut awalnya diberi nama Sukosari. Dalam bahasa Jawa, suko berarti senang atau gembira, dan sari berarti rukun. Jadi, harapannya dulu, desa baru yang mereka usahakan tersebut kelak akan menyebabkan warganya senantiasa gembira dan rukun tenteram.
Kemudian, sekitar tahun 1853 ketika di bawah kepemimpinan kepala desa yang kedua pengganti R. Aryo Tarongso, yaitu Sarminten (1848-1859), mereka mulai membabat alas kembali untuk perluasan lahan karena semakin bertambah penduduknya. Saat membabat alas kali ini, mereka menjumpai banyak harimau yang bernoktah hitam besar dan banyak. Masyarakat setempat menyebutnya macam tutul. Sehingga, akhirnya R. Aryo Tarongso yang ketika menjadi demang, mengganti nama Desa Sukosari menjadi Desa Tutul, yang wilayah pemerintahannya meliputi pedukuhan Karangsemanding, dan pedukuhan Karangduren. Namun sekarang, Desa Tutul terdiri atas empat dusun, yaitu Dusun Maduran, Dusun Krajan, Dusun Kebon dan Dusun Karuk. ***
Share:

Gedung Pengadilan Negeri Surabaya

Tempo dulu, Jalan Arjuno dikenal dengan Ardjoeno Boulevard. Boulevard berasal dari bahasa Perancis, yang artinya suatu jalan di mana pada bagian tengahnya ada pemisahnya, dan pemisah itu biasanya ditumbuhi pohon-pohon peneduh.
Pada tahu 1886, Oost Javasche Stoomtram (OJS), sebuah perusahaan angkutan darat, meresmikan jalur trem Soerabaia-Sepandjang. Jalur stoomtrem yang terpanjang adalah mulai dari Weg Goenoengsari belok ke Dierentieun (Kebun Binatang), menyusuri Reiniersz Boulevard (Jalan Diponegoro), Passarkembangstraat, Ardjoeno Boulevard, NIS laan (sekarang Jalan Semarang) maka sampailah Passartoeri.


Dulu, kawasan Jalan Arjuno menyerupai Darmo Boulevard, diperuntukkan bagi perumahan-permahan atau pemukiman. Sehingga tidak seperti halnya di Jalan Rajawali, Jembatan Merah hingga Jalan Veteran yang dipenuhi oleh bangunan kuno yang berderet, Akan tetapi, tidak berarti di kawasan Ardjoeno Boulevard tidak ada sama sekali. Salah satu contohnya adalah gedung Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Gedung ini terletak di Jalan Arjuno No. 16-18 Kelurahan Sawah, Kecamatan Sawah, Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur.
Gedung PN Surabaya dibangun pada tahun 1924 dengan nama Lanraad. Lanraad merupakan gedung pengadilan yang digunakan pada zaman penjajahan Belanda. Gedung ini tidak begitu luas, diperkirakan luas bangunannya hanya sekitar 100 meter persegi. Namun, gedung bergaya kolonial Belanda ini memiliki desain bangunan gedung yang condong terkesan rapi dan formal. Hal ini dicitrakan dari tampak dan denah yang simetris guna membangun kesan resmi dan wibawa.
Memasuki lobi pengailan ini maka Anda akan melihat ciri khas arsitektur gaya zaman kolonialis Belanda. Pintu dan jendela yang lebar ditambah selasar depan yang memanjang.


Kini, PN Surabaya terdiri dari 3 gedung. Gedung utama yang berada paling depan dan menghadap ke Jalan Arjuno merupakan bangunan peninggalan Belanda yang sekarang menjadi cagar budaya. Gedung utama tersebut sekarang hanya dipergunakan sebagai ruang sidang saja, sementara 2 bangunan lagi yang berada di belakang gedung utama merupakan bangunan tambahan yang digunakan sebagai kantor hakim, panitera dan administrasi lainnya.
Seperti yang tertulis di tugu kecil di sebelah kiri pintu masuk, gedung PN Surabaya merupakan bangunan cagar budaya sesuai dengan Surat Keputusan (SK) Walikota Nomor 188.45/004/402.1.04/1998 dengan nomor urut 62. Sehingga keberadaannya dilindungi UU. ***[180114]
Share:

Sejarah Singkat Desa Tanggulangin

Desa Tanggulangin merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Jatisrono, Kabupaten Wonogiri, Provinsi Jawa Tengah. Secara geografis, keadaan alamnya sebagian besar terdiri dari pegunungan yang berbatu gamping, terutama di bagian selatan, termasuk jajaran Pegunungan Seribu yang merupakan mata air dari Bengawan Solo.
Berdasarkan data administrasi pemerintahan Desa Tanggulangin tahun 2010, jumlah penduduknya adalah 3.059 orang dengan jumlah Kepala Keluarga sebanyak 917 KK dengan luas desa sekitar 192,675 hektar. Sebagian besar penduduk desa Tanggulangin berprofesi sebagai pedagang dan petani. Emping mlinjo dan mete merupakan komoditas perdagangan yang utama, namun selain home industry dari emping mlinjo dan mete juga terdapat berbagai macam home industri yang lain, seperti: kerupuk, kasur kapuk dan emping jagung.
Jarak tempuh Desa Tanggulangin ke ibu kota Kecamatan Jatisrono yaitu sekitar 7 kilometer. Sedang jarak ke ibu kota Kabupaten Wonogiri adalah sekitar 36 kilometer.
Secara administratif, Desa Tanggulangin dibatasi oleh wilayah desa-desa tetangga. Di sebelah utara berbatasan dengan Desa Jatipurwo, Kecamatan Jatipurno. Di sebelah barat berbatasan dengan Desa Gunungsari. Di sisi selatan berbatasan dengan Desa Sambirejo, sedangkan di sisi timur berbatasan dengan Desa Nggunan, Kecamatan Slogohimo.
Dalam Profil Desa Tanggulangin, Kecamatan Jatisrono, Kabupaten Wonogiri, yang disusun oleh Tim Perumus Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Des) Tahun 2010 – 2013, dikisahkan bahwa konon katanya asal mula nama desa Tanggulangin muncul dari seorang tokoh masyarakat sebagai tetua atau sesepuh (moncokaki). Dulu desa yang masih hutan belantara itu kedatangan seorang yang bernama Sapu Angin dan bertempat tinggal di Dusun Nglumpang yang dibuktikan dengan adanya peninggalan benda  berbentuk lumpang yang terbuat dari batu sebanyak dua buah lumpang , satu terletak di Jalan Puter Distrik dan lumpang yang lain terletak di pekarangan Bapak Diyono. Karena letak geografis wilayah Desa Tanggulangin berbukit-bukit dan sungai membujur dari arah utara hingga selatan yang merupakan batas desa yang disebut lungur berbentuk tanggul-tanggul. Maka perpaduan antara tanggul-tanggul dan nama seorang sesepuh Sapu Angin itulah awal mula menjadi nama Desa Tanggulangin. ***
Share:

Rumah Sakit Darmo Surabaya

Kawasan Darmo merupakan kawasan strategis yang berada di tengah Kota Surabaya, dan dapat dengan mudah diakses dari berbagai penjuru kota. Tempo dulu, kawasan ini dikenal dengan istilah Bovenstad atau Kota Atas, karena kawasan tersebut tergolong bebas banjir. Di kawasan Darmo dilalui oleh Jalan Raya Darmo atau dulu disebut dengan istilah Darmo Boulevard, yang membentang dari depan Soerabaiasche Dierentuin atau Kebun Binatang Surabaya hingga perempatan Tamarindelaan (sekarang Jalan Pandegiling).
Zaman dulu, kawasan Darmo memang merupakan kawasan elite. Banyak bangunan dan perumahan megah didirikan di kawasan tersebut. Salah satunya yang masih bisa disaksikan sampai sekarang adalah Darmo Ziekenhuis atau sekarang dikenal dengan nama Rumah Sakit Darmo.


Rumah Sakit (RS) Darmo terletak di Jalan Raya Darmo No. 90 Kelurahan Dr. Sutomo, Kecamatan Tegalsari, Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur. Lokasinya tidak begitu jauh dengan Taman atau Makam Bungkul.
Bangunan RS Darmo didirikan pada 15 Januari 1921. Peletakkan batu pertama dilakukan oleh G. Mejuffr Hempenius, Direktris SZV. SZV merupakan singkatan dari Surabajasche Zieken Verpleging, sebuah perkumpulan sosial untuk pelayanan kesehatan yang didirikan pada 9 Juni 1897 dan dipimpin seorang dokter Belanda bernama HJ Offerhaus, dan rancangan gedungnya dipercayakan kepada G.C.  Citroen, seorang arsitek kenamaan yang banyak menciptakan gedung-gedung terkenal di Surabaya kala itu. RS Darmo pada waktu dibangun mendapat pengaruh arsitektur Modern Fungsional dengan elemen Art Deco. Arsitektur Modern Fungsional pada waktu itu memang sedang berkembang (1910-1940), gaya arsitektur ini lebih diminati para arsitek yang berada di Hindia Belanda karena lebih mengutamakan fungsi, keindahan timbul semata-mata oleh adanya fungsi dari elemen-elemen bangunannya. Aspek keindahan tidak lagi dikaitkan dengan adanya dekor atau ornamen dan bagian-bagian bangunan yang semata-mata untuk memperindah bangunan seperti misalnya menara tinggi, ornamen, patung, dan lain-lain yang tidak memiliki fungsi.


Menara yang berada pada jalan masuk utama RS Darmo menyerupai menara pada gereja-gereja Calvinist di Belanda. Menara yang terbuat dari kayu berada di puncak gevel dengan penangkal petir di atasnya. Di bawahnya terdapat logo RS Darmo yang disertai lengkungan bertuliskan “Salus Aegroti Suprema Lex Est”, yang maknanya adalah menyelamatkan  penderita adalah kewajiban utama. Dindingnya diplester dan dicat dengan warna putih. Pintu masuk utama (main entrance) memiliki pintu rangkap dua, dan di belakangnya membentuk lorong-lorong entrance menuju bangunan tengah rumah sakit. Bentuk dari lorong ini bersekat-sekata dengan bentuk melengkung setengah lingkaran pada bagian atasnya, yang berfungsi sebagai isolasi panas dan sinar matahari. Citroen berusaha menghilangkan citra bangunan kolonial yang berkesan mewah dan banyak hiasan atau ornamen dengan bangunan arsitektur modern yang lebih menekankan pada fungsi.


Pada masa perang, RS Darmo pernah menjadi pusat interniran tawanan Eropa pada saat pendudukan Jepang. Hal ini diabadikan dalam bentuk tugu prasasti yang diletakkan di taman bagian depan RS Darmo. Dalam tugu tersebut tertulis “The Japanese used this hospital as the centre of the women and children internees. Liutenant Colonel Rendall and his troops toke it over. They fired at a passing truck with vouth in it on October 27, 1945 and that started the first clash of October 28-30, 1945” (Gedung ini oleh Jepang dipakai sebagai kamp interniran anak-anak dan wanita. Pasukan Sekutu datang, kamp diambilalih oleh Letnan Kolonel Rendall. Sebuah truk pemuda Sulawesi lewat pada tanggal 27 Oktober 1945 ditembaki oleh mereka dan itulah permulaan pertempuran tiga hari, 28-30 October 1945).
RS Darmo ini tergolong bangunan yang heritagenya tetap terjaga dengan taman yang menghijau, sehingga tampak tetap asri, dan melegakan. Kini, RS Darmo menjadi landmark kawasan Jalan Raya Darmo karena kekhasan arsitektur yang dimilikinya, dan telah ditetapkan sebagai salah satu bangunan cagar budaya yang harus dilindungan dan dilestarikan seperti yang tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surabaya Nomor 188.45/251/402.1.04/1996 dengan nomor urut 12. *** [190114]

Kepustakaan:
Handinoto, 1996, Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya 1870-1940, Yogyakarta: Andi
Sumalyo, Yulianto, 1997, Arsitektur Modern Abad XIX dan Abad XX, Yogyakarta: Gajah Mada University
Share:

Sejarah Singkat Desa Panjerejo

Desa Panjerejo merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Rejotangan, Kabupaten Tulungagung, Provinsi Jawa Timur. Secara geografis, Desa Panjerejo termasuk wilayah yang sebagian besar berupa dataran rendah.
Berdasarkan data administrasi pemerintahan Desa Panjerejo tahun 2010, jumlah penduduknya adalah 7.260 orang dengan jumlah Kepala Keluarga sebanyak 2.437 KK, yang terdiri atas 3 dusun, yaitu Dusun Baran, Dusun Panjerejo Tengah, dan Dusun Panjerejo Kidul. Sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai petani yang didukung oleh lingkungan alam yang menopang pertanian.
Jarak tempuh Desa Panjerejo ke ibu kota Kecamatan Rejotangan yaitu sekitar 8 kilometer. Sedang jarak ke ibu kota Kabupaten Tulungagung adalah sekitar 16 kilometer.
Secara administratif, Desa Panjerejo dibatasi oleh wilayah desa-desa tetangga. Di sebelah utara berbatasan dengan Desa Kalangan, Kecamatan Ngunut. Di sebelah barat berbatasan dengan Desa Kacangan dan Desa Sumberingin, Kecamatan Ngunut. Di sisi selatan berbatasan dengan Desa Tenggong, sedangkan di sisi timur berbatasan dengan Desa Karangsari.
Dalam Profil Desa Panjerejo, Kecamatan Rejotangan, Kabupaten Tulungagung, yang disusun oleh Tim Perumus Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Des) Tahun 2010 – 2013, dikisahkan bahwa Desa Panjerejo didirikan oleh seseorang yang benama Surodjojo dan berasal daerah Jawa Tengah. Menurut keterangan sesepuh desa bahwa di desa tersebut terdapat baling-baling (kitiran) yang berukuran besar dan dipasang terus menerus baik siang maupun malam hari yang dalam istilah Jawa “dipanjer” dengan bunyi yang sangat keras. Adapun baling-baling tersebut dipasang oleh orang yang bernama Surodjojo bersama-sama rekannya, sehingga banyak orang (rejo) yang melihat baling-baling tersebut. Maka timbulah Desa Panjerejo yang berasal dan kata “Panjer” dan “Rejo.
Pemerintahan Desa Panjerejo dimulai sejak tahun 1905, dengan kepala pemerintahan desa pertama yaitu Bapak Tanirejo yang memerintah hingga Tahun 1946.  Namun, sesungguhnya Desa Panjerejo berumur lebih tua dari yang diperkirakan. Hal ini dketahui ketika pada 20 April 1200, Kertajaya yang bergelar Sri Maharaja Sri Sarweswara Triwikramawatara Anindita Srenggalancana Digjaya Uttunggadewa dari Kerajaan Kediri pernah menganugerahkan sima atau tanah perdikan kepada Desa Panjer, nama awal dari Desa Panjerejo. Penganugerahan sima tersebut termuat dalam piagam kerajaan bernama Prasasti Galunggung. Prasasti Galunggung terbuat dari batu andesit memiliki tinggi sekitar 160 cm, lebar atas 80 cm, dan lebar bawah 75 cm. Prasasti ini masih berada di Desa Panjerejo, Kecamatan Rejotangan, Tulungagung, dan beraksara  Jawa kuno yang terdiri atas 20 baris yang masih terlihat. Sedangkan di sisi lain prasasti, beberapa huruf sudah aus, dan di salah satu sisi prasasti tertulis angka 1123 C. ***
Share:

Gedung PT. Perkebunan Nusantara XI

Gedung PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) XI merupakan salah satu dari beberapa bangunan peninggalan dari masa kolonial Belanda yang dahulu pernah menguasai Surabaya. Gedung ini terletak di Jalan Merak No. 1 Kelurahan Krembangan Selatan, Kecamatan Krembangan, Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur, atau tepat berada di sebelah barat Polwiltabes Surabaya. Dulu, Jalan Merak ini dikenal dengan Comediesstraat .
Gedung PTPN XI pada awalnya merupakan bangunan perkantoran hasil rancangan biro arsitek Ed. Cuypers, Hulswit dan Fermont dengan nama Handelsvereeniging Amansterdam (HVA), sebuah perusahaan Belanda yang mendirikan cabang di Surabaya pada tahun 1910. HVA merupakan asosiasi perdagangan yang didirikan di Amsterdam, Belanda, pada tahun 1873. Awalnya hanya mengimpor barang untuk usaha pertanian, dan dibiayai melalui salah satu pengiriman produk dari perusahaan tersebut. Lalu, pada tahun 1889 difokuskan pada pengolahan tanah untuk budidaya tanaman tebu, kopi, singkong, dan serat tropis. HVA akhirnya menjadi salah satu perusahaan kolonial terbesar di dunia pada tahun 1928 dengan 36 perusahaan di Hindia Belanda dengan mempekerjakan sekitar 170 ribu orang.


Pembangunan gedung HVA di Surabaya dimulai pada tahun 1911, dan selesai dikerjakan pada tahun 1921. Peresmiannya sendiri baru dilakukan pada 18 April 1925. Sebelumnya tempat itu berdiri Gedung Pertunjukkan Surabaya ke tiga.
Gedung dua lantai yang berdiri di atas lahan seluas 1,6 hektar ini memiliki bangunan utama seluas 2.016 m² dan bangunan penunjang yang luasnya 4.126 m². Material didatangkan langsung dari Belanda dan Italia seperti kaca, besi sampai pegangan tangga.
Secara fisik, karakter arsitektur kolonial pada bangunan gedung ini memiliki kekhasan tersendiri. Penggunaan simetri bilateral yang dominan pada komposisi massa, tampak depan, dan denah bangunan. Langgam yang digunakan dalam gedung ini adalah langgap eklektik yang dipengaruhi Art and Craft, Art Nouveau, dan Art Deco. Jendela pada gedung ini memakai kisi-kisi (louvre) sebagai solusi atas masalah udara yang umum digunakan pada bangunan kolonial, sedangkan pengunaan kaca patri dengan warna-warna cerah menambah kekhasan gedung tersebut.
Atap bangunan utama gedung ini berupa atap perisai ganda dengan konstruksi rangka baja yang memiliki kemiringan 30°.


Secara keseluruhan, lantai interior telah mengalami banyak perubahan, antara lain pembongkaran akibat bertambahnya kebutuhan atau karena kerusakan. Lantai yang berada pada hall lantai 1 dan lantai 2, menggunakan bahan dasar marmer berwarna merah maron dan abu-abu, tekstur dari lantai halus. Lantai eksterior adalah lantai yang mendominasi selasar atau galeri pada bangunan, sedangkan dinding dari gedung ini menggunakan bata dengan teknik penyelesaian yang menghasilkan tekstur kasar.
Ketika krisis ekonomi melanda dunia sekitar tahun 1930-an, perusahaan ini masih mampu bertahan. Namun, pendudukan Jepang di Hindia Belanda menandai akhir bagi HVA di Indonesia.
Pada 1 Oktober 1945, gedung ini sempat dijadikan sebagai Markas Komando Tobu Jawa Boetai di Jawa Timur di bawah pimpinan Mayor Jenderal Iwabe. Setelah Jepang menyerah, akhirnya dijadikan Markas Badan Keamanan Rakyat (BKR) di mana di gedung itu pernah menjadi tempat perundingan kedua antara Mallaby dengan Dr. Moestopo yang menjadi pimpinan BKR Jawa Timur.


Sejarah PTPN XI dimulai dengan adanya nasionalisasi perusahaan perkebunan asing yang dimiliki oleh kolonial Belanda oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 1958 untuk menjadi Perusahaan Perkebunan Negara (PPN). Lalu, PPN berganti nama menjadi PT. Perkebunan (PTP) dan PTPN XXIV. Terakhir diganti lagi menjadi PTPN XI yang merupakan hasil merger dari PTP XX dan PTP XXIV-XXV pada 1994 dan disahkan melalui  Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1996. Sehingga keduanya bergabung menjadi PTPN XI hingga saat ini, dan berpusat di Surabaya. Di bawah naungan gedung ini, terdapat 17 pabrik gula, satu pabrik karung goni, satu pabrik spirtus serta alkohol, dan empat rumah sakit.
Gedung PTPN XI ini dulu merupakan bangunan gedung yang terbesar di Surabaya pada masanya, dan hingga saat ini masih berdiri kokoh. Meskipun beralih kepemilikan, elemen-elemen arsitektural maupun struktural bangunan tetap dipertahankan. Usaha perlindungan terhadap gedung eks HVA atau PTPN XI juga diupayakan dalam Surat Keputusan (SK) Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surabaya Nomor 188.45.004/402.1.04/1998 tentang Penetapan Bangunan Cagar Budaya di Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya yang menetapkannya sebagai pusaka budaya yang harus dilindungi. Dalam prasasti penetapan BCB ini, gedung PTPN XI masuk daftar BCB di Kota Surabaya dengan nomor urut 67. *** [180114]

Kepustakaan:
Carissa Fadina Permata, 2013, Pelestarian Gedung PT. Perkebunan Nusantara XI (Eks Handelsvereeniging Amsterdam) di Surabaya. Skripsi untuk memperoleh gelar Sarjana Teknik di Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Brawijaya, Malang
Share:

Langgar Bafadol

Kawasan Ampel memang terkenal akan wisata religinya. Selain Masjid Ampel, terdapat juga salah satu langgar atau mushalla tua yang berada beberapa meter arah selatan Masjid Ampel. Langgar yang dikenal dengan nama Langgar Bafadol ini terletak di Jalan KH Mas Mansyur No. 10 Kelurahan Ampel, Kecamatan Semampir, Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur. Daerah ini pada zama penjajahan Belanda dikenal dengan nama Kampemenstraat.
Langgar Bafadol adalah salah satu bangunan lama yang dipergunakan untuk tempat ibadah umat Islam yang merupakan wakaf dari keluarga Bafadol. Sehingga, acapkali dikenal dengan sebutan Mushalla Wakaf Bafadol.
Langgar Bafadol ini tidak begitu luas, dan praksis tidak memiliki halaman. Tempat untuk melakukan shalat berada di lantai atas, sedangkan di bawahnya sekarang menjadi Toko Nur Fadhillah yang menyediakan kelengkapan umat Islam dan souvenir haji.


Kekhasan yang dimiliki oleh langgar ini adalah menara yang dimilikinya. Menara tersebut tepat berdiri di bibir Jalan KH Mas Mansyur yang mengarah ke Jalan Nyamplungan, Jalan Dukuh, dan Jalan Kertopaten. Tanpa menara tersebut, citra langgar tidak akan mengundang perhatian bagi yang melintas di jalan tersebut karena bangunan yang mungil tersebut lebih menyerupai ruko yang diapit oleh sederetan ruko yang ada di kanan kirinya. Ruko-ruko tersebut juga turut andil dalam  membentuk keunikan di Kampung Arab (Arabisch Kamp).
Mengenai kapan langgar ini dibangun, tidak ada bukti yang pasti baik berupa sumber tulisan maupun candra sengkala. Dalam foto lawas yang diunggah di sejumlah media maya, langgar tersebut dulunya dilengkapi dengan dua buah pintu akses masuk kecil yang bagian atasnya melengkung khas arsitektur Arab. Di atas gapura tersebut diberi tiga galah tiang bendera, dan di bawahnya terdapat simbol kerajaan Belanda dengan dua buah patung singa kecil di kanan kirinya. Akan tetapi pada saat ada kunjungan Gubernur Jenderal Cornelis Pijnacker Hordijk di Surabaya sekitar tahun 1888-1893, di atas gapura bisa dipasangi galah pendek sebanyak 9 tiang untuk dipasangi bendera, dan di bawahnya tertulis “Welkom aan z.e. den GG Pijnacker Hordijk te Soerabaja Arabieren”.
Kini, gapura tersebut sudah tidak ada lagi. Tapi di sebelah timur langgar tersebut yang mengarah ke Jalan Nyamplungan, sekarang dibuat gapura yang lengkungannya lebih panjang dari sebelumnya, dan bertuliskan “Kawasan Wisata Religi Sunan Ampel” dengan cat warna hijau.
Bila kita menyimak foto lama tersebut, bisa diperkirakan bahwa Langgar Bafadol sudah ada sebelum kunjungan Gubernur Jenderal tersebut ke Kampemenstraat, dan di foto tersebut bisa kita lihat bahwa di depan langgar ini dulunya terdapat jalur trem yang konon menghubungkan dari Stasiun KA Semut hingga dekat dermaga pelabuhan Kali Mas. Namun sekarang, lintasan trem tersebut sudah tidak ada lagi.  *** [180114]
Share:

Sejarah Singkat Desa Banyubiru

Desa Banyubiru merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah. Desa Banyubiru adalah desa agraris, baik pertanian basah maupun pertanian kering. Selain itu, Desa Banyubiru juga memiliki sektor unggulan lainnya, berupa sektor peternakan. Sektor peternakan yang dikembangkan di desa ini, di antaranya sapi potong, itik, kambing dan beberapa ternak lainnya.
Berdasarkan data administrasi pemerintahan Desa Banyubiru tahun 2010, jumlah penduduknya adalah 8.451 orang dengan luas wilayah sekitar 677.087 hektar, yang terdiri atas 9 dusun, yaitu Dusun Krajan, Dusun Kampung Rapet, Dusun Randusari, Dusun Tegalwuni, Dusun Cerbonan, Dusun Demakan, Dusun Pancuran, dan Dusun Dangkel. Sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai petani yang didukung oleh lingkungan alam yang menopang pertanian.
Jarak tempuh Desa Banyubiru ke ibu kota Kecamatan Banyubiru yaitu sekitar 0,4 kilometer. Sedang jarak ke ibu kota Kabupaten Semarang adalah sekitar 30 kilometer.
Secara administratif, Desa Banyubiru dibatasi oleh wilayah desa-desa tetangga. Di sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Pojok Sari. Di sebelah barat berbatasan dengan Desa Rapah dan Desa Brongkol. Di sisi selatan berbatasan dengan Desa Wirogomo, sedangkan di sisi timur berbatasan dengan Desa Kebondowo.
Dalam Profil Desa Banyubiru, Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang, yang disusun oleh Tim Perumus Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Des) Tahun 2010 – 2014, diceriterakan bahwa Desa Banyubiru adalah salah satu desa penyangga Kecamatan Banyubiru yang keberadaannya sudah ada sejak zaman Kerajaan Islam Demak, Kerajaan Pajang hingga Mataram. Memang tidak ada bukti tertulis seperti piagam atau prasasti secara implisit, namun dilihat dari beberapa peninggalan situs sejarah yang ada menunjukkan bahwa kala itu eksistensi Desa Banyubiru memang ada. Berdasarkan babad yang berkembang di sana, Desa Banyubiru pernah mendapat sebutan ”Tanah Perdikan Banyubiru” dari Kerajaan Demak. Tanah perdikan merupakan sebidang tanah yang diberi hak istimewa dengan tidak di punguti pajak. Biasanya, tanah perdikan diberikan kepada orang-orang yang berjasa kepada sang raja yang memerintah, atau juga biasa diberikan kepada para pendeta-pendeta Hindu pada saat itu. Daerah tanah perdikan yang diberikan kepada pendeta-pendeta Hindu biasanya dibangun candi atau lingga. Masyarakat di sekitar candi diberikan keistimewaan untuk tidak membayar pajak dengan syarat, mereka harus menjaga dan merawat candi tersebut. Namun, kalau untuk Desa Banyubiru menjadi tanah perdikan, disebabkan karena pendiri Banyubiru yaitu Ki Ageng Sora Dipoyono adalah seorang panglima perang di bawah Adipati Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor pada waktu perang Malaka mengusir penjajah Portugis tahun 1480-1521, sehingga mendapatkan penghargaan memimpin suatu daerah, yaitu Tanah Banyubiru dengan status tanah perdikan karena pengabdian yang luar biasa pada Kerajaan Demak pada saat itu. Tanah perdikan ini biasanya dikenal dengan istilah sima di kala Kerajaan Hindu masih eksis.
Mengenai babad Banyubiru ini sebenarnya telah dinovelkan di bawah karya S.H. Mintardja yang awalnya dimuat setiap hari di Kedaulatan Rakyat (KR) pada tahun 196, dan pada 1982 serta 2005 telah diterbitkan dalam bentuk buku. Karya ceritera Nagasasra-Sabuk Inten kadang dinilai sebagai karya sastra yang tidak “mutu” namun pencapaiannya ternyata sulit untuk ditandingi oleh novel lain. Dalam alur ceritanya, kisah Nagasasra-Sabuk Inten ini cenderung menceriterakan tentang perebutan kekuasaan di Tanah Perdikan Banyubiru, sedangkan kemelut di Demak Bintoro hanya sebagai latar belakang.
Keberadaan Desa Banyubiru pada zaman Perang Diponegoro juga ikut melawan penjajah Belanda sampai pada masa perang kemerdekaan, hal itu ditunjukan dengan beberapa bangunan sebagai tanda atau bukti, salah satu buktinya adalah peninggalan makam Kyai Joyoproyo, salah satu pengikut setia Pangeran Diponegoro, serta bukti lain ikut melawan penjajahan Belanda adalah adanya sejumlah veteran Perang Kemerdekaan.
Dulu, Desa Banyubiru merupakan daerah yang sangat strategis sehingga digunakan Belanda untuk benteng pertahanan. Di Banyubiru, Belanda membangun Asrama Batalion Kavaleri sebagai pasukan pemukul terhadap pemberontakan, namun masyarakat Banyubiru tak gentar, mereka juga andil pada perjuangan melawan penjajah Belanda.
Setelah perang kemerdekaan, Desa Banyubiru seperti desa-desa di sekitarnya di bawah Pemerintahan Republik Indonesia yang secara umum termuat dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kabupaten dalam lingkup  Provinsi Jawa Tengah dan Undang-Undang Nomor 67 tahun 1958  tentang Pembentukan Wilayah Kotapraja Salatiga Dan Daerah Swatantra Tingkat II Semarang.
Dan, dalam secuil catatan sejarah, yang menjadi kepala desa yang pertama adalah Demang Raden Ngabehi Proyo Diwongso. Masa kepemimpinannya diperkirakan pada masa Perang Diponegoro.  ***
Share:

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami