The Story of Indonesian Heritage

  • Istana Ali Marhum Kantor

    Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)

  • Gudang Mesiu Pulau Penyengat

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Benteng Bukit Kursi

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Kompleks Makam Raja Abdurrahman

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Mesjid Raya Sultan Riau

    Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

Masjid Agung Magelang

Segelas wedang ronde di seputaran alun-alun Kota Magelang, telah cukup menghangatkan badan, setelah menempuh perjalanan dari Kota Solo menuju Kota Magelang di malam hari. Sambil menikmati hangatnya wedang ronde, selurus pandangan mata ke arah barat tampak sebuah masjid dengan menara yang menjulang. Namun sayang, penulis tidak bisa mengambil gambar pada saat itu karena waktu menjelang larut malam.
Baru selang dua hari, penulis bisa berkunjung ke masjid tersebut usai mendampingi FGD di Kantor Dinas Pendidikan Kota Magelang. Masjid tersebut adalah Masjid Agung Magelang.
Masjid ini terletak di Jalan Alun-alun Barat No. 2 Kelurahan Cacaban, Kecamatan Magelang Tengah, Kota Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi masjid ini berada di sebelah barat alun-alun Kota Magelang, dan tidak begitu jauh dari Menara Air Magelang.
Awalnya, masjid ini hanyalan berupa mushala kecil yang dibangun oleh Kyai Mundzakir, seorang ulama dari Jawa Timur, pada tahun 1650. Atap mushala masih berbentuk tumpang dua dan bangunan ruang utamanya masih terbuka dengan tembok setengah tinggi manusia.


Pada tahun 1797, bangunan mushala tersebut dipugar guna menampung jamaah yang semakin hari semakin bertambah. Selain memperluas bangunan mushala, dalam pemugaran tersebut juga diiringi dengan menambah mimbar untuk khotbah dan soko guru (tiang utama) dari kayu jati yang sengaja didatangkan dari Bojonegoro. Pemugaran ini diabadikan dalam prasasti bertuliskan dengan bahasa Arab dan Belanda. Prasasti dwi bahasa tersebut sampai sekarang masih terawat dengan baik, dan berada di dalam masjid.
Ketika Alwi bin Said Abdurrahim Basyaiban dikukuhkan menjadi bupati pertama oleh Sir Thomas Stamford Raffles dengan gelar Mas Ngabei Danukromo pada tahun 1812, mushala tersebut diperbesar menjadi sebuah masjid dengan sebutan Masjid Jami’ Magelang (Grote Moskee te Magelang). Kebijakan ini dilakukan sembari membangun alun-alun, dan rumah bupati (regentwoning) di utara alun-alun.
Lalu, sejarah juga mencatat bahwa setiap ada pergantian pemerintahan dari bupati yang lama ke bupati berikutnya, bangunan masjid tersebut mengalami pemugaran dengan penambahan-penambahan bangunan pendukung lainnya. Seperti pada tahun 1871, semasa pemerintahan Bupati ke III, yaitu Adipati Danuningrat III (cucu dari Mas Ngabei Danukromo), masjid tersebut ditambah serambi muka dan menara kecil.
Baru pada masa pemerintahan Muhammad bin Said Basyaiban, Bupati ke V dengan gelar Raden Tumenggung Danusugondo, masjid ini mengalami renovasi besar-besaran yang dilakukan pada tahun 1934. Dalam pemugaran tersebut, bertindak sebagai ketua pembangunan langsung dipegang oleh Bupati Danusugondo. Tak tanggung-tanggung, beliau menggunakan bantuan biro arsitek berkebangsaan Belanda, yaitu Heer H Pluyter. Hasil rancangan Pluyter tersebut menghasilkan bangunan masjid seperti yang disaksikan sekarang, kecuali bangunan menaranya yang baru didirikan pada tahun 1991 semasa walikota Bagus Panuntun. Sekaligus menandai berubahnya dari Masjid Jami’ Magelang menjadi Masjid Agung Magelang.


Dilihat dari fisik bangunan, tata ruang dari masjid ini merupakan tipologi masjid yang ada di Jawa pada umumnya. Ruang dibagi menjadi tiga, yaitu ruang utama, serambi kanan dan serambi kiri. Ditambah lagi, selasar yang berada di depan yang berfungsi pula sebagai serambi depan. Selasar yang lapang ini juga kerap dimanfaatan oleh para jamaah untuk beristirahat sambil merebahkan diri.
Ciri arsitektur Jawa lainnya juga ditemukan pula pada bentuk atap masjid yang bercorak tajuk atau bersusun. Menurut filosofi Jawa, atap bercungkup tiga ini menyimbolkan kehidupan manusia yang terdiri atas alam purwo (ketika berada di rahim ibu), alam madyo (saat manusia berada di dunia), dan ketiga adalah alam wusono yang merepresentasikan kehidupan manusia di alam baka atau akhirat. Filosofi ini kemudian diadopsi oleh Walisongo dengan menerjemahkan filosofi tersebut ke dalam bahasa agama. Atap satu (terbawah) disebut atap panitih yang melambangkan syariah. Atap dua disebut atap pananggap yang melambangkan thariqat, dan atap ketiga disebut atap brunjung yang melambangkan hakikat. Sedangkan puncak yang menjadi bagian tertinggi dari Masjid Agung Magelang, dinamakan mustoko yang melambangkan ma’rifat. Mustoko berwarna kuning, dan menyambung dengan tulisan Allah.
Di dalam ruang utama masjid ini terdapat mimbar khotbah model timur tengah yang dipengaruhi gaya India yang berada di sebelah kanan, sedangkan di sebelah kiri mihrab terdapat bangunan semacam mimbar tanpa tempat duduk yang dulunya merupakan tempat shalat Bupati Magelang. Tahun pembuatannya diukir di salah satu sudut, 1797.
Masjid yang didominasi warna hijau ini merupakan masjid kebanggaan masyarakat Kota Magelang. Kemegahan bangunan masjid ini selaras dengan perjalanan sejarahnya yang cukup panjang. ***[191214]

Kepustakaan:
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/13/01/15/mgnqdt-masjid-agung-magelang-dominasi-arsitektur-jawa-1
Share:

Wisma Diponegoro 2 Magelang

Magelang merupakan salah satu kota yang ditetapkan sebagai kota garnizun pada masa Hindia Belanda selain Malang dan Cimahi. Sebagai kota garnizun, Magelang memiliki banyak bangunan yang berhubungan dengan keberadaan militer pada waktu itu. Tidak hanya berupa barak saja namun juga fasilitas pendukung lainnya. Salah satunya adalah Wisma Diponegoro 2.
Wisma Diponegoro 2 terletak di Jalan Ahmad Yani No. 6 Kampung Poncol, Kelurahan Gelangan, Kecamatan Magelang Tengah, Kota Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi wisma ini berada tidak jauh dari kompleks RINDAM IV Diponegoro.


Dulu, Wisma Diponegoro 2 ini merupakan rumah dinas yang diperuntukkan bagi pejabat militer Hindia Belanda di Magelang, yang dibangun pada tahun 1920. Dalam sejumlah literatur lawas, menyebutkan bahwa Dr. Johan Woutar Bijleveld bersama keluarga pernah tinggal di rumah pejabat ini (het huis van de familie J.W. Bijleveld). J.W. Bijleveld adalah seorang kolonel yang bertugas di bagian pelayanan medis militer, dan pernah bertugas di Militair Hospitaal Magelang (kini bernama Rumah Sakit Tentara dr. Soedjono). Istrinya bernama Reina Hendrika Wilhelmina Helena Visser, dan berprofesi sebagai dokter gigi.


Rumah dinas ini memiliki luas bangunan 450 m² di atas lahan seluas 1.200 m². Dengan gaya arsitektur Indische Empire ini, bangunan ini terlihat kokoh dan mempesona. Arsitektur Indische Empire adalah gaya arsitektur yang berkembang pada abad ke 19 di Hindia Belanda. Gaya arsitektur tersebut dipopulerkan oleh Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811) yang diadopsi dari gaya Empire di Perancis yang kemudian disesuaikan dengan iklim dan gaya hidup di Hindia Belanda. Kekhasan gaya arsitektur ini bisa dilihat dari denahnya yang berbentuk simetri penuh. Di tengah terdapat apa yang disebut sebagai “Central Room” yang terdiri dari kamar tidur utama dan kamar tidur lainnya. Central Room tersebut berhubungan langsung dengan teras depan dan teras belakang (Voor Galerij dan Achter Galerij). Teras tersebut biasanya sangat luas dan diujungnya terdapat barisan kolom yang bergaya Yunani atau Romawi. Kamar mandi, gudang dan daerah layanan lainnya merupakan bagian yang terpisah dari bangunan utama dan letaknya ada di bagian belakang. Kadang-kadang di samping bangunan utama terdapat paviliun yang digunakan sebagai kamar tidur tamu. Kalau rumah tersebut berskala besar biasanya terletak pada sebidang tanah yang luas dengan kebun di depan, samping dan belakang. Gaya arsitektur Indische Empire, atau yang dikenal juga dengan The Dutch Colonial ini mulai menghilang pada awal abad ke 20 di Hindia Belanda.
Seiring perjalanan sang waktu, rumah dinas masa Hindia Belanda ini pernah menjadi guest house. Kemudian dilakukan pemugaran, dan  difungsikan menjadi Wisma Diponegoro 2 yang diresmikan pada hari Sabtu, 4 April 1998 oleh Panglima Komando Daerah Militer IV/Diponegoro, Mayor Jenderal Mardiyanto. Sehingga, sekarang ini tidak hanya untuk menginap bagi tamu-tamu militer tapi juga bisa digunakan untuk wedding party bagi masyarakat umum dengan menawarkan nuansa kolonial yang memorable. *** [201215]

Kepustakaan:
Handinoto, 2008. Daendels dan Perkembangan Arsitektur di Hindia Belanda Abad 19, dalam Journal DIMENSI Vol. 36 No. 1 Juli 2008
http://media-kitlv.nl/image/7efbbc1a-793b-4ba7-b230-e47da3177af9
Share:

GKJ Magelang

Kawasan Bayeman merupakan kawasan permukiman tua yang berada di Kota Magelang. Sisa-sisa bangunan kuno bercorak Indis banyak menghiasi kawasan Bayeman yang dibelah oleh Jalan Tentara Pelajar (dulu namanya Bajemanweg). Salah satu bangunan kuno nan menawan yang masih bisa disaksikan hingga kini adalah Gereja Kristen Jawa (GKJ) Magelang.
Gereja ini terletak di Jalan Tentara Pelajar No. 106 Kelurahan Kemirirejo, Kecamatan Magelang Tengah, Kota Magelang. Lokasi gereja ini berada di sebelah selatan Gedung Serba Guna Graha Adiguna atau berada di sebelah utara SDN Kemirirejo 1.
Berdasarkan catatan sejarah yang ada, keberadaan GKJ ini tidak terlepas dengan zending yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda kala itu. Misionaris Protestan juga disebut sebagai zendeling (dari bahasa Belanda yang artinya pengutusan). Zending ditujukan untuk penyebaran agama Kristen melalui kabar keselamatan yang diberikan Allah kepada seluruh dunia.
Adalah Ds. A Markelijn yang semula menjadi Pendeta di Jemaat Schoodijke Amsterdam (Belanda) yang pada 25 Mei 1911 ditetapkan menjadi Pendeta Utusan (missionair predikant), dan kemudian dikirim ke tanah Jawa untuk melakukan pekabaran Injil. Pada bulan Februari 1912, Markelijn tiba di Yogyakarta. Ia tinggal selama beberapa saat sambil mempersiapkan diri untuk bertugas di Magelang dan sekitarnya dalam wilayah Kedu.


Markelijn tiba di Magelang pada 3 September 1912 dan bermukim di Kampung Jambon untuk segera melaksanakan tugas. Dari tempat itulah dimulai pelaksanaan kebaktian meski pada saat itu belum memiliki gedung gereja untuk kebaktian. Di rumah Markelijn di Kampung Jambon dilaksanakan kebaktian yang diikuti sekitar 7 sampai 10 orang jemaat. Pada tahun 1913 dengan semakin banyaknya jemaat yang kerap melakukan kebaktian maka di sebelah rumah Markelijn dibangun ruangan memanjang yang terbuat dari bambu, dan difungsikan sebagai tempat ibadah setiap hari Minggu, kursus bahasa Belanda maupun pertemuan-pertemuan lainnya. Di dalam misinya, Markelijn senantiasa berupaya untuk mengenal lingkungan dan mengadakan pendekatan dengan semua pihak, termasuk Jemaat Kerasulan. Makin banyaknya orang-orang yang senang menerima berita keselamatan yang dibawakan oleh Markelijn dan adanya kursus bahasa Belanda maka hal ini semakin menumbuhkan keinginan untuk mendirikan sekolah Kristen sebagai salah satu sarana pekabaran Injil.
Pada 2 September 1913 dibuka Hollandsch Chineesche School (sekarang SMK Wiyasa), kemudian Hollandsch Javansche School met de Bijbel (sekarang SDN Cacaban 4), dan Christelijke Schakelschool (sekarang SD Kristen 1 Kemirikerep). Dengan dibukanya ketiga sekolah tersebut, perkembangan jemaat Kristen Jawa semakin maju sehingga ruangan memanjang yang pernah dibangun tersebut, sudah tidak menampung jemaat lagi.


Semula diupayakan meminjam gedung sekolah Hollandsch Javansche School met de Bijbel atau terkadang juga meminjam Hollandsch Chineesche School sebagai tempat untuk melakukan ibadah atau kebaktian. Seiring dengan didewasakan jemaat Tionghoa yang menjadi GKI Pajajaran, jemaat Jawa pun juga segera mendewasakan diri. Baru pada 7 Maret 1921, jemaat tersebut memiliki gereja setelah melewati masa-masa yang panjang dengan dua lantai. Lantai satu difungsikan sebagai kantor zending, dan lantai dua digunakan untuk tempat ibadah kebaktian. Secara resmi, gereja diperuntukkan untuk jemaat Belanda dan Jawa ini bernama Gereformeerde Kerk te Magelang.
Sepintas dilihat dari depan, gereja tampak tidak bertingkat. Hal ini disebabkan oleh kontur tanah yang lebih rendah dari jalan raya di bagian depannya, sehingga yang kelihatan adalah lantai duanya yang sejajar dengan jalan raya. Dulu, di samping kiri dan kanannya pada lantai satu terdapat tangga naik untuk menuju pintu masuk gereja yang ada di lantai dua. Namun, sekarang tinggal satu karena yang berada di sebelah utara gereja telah diongkar untuk pembangunan gedung serba guna Graha Addiguna.
Gereja yang memiliki luas bangunan sekitar 198 m² dengan tinggi 10 m ini, pernah mengalami kerusakan akibat gempa yang pernah melanda magelang pada tahun 1943. Menara yang ada di fasad gereja runtuh. Dalam perbaikan berikutnya, menara tersebut tidak dibangun lagi sehingga gereja ini tanpa menara. Bentuknya bisa dilihat seperti sekarang ini.
Karena dulu gereja ini dibangun untuk jemaat Jawa yang mendewasakan diri maka setelah orang-orang Belanda yang juga dulu campur dengan jemaat Jawa tersebut kembali ke negaranya lantaran Indonesia telah merdeka, gereja ini berubah nama menjadi GKJ Magelang. *** [201215]
Share:

Rumah Sakit Jiwa Prof. dr. Soeroyo

Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Prof. dr. Soeroyo merupakan Rumah Sakit Jiwa terbesar dan tertua di Jawa Tengah. RSJ ini menjadi Pusat Rujukan Nasional di bidang kesehatan jiwa dengan pelayanan unggulan Tumbuh Kembang Anak.
RSJ Prof. dr. Soeroyo terletak di Jalan Ahmad Yani No. 169 Kelurahan Kramat Utara, Kecamatan Magelang Utara, Kota Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi RSJ ini berjarak 4 Km dari pusat Kota Magelang ke arah utara, dan berada di tepi jalan raya yang menghubungkan Yogyakarta dengan Semarang.
Menurut sejarahnya, Rumah Sakit Jiwa ini dibangun pada tahun 1916. Ir. Scholtens membangun Rumah Sakit Jiwa ini membutuhkah waktu 7 tahun lamanya sambil meyakinkan Pemerintah Hindia Belanda akan keberadaan rumah sakit ini karena memang pada waktu pendirian rumah sakit ini tidak seperti biasanya, yaitu menunggu sampai seluruh bangunan selesai. Setiap bangsal yang selesai segera dihuni. Hal ini disebabkan karena datanngnya pasien yang terus-menerus dari berbagai daerah. Bahkan ada yang dikirim dari Rumah Sakit Jiwa Lawang dan Bogor (Krankzinnigengestich te Buitenzorg) yang keduanya sudah didirikan jauh sebelumnya, sehingga terasa sekali kurangnya ruangan bagi mereka. Menurut rencana, seluruh bangunan rumah sakit harus sudah selesai pertengahan tahun 1923. Untuk mencapai target tersebut, para pasien dikerahkan, seperti untuk menggali tanah dan mengangkat batu secara estafet dari Kali Progo. Dapat dikatakan, cara membangun rumah sakit ini seperti para transmigran yang harus membuka lahan dan sebagainya terlebih dahulu. Kala itu, yang diutamakan adalah pembangunan jalan dan bangsal.


Sumbangsih para pasien dalam pembangunan rumah sakit ini memang relatif cukup besar, namun dari segi medis mereka agak termarginalkan karena dengan cara pengerahan pasien seperti itu, terapi yang diterapkan hanya terapi kerja massal. Beberapa tahun kemudian, setelah pembangunan sudah dianggap selesai dan memadai, barulah diterapkan kerja individual. Tetapi jenis ini, waktu itu merupakan pertama kalinya diterapkan di Hindia Belanda oleh dr. J.C. Van Andel. Peresmian bangunan walaupun belum sepenuhnya selesai akhirnya dilaksanakan juga oleh direktur pertama rumah sakit tersebut, yaitu dr. Engelhard pada pertengahan tahun 1923, dan diberi nama Krankzinningengistcht te Magelang (Rumah Sakit Jiwa Magelang). Pasiennya waktu itu sudah lebih dari 1.400 orang dengan tenaga kerja yang terdiri orang-orang Belanda. Rumah sakit ini juga sempat dikunjungi oleh psikiater ternama Kraeplin.
Pada waktu itu, RSJ Magelang dikenal juga dengan sebutan Krankzinningengistcht Kramat. Dinamakan Kramat karena di daerah ini terdapat makam Kyai Ponggol yang dianggap keramat (angker).
Dipilihnya Magelang kala itu untuk lokasi rumah sakit ini didasarkan akan keindahan dan kesuburan daerah tersebut serta sejuk, yang dikelilingi gunung Merapi, Merbabu, Andong, dan Telomoyo di sebelah timur, Ungaran di sebelah utara, Sumbing, Sindoro serta Menoreh di sebelah barat dan bukit Tidar di sebelah selatan.
Sepanjang berdirinya, rumah sakit ini cukup banyak mengalami pasang surut dalam perjalanannya.
Ketika Jepang menduduki Magelang, semua tenaga kerja rumah sakit ini yang orang Belanda termasuk direkturnya dr. P.J. Stigter, ditahan oleh tentara Jepang sehingga terjadi kekosongan yang melumpuhkan pengelolaan rumah sakit tersebut. Sebelum diangkat dr. Soeroyo oleh Jepang menjadi pimpinan rumah sakit tersebut.


Rumah sakit ini juga pernah menjadi Pos PMI Cabang Magelang Utara pada saat terjadi pendudukan kembali oleh Belanda (NICA), dan rumah direktur digunakan sebagai markas TKR pada waktu pertempuran di Secang maupun Ambarawa. Kemudian, sempat juga menjadi asrama ALRI maupun tempat penampungan keluarga Kereta Api. Selain itu, rumah sakit ini juga pernah dijadikan Kantor  Hygiene.
Lalu, sejak ada Repelita, keadaan rumah sakit ini mulai berangsur-angsur membaik praktis di segala bidang setelah sekian lama dalam ketelantaran pengelolaan. Pada tahun 1978, rumah sakit ini ditetapkan oleh Pemerintah sebagai RSJ Pusat Magelang kelas A dengan Surat Keputusan (SK) Menteri Kesehatan RI No. 135/Menkes/SK/IV/1978. Sebagai Unit Pelaksana Teknis dari Departemen Kesehatan (sekarang Kementerian Kesehatan), RSJ Magelang ini mempunyai tugas menyelenggarakan dan melaksanakan pelayanan kesehatan, pencegahan gangguan jiwa, pemulihan dan rehabilitasi di bidang kejiwaan.
Pada tanggal 6 April 2001, secara resmi nama Rumah Sakit Jiwa Magelang berubah menjadi Rumah Sakit  Jiwa Prof. dr. Soeroyo berdasarkan Surat Keputusan (SK) Menteri Kesehatan No. 1684/Menkes-Kessos/SK/XI/2000. Nama baru ini diambil untuk menghormati dr. Soeroyo selaku direktur bangsa Indonesia pertama RSJ Magelang.
RSJ Prof. dr. Soeroyo yang memiliki lahan seluas 409.450 m² dengan luas bangunan 27.724 m² ini merupakan bangunan kuno peninggalan kolonial Belanda yang masih berdiri kokoh dan masih terawat dengan baik. Bangunan RSJ ini terdiri dari beberapa bangunan, di antaranya bangunan administrasi, rawat inap, rawat jalan, instalasi, dan ruang lainnya serta lapangan sepak bola. Bangunan lawas yang terdapat di kompleks RSJ Prof. dr. Soeroyo ini, umumnya memiliki jendela-jendela tinggi berbentuk persegi panjang.
RSJ ini tercatat dalam Peraturan Daerah Kota Magelang Nomor 7 Tahun 2013 tentang Cagar Budaya di Kota Magelang sebagai bangunan cagar budaya (BCB). Pada halaman 38 tertulis kawasan Rumah Sakit Jiwa sebagai kawasan rumah sakit dengan dominasi bangunan bercorak Indis dan konteks pengembangannya berbasis lingkungan alam. *** [201214]

Kepustakaan:
Ani Rahmayanti, 2008, Bimbingan Rohani Terhadap Kondisi Mental Pasien (Studi Kasus di Rumah Sakit Jiwa Prof. Dr. Soeroyo Magelang), dalam Skripsi di Jurusan Tasawuf Psikoterapi, Fakultas Ushuluddin, IAIN Walisongo, Semarang
http://rsjsoerojo.co.id/index.php?action=generic_content.main&id_gc=187
Share:

Museum BPK

Museum Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Republik Indonesia merupakan museum umum milik Pemerintah Pusat. Sebagai museum umum, museum ini dikelola oleh BPK Perwakilan Provinsi Jawa Tengah pada unit kerja Sub Bagian Umum. Sementara itu, bangunan yang digunakan sebagai museum berstatus pinjam pakai. Artinya, BPK hanya meminjam dan memakai salah satu gedung dan sebagian ruangannya untuk museum. Aset tanah dan gedungnya tetap milik hak pakai pemerintah daerah Tingkat I Provinsi Jawa Tengah melalui Kantor Badan Koordinasi Wilayah II (Bakorwil) II Kedu dan Surakarta.
Museum ini terletak di Jalan Diponegoro No. 1 Kelurahan Magelang, Kecamatan Magelang Tengah, Kota Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi museum ini berada di dalam kompleks Kantor Bakorwil II Kedu dan Surakarta atau eks Karesidenan Kedu.
Ide awal untuk membangun museum BPK ini sebetulnya sudah ada sejak kepemimpinan BPK dipegang oleh M. Yusuf, namun baru terealisasi pada masa kepemimpinan J.B. Sumarlin. Dipilihnya Kota Magelang untuk lokasi museum ini karena kota ini mempunyai nilai sejarah bagi lahirnya BPK. Seperti diketahui bahwa setelah pemerintah menerbitkan Penetapan Pemerintah 1946 No. 11/OEM tertanggal 28 Desember 1946, maka BPK secara resmi didirikan pada Januari 1947.
Pada hari yang sama, Presiden Soekarno mengeluarkan Surat Keputusan (SK) pengangkatan R. Soerasno sebagai Ketua BPK, Dr. Aboetari sebagai Anggota, dan Djunaedi sebagai Sekretaris BPK. Ketiganya mulai bekerja per 1 Januari 1947 bersamaan dengan pendirian BPK tersebut.


Awalnya, Kantor BPK menempati bekas Gedung ANIEM (Algemeene Nederlandsch-Indische Electriciteits Maatschappij). Gedung ANIEM adalah bekas kantor perusahaan listrik umum Hindia Belanda, yang sekarang telah berubah menjadi sekolah yang dikelola oleh Yayasan Pendidikan Kristen Pantekosta di Jalan Tentara Pelajar No. 64 Kelurahan Cacaban, Kecamatan Magelang Tengah.
Tak berselang lama di gedung tersebut, Kantor BPK dipindahkan ke Gedung Bea Cukai Magelang yang berada di Jalan Diponegoro No. 36, yang masih satu kompleks dengan eks Karesidenan Kedu. Kemudian setelah Agresi Militer I Belanda, Kantor BPK kembali berpindah tempat. Kantor yang kemudian menjadi Kantor BPK berada di bangunan sayap sebelah kiri di Gedung Karesidenan Kedu. Pada saat itu, BPK hanya menempati dua ruangan.
Tak lama dari sana, Kantor BPK kembali dipindahkan ke Gedung Klooster yang terletak di Jalan Ahmad Yani No. 20 Kelurahan Panjang, Kecamatan Magelang Tengah. Klooster dalam bahasa Indonesia berarti biara, atau tempat para suster misionaris belajar dan bertempat tinggal. Gedung tersebut sekarang pengelolaannya diserahkan kepada Yayasan Pendidikan Tarakanita Magelang.
BPK berkantor di Magelang tak lama. Pada September 1947, BPK membuka kantor cabangnya di Yogyakarta. Tak berselang lama, Pemerintah pada 6 November 1947 menerbitkan Penetapan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1948 tentang Kedudukan BPK. Berdasarkan Penentapan Pemerintah tersebut, kedudukan BPK Pusat dipindahkan ke Yogyakarta. Mengingat, pada saat itu, seluruh kementerian dan kantor-kantor pemerintahan penting lainnya telah berada di Yogyakarta. Sekarang, BPK Pusat menetap di Jakarta.


Dalam Nota Kesepakatan Bersama antara Pemda Tingkat I Provinsi Jawa Tengah dengan BPK pada Jumat, 4 April 1997, sekitar delapan bulan sebelum peresmian museum BPK ini di Magelang, pihak Pemda Tingkat I Provinsi Jawa Tengah selaku pihak yang punya hak atas gedung eks Karesidenan Kedu, bersedia meminjamkan kepada BPK sebagian gedung dan ruangannya, yang dulu pernah menjadi Kantor BPK sebagai Museum BPK. Padahal, gedung dan ruangan tersebut saat itu sudah digunakan sebagai Gedung Dharma Wanita Sub Unit Kantor Pembantu Gubernur Wilayah Kedu di Magelang.
Akhirnya, Museum BPK berhasil diwujudkan, dan diresmikan pada 4 Desember 1997 oleh Prof. J.B. Sumarlin selaku Ketua BPK pada saat itu. Semula hanya dua ruangan yang digunakan, namun pada waktu itu BPK mengajukan permohonan lagi utnuk penambahan dan perluasan ruangan museum. Dua ruangan tambahan sebelumnya ditempati Kantor Kelistrikan Desa Cabang Kedu. Sehingga akhirnya, dua ruangan tersebut dikosongkan dan dialihkan penggunaannya untuk penambahan dan perluasan Museum BPK.
Dengan demikian, sekarang ini Museum BPK menempati ruangan yang memiliki panjang 29,95 meter dan lebar 19,5 meter. Ruangan-ruangan tersebut berada di bangunan sayap kiri kompleks Karesidenan Kedu. Jika dilihat dari lokasi alun-alun Kota Magelang, posisinya berada di sebelah kanan kompleks eks Karesidenan Kedu. Tepat setelah memasuki gapura Bakorwil II Kedu dan Surakarta.
Museum BPK, seperti museum-museum kebanyakan, memiliki beberapa ruang pameran untuk memajang koleksi-koleksi yang dimiliki.

Ruang Pamer 1
Ruang Pamer 1 berada di bagian depan, memiliki ukuran panjang 16, 3 meter dan lebar 6 meter. Di ruang ini ditampilkan koleksi foto dan lukisan batik. Koleksi foto yang dipasang pada ruang ini, mengenai sejarah perjalanan BPK sendiri, pada waktu BPK berkantor di magelang, Yogyakarta, Bogor sampai berkantor di Jakarta.
Lukisan batik yang dipasang lumayang besar. Lukisan batik ini dibuat oleh Koeswadji (almarhum) pada tahun 1980 atas ide Ketua BPK periode 1973-1983, Umar Wirahadikusumah. Lukisan tersebut mempunyai makn filosofi yang terjabarkan dalam segmen-segmen yang tersirat dalam lukisan tersebut. Lukisan tersebut menggambarkan filosofi Pelaksanaan Tugas Pokok BPK dan mengilhami motto BPK: Tri Dharma Arthasantosha.

Ruang Pamer 2
Ruang pamer 2 adalah ruang pamer berikutnya setelah ruang pamer 1. Ruang ini berukuruan 8 x 6,05 meter. Ruang ini menampilkan meja dan kursi Ketua BPK pada waktu berkantor di Karesidenan Kedu tahun 1947, mesin ketik yang terletak di atas meja, pesawat telepon dan kamera. Jumlah semuanya ada 14 item.
Baik meja, kursi, almari, mesin ketik dan pesawat telepon diletakkan seperti ketika BPK berkantor di ruangan ini.

Ruang Pamer 3
Ruang pamer 3 adalah ruang pamer berikutnya setelah ruang pamer 2. Ruang ini berukuran 6,05 x 4,35meter. Di ruang ini ditampilkan patung Ketua BPK pertama R. Soerasno, tanda pangkat, dan bendera-bendera daerah (pattaka).
Pattaka yang ada di museum ini merupakan simbol yang menunjukkan luas wilayah pemeriksaan BPK.

Ruang Audio Visual
Dalam ruang audio visual , para pengunjung akan disuguhi tontonan sejarah BPK dan selayang pandang perjalanan BPK secara audio visual.
Audio visual merupakan penjelasan koleksi-koleksi di museum ini. Audio visual digunakan agar masyarakat mengetahui BPK secara utuh. Tidak hanya barang-barang koleksi yang ada di sini saja tetapi juga BPK itu apa, tugasnya seperti apa, dan lain-lain.

Kepustakaan:
Buku Museum BPK Bercerita yang diperbanyak oleh BPK Republik Indonesia Perwakilan Provinsi Jawa Tengah, 2011
Share:

GPIB Magelang Alun-Alun

Kota Magelang dikenal memiliki bangunan-bangunan peninggalan masa kolonial Belanda yang beberapa di antaranya masih terawat dengan baik. Salah satunya adalah GPIB Magelang Alun-Alun (Istilah ini hanya untuk membedakan dengan GPIB Magelang yang berada di Kebon Polo).
GPIB ini terletak di Jalan Alun-alun Utara No. 4 Kelurahan Magelang, Kecamatan Magelang Tengah, Kota Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi gereja ini berada di sebelah utara Alun-alun Kota Magelang, atau berdekatan dengan Menara Air Magelang.
Dulu, ketika alun-alun ini dibangun oleh Adipati Danuningrat I atas restu Sir Thomas Stamford Raflles, Gubernur Jenderal Hindia Belanda masa kekuasaan Inggris, merupakan jantung Kota Magelang dan menjelma menjadi medan simbol yang diperebutkan para penguasa. Setelah kembali ke pangkuan Kerajaan Belanda lagi dari hasil Traktat London, kawasan alun-alun berkembang. Pemerintah Hindia Belanda pun memilih  kawasan tersebut untuk mendirikan tempat ibadah bagi penganut agama Kristen. Tempat ibadah tersebut sengaja dibangun guna memenuhi kebutuhan rohani komunitas Eropa yang mukim di sekitar kawasan tersebut. Tempat ibadah tersebut dikenal dengan nama De Protestantse Kerk te Magelang.
Menurut info dari salah seorang staf Kantor GPIB, gereja ini dibangun pada zaman pemerintahan Hindia Belanda pada 1817. Angka tahun tersebut, didapat dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah yang telah menelitinya, dan telah dipasang di halaman depan gereja dengan tulisan “Magelang Heritage 1817.”


Gereja yang memiliki bangunan seluas 291 m² di atas lahan seluas 2.312 m² dengan tinggi bangunan sekitar 15 m² ini, memiliki langgam arsitektur yang khas , yaitu gaya asitektur Gothic. Beberapa ciri khas yang amat terlihat dari bangunan dengan genre Gothic adalah proporsi tinggi dan lebar bangunan. Bangunan Gothic memiliki tinggi bangunan yang tidak proposional dibanding dengan luas tapak bangunannya, ditandai dengan adanya lebar bangunan yang langsing dengan menara yang tinggi. Selain itu, bagian dalam bangunan gereja juga terdapat ruangan umat di tengah (nave) dengan jumlah jendela yang begitu banyak yang didominasi kaca patri berlukis, sehingga cahaya sinar matahari bisa menerangi ruangan tersebut di kala siang.
Ciri lain yang bisa dilihat dalam arsitektur Gothic ini adalah pada pintu masuk utama dan jendelanya berbentuk melengkung. Meski bentuk lengkung ini telah ada pada arsitektur sebelumnya namun pada arsitektur Gothic ini bentuknya cenderung lebih meruncing.
Sejak bangunan bergaya arsitektur Gothic ini dibangun hingga kini masih berfungsi sebagai Gereja Protestan, hanya terdapat pergeseran nama saja. Sekarang gereja Protestan ini dikenal sebagai Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB). GPIB merupakan salah satu gereja yang merangkum warga jemaatnya dalam kemajemukan etnis dan budaya dari seluruh penjuru Nusantara yang sedang berdomisili di wilayah Indonesia Bagian Barat. GPIB adalah bagian dari GPI (Gereja Protestan Indonesia) yang pada zaman Hindia Belanda bernama De Protestantse Kerk in Westelijk Indonesië, atau ada juga yang menyebut dengan De Indische Kerk. GPIB didirikan pada 31 Oktober 1948 berdasarkan Tata Gereja dan Peraturan Gereja yang dipersembahkan oleh proto Sinode kepada Badan Pekerja Am (Algemene Moderamen) Gereja Protestan Indonesia.
GPIB Magelang memang sangat cantik. Sebuah seni arsitektur yang telah dilabeli sebagai Magelang Heritage ini telah menjadi salah satu ikon tersendiri bagi Kota Magelang. *** [171214]
Share:

Gedung Mapolresta Magelang

Sambil menikmati secangkir teh panas di angkringan yang berada di pedestrian alun-alun sebelah selatan, kita bisa menyaksikan gedung Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Jawa Tengah Resor Magelang Kota (Polresta Magelang) yang masih memperlihatkan kekunaannya.
Gedung Kantor Mapolresta ini terletak di Jalan Alun-Alun No. 7 Kelurahan Kemirirejo, Kecamatan Magelang Tengah, Kota Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi gedung ini berada di sebelah selatan Alun-Alun Kota Magelang, atau tepatnya berada di sebelat barat Kantor Balai Pelaksana Teknis Bina Marga Kota Magelang.
Gedung yang memiliki luas 500 m² di atas lahan seluas 750 m² ini, dulunya merupakan sekolah MOSVIA (Middlebare Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren) yang dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1878.
MOSVIA merupakan sekolah yang dikhususkan untuk pendidikan bagi pegawai-pegawai bumiputera pada zaman Hindia Belanda yang dilengkapi dengan asrama di belakangnya, dan gedung untuk Direktur berada di sebelah barat gedung utama. Setelah lulus mereka dipekerjakan dalam pemerintahan kolonial sebagai sekolah pamong praja. Sekolah ini dimasukkan ke dalam sekolah ketrampilan tingkat menengah dan mempelajari soal-soal administrasi pemerintahan.


Sebelum menjadi MOSVIA pada tahun 1927, awalnya adalah Hoofden School kemudian berubah menjadi OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren). Masa belajarnya lima tahun, tapi tahun 1908 masa belajar ditambah menjadi tujuh tahun. Pada umumnya murid yang diterima di sekolah ini berusia 12-16 tahun.
Para lulusan sekolah-sekolah umum, seperti HIS (Hollandsch Inlandsche School) dapat melanjutkan ke tingkat MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) dan lulusan MULO dapat melanjutkan ke sekolah MOSVIA. Tentunya ilmu pemerintahan tidak diajarkan secara nyata dan tegas untuk mengurangi dan mengantisipasi rakyat Indonesia (Hindia Belanda) menuntut kemerdekaan. Jadi, tujuan didirikan sekolah pamong praja di Magelang tak lepas dari kepentingan penjajah Belanda untuk memenuhi kebutuhan kader-kader pemerintahan di Hindia Belanda saat itu.
Beberapa alumni MOSVIA Magelang yang dikenal dalam khasanah tokoh dalam perjalanan sejarah di Republik Indonesia ini, antara lain: Prof. Dr. Selo Soemardjan, Supriyadi, dan Abdul Halim Perdanakusuma. Selo Sumardjan menempuh pendidikannya di MOSVIA Magelang pada tahun 1931-1934. Kelak ia dikenal sebagai Bapak Sosiologi Indonesia. Supriyadi adalah pria kelahiran Trenggalek yang pernah menempuh di MULO dan MOSVIA Magelang. Kelak ia menjadi seorang Syudanco yang memimpin gerakan PETA di daerah Blitar, Jawa Timur. Sedangkan, Abdul Halim Perdanakusuma adalah pria kelahiran Sampang, Madura, yang melanjutkan studinya di Magelang ke sekolah Pamong Praja (MOSVIA) yang ditempuh pada tingkat II saja. Lalu, beliau menjalani transisi training navigasi bersama Royal Canadian Air Force di Inggris saat pendudukan Jepang. Kelak ia menjadi penerbang dan namanya diabadikan menjadi salah satu nama bandara udara di Jakarta.


Pada masa pendudukan Jepang, MOSVIA dibubarkan dan gedungnya difungsikan menjadi Kantor Asrama PETA (Pembela Tanah Air) bentukan Jepang. Kemudian setelah Jepang menyerah kepada Sekutu dan hengkang dari Hindia Belanda, pada tahun 1945-1948 gedung ini digunakan untuk Sekolah Guru yang berasrama.
Ketika terjadi Clash II pada tahun 1948, bangunan utama dari gedung ini digunakan untuk Kantor Pengadilan, dan gedung yang berada di sebelah barat difungsikan sebagai Kantor Asisten Residen. Setelah, Kerajaan Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada Desember 1948, gedung di sebelah barat diserahkan kepada Kepolisian Republik Indonesia, dan digunakan sebagai Kantor Mapolresta sampai sekarang.
Gedung Kantor Mapolresta Magelang yang bercorak kolonial ini, seperti yang tercantum dalam Peraturan Daerah Kota Magelang Nomor 7 Tahun 2013 tentang Cagar Budaya di Kota Magelang (halaman 38) merupakan bangunan yang memiliki karakter sebagai bangunan cagar budaya (BCB) seperti yang termaktub pada poin 7: “kompleks Mapolresta (eks MOSVIA) sebagai kompleks sekolah yang memakai gaya arsitekur Indis.” *** [191214]

Kepustakaan:
Redaksi Visimedia, 2007. IPDN Uncensored, Inu Kencana: Perlawanan Seorang Dosen, Jakarta Visimedia
http://ntb.ipdn.ac.id/?p=496
Share:

SMA Negeri 3 Magelang

SMA Negeri 3 Magelang, atau yang biasa disingkat menjadi SMAN 3 magelang merupakan salah satu sekolah menengah atas negeri yang berada di Kota Magelang. SMA ini biasa disebut juga sebagai SMANAGA atau Medang High School.
SMA ini terletak di Jalan Medang No. 17 Kelurahan Rejowinangun Utara, Kecamatan Magelang Tengah, Kota Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi SMA ini berada di daerah central business Kota Magelang dan tidak terlalu jauh dengan Gedung Bundar.
Dilihat dari kesejarahannya, SMAN 3 Magelang masih tergolong belum tua bila dibandingkan dengan “induknya”, yaitu SMAN 1 Magelang. Pada waktu itu, Drs. Wahono, Kepala SMAN 1 Magelang, pada 15 Juli 1985 mendapat tugas untuk membuka SMAN 3 Magelang, dan menempati gedung yang dulunya pernah digunakan oleh Sekolah Pendidikan Guru Negeri (SPGN) dengan membayar uang sewa kepada pihak KODIM yang ketika itu status gedung SMAN 3 Magelang masih dianggap milik KODIM. Baru pada tahun 1990, status tersebut dilimpahkan, dan menjadi milik SMAN 3 Magelang.


Pada waktu penerimaan siswa baru di awal tahun ajaran 1985/1986, jumlah siswa yang diterima adalah 131 siswa yang terbagi menjadi 3 kelas dengan jumlah tenaga guru yang masih terbatas, yaitu sebanyak 7 orang guru yang kesemuanya masih berstatus Guru Tidak Tetap (GTT) seperti Drs. Umar Yunoto, Drs. Rustam Bambang, Drs. Sugiyanto, Drs. Sulistyo Pribadi, Dra. B. Rimbawati, Drs. V. Naryoso, dan Pudyastuti serta dibantu 5 guru dari SMAN 1 Magelang ditambah dengan Achmad Soetrisno selaku Wakil Kepala SMAN 3 Magelang.
SMA yang memiliki lahan seluas 1.400 meter persegi ini, memiliki sisi menarik dilihat rancang bangun dari gedung bagian depannya atau aula SMAN 3 Magelang. Gedung tersebut, awalnya merupakan sekolah khusus orang Tionghoa yang dikenal dengan Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) atau Rumah Perkumpulan Tionghoa. Sekolah THHK ini didirikan, karena pada masa pemerintahan Belanda, golongan yang bisa bersekolah hanyalah golongan elit dan ningrat saja. Sehingga, karena kondisi tersebut, sejumlah warga Tionghoa memutuskan untuk mendirikan sekolah khusus orang Tionghoa tersebut.
Dengan didirikannya sekolah THHK tersebut, menimbulkan kekhawatiran Pemerintah Kolonial Belanda terhadap gerakan Tionghoa di Hindia Belanda. Tak ingin merebak lebih besar, Belanda akhirnya mendirikan sekolah untuk anak-anak Tionghoa dengan bahasa pengantar bahasa Belanda, Hollandsche Chineseche School (HCS) pada tahun 1913 di Magelang.


Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) adalah sekolah pertama yang diperuntukkan untuk mengedukasi anak-anak Tionghoa, dan sekaligus sebagai lembaga transfer kultur dan pemikiran Tionghoa. Akan tetapi, sekolah THHK pada masa kemerdekaan dan paska kemerdekaan tidak lagi dipertahankan (sekitar tahun 1965).
Lalu, gedung tersebut berubah menjadi gedung bioskop yang bernama Mutiara Theater hingga tahun 1980-an. Setelah Mutiara Theater tutup, gedung tersebut digunakan untuk SPGN untuk beberapa tahun.
Setelah ditinggalkan SPGN karena SPGN menempati gedung baru di Jalan Senopati, Magelang, gedung tersebut kemudian dipakai untuk STM 45 hingga STM tersebut menempati gedung baru di Jalan Pahlawan. Kemudian kekosongan gedung ini, akhirnya dipinjam untuk digunakan sebagai Kantor Kelurahan Rejowonangun Utara dari KODIM. Setelah itu, sejak tahun 1985, gedung tersebut dipergunakan oleh SMAN 3 Magelang sampai sekarang.
Menyimak perjalanan penggunaan aula SMAN 3 Magelang yang terletak di bagian depan, mempelihatkan bahwa gedung tersebut layak mendapat predikat sebagai cagar budaya. Tidak semua warisan budaya ketika ditemukan sudah berfungsi dalam kehidupan masyarakat pendukungnya (living society). Terbukti cukup banyak yang digunakan di dalam peran baru atau tetap seperti semula. SMAN 3 Magelang meski merupakan pengguna terakhir bangunan heritage tersebut, sesungguhnya bangunan ini permulaannya juga memang digunakan untuk lokasi proses belajar mengajar juga. *** [191214]
Share:

SMA Negeri 1 Magelang

SMA Negeri 1 Magelang, atau yang biasa disingkat menjadi SMAN 1 Magelang merupakan salah satu sekolah menengah atas negeri yang berjumlah lima di Kota Magelang. SMAN 3 Magelang tergolong sekolah menengah atas tua namun masih menjadi SMA favorit. SMA ini biasa disebut juga sebagai SMANSA atau Gladiool High School.
SMA ini terletak di Jalan Cempaka No. 1 Kelurahan Kemirirejo, Kecamatan Magelang Tengah, Kota Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi SMA ini berdekatan dengan Rumah Dinas Walikota Magelang searah jalan menuju objek wisata Taman Kyai Langgeng di sebelah barat daya, dan berjarak sekitar 2 kilometer dari Alun-Alun Kota Magelang sebagai pusat kota.
Diriwayatkan oleh B. Soemarto, mantan guru sekolah tersebut, dalam buku Kenang-kenangan Dasa Warsa SMA negeri 1 Magelang (1960) bahwa setelah Indonesia Merdeka banyak daerah di Indonesia mulai memikirkan untuk memajukan pendidikan di daerahnya masing-masing setelah lama didera oleh penjajahan, tak terkecuali dengan Magelang. Memang, pada masa kolonial Belanda telah bermunculan Algemeene Middelbare School (AMS), dan Hogere Burger School (HBS) namun yang boleh bersekolah di situ masih terbatas bagi pribumi yang berasal dari golongan ningrat, priyayi atau golongan elite. Sehingga, kapasitas intelektual bukan menjadi satu-satunya syarat memasuki sekolah tersebut akan tetapi kedudukan sosial orangtuanya yang lebih berperanan, meskipun ternyata ada juga beberapa pribumi ningrat tersebut yang memiliki kapasitas keilmuan yang baik.


Keadaan inilah yang menjadikan Magelang tak mau ketinggalan dalam bidang pendidikan. Setelah kemerdekaan, pada tahun 1947 didirikan SMA Persiapan di bawah pimpinan Soedarsono, mantan Kepala Jawatan Kebudayaan Pusat, dengan menggunakan tempat di gedung Chritelijke MULO. Guru-gurunya diambil dari berbagai kantor yang terdapat di Magelang. Kebetulan, pada waktu itu, Magelang memiliki banyak kaum cerdik pandai (intelektual), karena kala itu Kementerian Kemakmuran dan Kementerian Keuangan dengan segala bagiannya berkedudukan di kota ini.
Selang dua tahun, tepatnya pada bulan September 1949, didirikan SMA Darurat dengan menempati gedung SMA Al-Iman sekarang, di Jalan Bayeman di bawah pimpinan Siregar. Kemudian pada bulan Januari 1950, kedua SMA tersebut disatukan. SMA bagian B yang mengajarkan Ilmu Pasti menempati bekas Ambachtsschool, dan SMA bagian C yang bermaterikan Sosial Ekonomi bertempat di Rumah Sakit Tentara, kini bernama Rumah Sakit Tentara Dr. Soejono.
Pada tahun 1952, SMA bagian C ditutup, sehingga wilayah Karesidenan Kedu hanya mempunyai SMA bagian B. Pada bulan Agustus 1955, SMA bagian C dibuka kembali dilengkapi bagian A yang bermaterikan Sastra Budaya dengan menempati gedung SMPN 1 Magelang sekarang, tapi kegiatan belajar mengajarnya berlangsung pada sore hari.


Kemudian pada tahun 1959, berdirilah secara resmi SMA Negeri Magelang dengan menempati gedung sendiri di Jalan Cempaka. SMA Negeri Magelang ini sudah terdiri dari bagian A, B, dan C yang bersama-sama masuk pagi dengan jumlah 23 kelas dan SMA ini memiliki 835 orang siswa dan 36 guru dengan kepala sekolahnya pada waktu itu adalah R. Tedjana. Karena pada waktu itu, SMA Negeri di Magelang masih satu maka namanya masih SMA Negeri Magelang, dan kelak ketika muncul SMA Negeri yang baru maka SMA Negeri Magelang berubah menjadi SMA Negeri 1 Magelang.
Gedung utama terdiri dari sebuah gedung tiga lantai yang disebut sebagai gedung induk. Bangunannya menggunakan lantai yang dilapisi dengan kayu dengan ditopang oleh konstruksi baja dengan banyak lengkungan. Di gedung induk ini terdapat ruang administrasi, guru, ruang kepala sekolah, dan beberapa kelas. Menurut Drs. Sucahyo Wibowo, M.Pd, Kepala SMAN 1 Magelang saat ini, bangunan gedung induk ini memiliki kemiripan dengan SMAN 1 Yogyakarta dan SMAN 4 Surakarta. Kemiripan bangunan ini apakah ada hubungannya dengan proyek pemerintah bantuan UNESCO/PBB yang dikerjakan antara tahun 1957 hingga 1959, seperti yang terjadi pada SMAN 4 Surakarta, kepala SMAN 1 Magelang tidak mengetahuinya dengan pasti.
SMAN 1 Magelang yang berdiri di atas lahan seluas 7.800 m² ini memiliki luas bangunan sekitar 4.448 m² setelah di sekitar gedung induk terdapat bangunan tambahan yang didirikan sesuai perkembangan sekolah dengan skema yang memaksimalkan luas tanah yang terbatas.
Sekolah ini, pada saat ini, merupakan SMA favorit yang berada di Kota Magelang. Dengan bermodalkan akreditasi A dan sertifikat ISO 9001:2008 ini, SMAN 1 Magelang terus berbenah dan meningkat diri untuk tetap menjadi yang terdepan dengan mengusung motto: “Unggul Dalam Prestasi, Prima Dalam Pelayanan.” *** [181214]
Share:

Plengkung Lama

Ketika berkunjung ke SMPN 2 Magelang, searah pemandangan ke timur akan terlihat bangunan menyerupai viaduct. Hanya saja di atasnya bukanlah berupa jalan seperti yang ditemukan di Surabaya, namun di Magelang ini di atasnya berupa selokan. Masyarakat setempatnya menyebut bangunan tersebut dengan nama Plengkung Lama atau Plengkung 1.
Plengkung Lama terletak di Jalan Pierre Tendean No. 1 Kelurahan Potrobangsan, Kecamatan Magelang Utara, Kota Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi plengkung ini berada di sebelah barat pintu utama Rindam IV Diponegoro.
Plengkung adalah semacam terowongan buatan yang di atasnya biasanya bisa untuk jalan (viaduct) atau saluran air (aquaduct). Untuk kasus plengkung di Kota Magelang ini memiliki kekhasan tersendiri karena di atasnya adalah selokan air yang mengalirkan air yang berhulu dari Kali Manggis, Kampung Pucangsari, Kelurahan Kedungsari, Kecamatan Magelang Utara. Saluran air ini dalam bahasa Belanda biasa disebut dengan Boog Kota Leiding, yang membelah kota menuju Poncol-Alun-Alun-Bayeman, dan berhilir di Kampung Jagoan, Kelurahan Jurangombo, Kecamatan Magelang Selatan.


Plengkung Lama dibangun pada 1883, seperti yang tertera pada pahatan bangunan kuna ini. Bangunan plengkung ini dibuat dengan konstruksi batu andesit namun pada waktu dilakukan renovasi pada tahun 2008, komposisi ini ditutup dengan semen.
Awal dibangunnya plengkung ini adalah untuk membuka akses antara Grooteweg Noord Pontjol (sekarang Jalan Ahmad Yani) yang disebelah timurnya terdapat Militaire Kampement (kini dikenal dengan Rindam IV Diponegoro) dengan Jalan Plengkoeng (sekarang Jalan Pierre Tendean) menuju Badaan (Nieuws Officer Kampement). Karena bila tak dibuat plengkung, semua transportasi darat akan mengalami kesulitan untuk menaiki gundukan tanah yang menyangga selokan air tersebut yang cukup tinggi. Keadaan ini yang menyebabkan Pemerintah Hindia Belanda menggagas plengkung yang berfungsi sebagai fly river.
Bangunan saluran air yang masing-masing luasnya 65 meter persegi dan tingginya 7 meter ini masih berdiri kokoh, terawat, serta masih berfungsi dengan baik. Bangunan peninggalan Belanda ini merupakan salah satu aset yang ada di Kota Magelang, dan sekaligus menjadi ikon unik di daerah tersebut karena kekhasan bangunannya. Mungkin hanya ada di Kota Magelang ini saja.
Oleh karena itu, sudah sewajarnyalah bila Plengkung Lama ini tetap dijaga kelestariannya sebagai cagar budaya sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Magelang Nomor 7 Tahun 2013 tentang Cagar Budaya di Kota Magelang. *** [181214]
Share:

SMP Negeri 2 Magelang

SMP Negeri 2 Magelang, atau yang biasa disingkat menjadi SMPN 2 Magelang merupakan salah satu sekolah menengah pertama yang tergolong lawas di Kota Magelang. SMP ini biasa disebut juga sebagai SPENADA, singkatan dari SMPN 2 Magelang.
SMP ini teletak di Jalan Pierre Tendean No. 8 Kelurahan Potrobangsan, Kecamatan Magelang Utara, Kota Magelang Provinsi Jawa Tengah. Lokasi SMP ini berada di sebelah barat Plengkung Lama.
Bentuk bangunan asli dari SMP ini masih memperlihatkan arsitektur kolonialnya meski di belakangnya maupun di sampingnya dibangun ruangan kelas baru dan bertingkat.
Menurut sejarahnya, SMP ini memiliki riwayat perjalananan yang cukup panjang. Seperti yang tertera di dalam Profil Sekolah, SMPN 2 Magelang berdiri pada 1 Juli 1950. Semula, sekolah ini masih menginduk ke SMPN 1 Magelang pada awal berdirinya, dan sekaligus meminjam tempat untuk proses belajar mengajar di SMPN 1 Magelang.
Selang lima tahun berjalan, yaitu pada tahun 1955, SMPN 2 Magelang baru mendapatkan tempat untuk melangsungkan proses belajar mengajar sendiri yang terpisah dari SMPN 1 Magelang. Tempat tersebut adalah bekas Kantor Kawedanan Bandongan di Jalan Plengkung 1 (sekarang Jalan Pierre Tendean). Pada waktu itu, bangunan bekas Kantor Kawedanan Bandongan ini masih terbuat dari bangunan setengah tembok, separuh di bawahnya menggunakan batu bata dan separuh di atasnya terbuat dari kayu. Kemudian dilakukan pembenahan untuk layaknya sebuah sekolahan. Bangunan yang semula masih terbuat dari kayu, diganti dengan batu bata juga hingga menjadi gedung sekolah yang representatif.


SMP yang memiliki lahan seluas 7.285 m² dengan luas bangunan 6.139, 9 m² ini merupakan bangunan kuno yang masih berdiri kokoh. SMP ini tercatat dengan Nomor Identitas Sekolah 200020, Nomor Pokok Sekolah Nasional (NPSN) 20327594, dan Nomor Statistik Sekolah (NSS) 201036002002.
Sampai sekarang SMPN 2 Magelang tergolong sekolah favorit di Kota Magelang. Sejumlah prestasi lokal, provinsi maupun nasional banyak diraihnya, dan sejumlah fasilitas bangunan yang ada di SMP tersebut turut mendukung juga. Dari pintu masuk terdapat pos penjaga (security office) dan taman, lalu ketika memasuki ruang lobby (lobby room) terpampang banyak piala yang telah diraihnya serta atribut sekolah. Di sebelah kanan ruang lobby terdapat ruang TU (administration room), dan ruang kelas. Sedangkan, di sebelah kanan lobby room dijumpai ruang kepala sekolah (principal room), ruang Komite Sekolah, ruang guru (teachers room) dan warung sekolah (school shop).


Melewati lobby room selurus pandangan ke depan, terdapat halaman tengah sekolah yang digunakan untuk melakukan upacara bendera (school yard as a flag ceremony place) dan lapangan basket (basket ball court). Di samping kanan halaman tersebut, berderet sejumlah bangunan, seperti gazebo atau semacam pendopo mini untuk meletakkan seperangkat gamelan (art stages), laboratorium fisika, laboratorium komputer, kafe belajar (study café), laboratorium biologi, dan perpustakaan. Sedangkan yang melingkungi bangungan tersebut adalah ruang kelas sebanyak 20 ruang.
Selain itu, di dalam lingkungan halaman SMP tersebut juga terdapat dua rumah yang diperuntukkan bagi pesuruh sekolah (janitor house), kantin sekolah, ruang musik (music room), ruang istirahat pelajar (student restroom), ruang OSIS, Balai Pelajar (Student Hall), Masjid Nurul ‘Ulum dan rumah untuk takmirnya.
Dari inventarisasi ruangan yang ada di SMPN 2 Magelang, bangunan deretan depan yang terdiri atas ruang lobby, ruang kepala sekolah, ruang guru, ruang TU, ruang Komite Sekolah, maupun warung sekolah yang berbentuk limasan memanjang merupakan bangunan cagar budaya (BCB) Tak Bergerak di Kota Magelang sesuai dengan Peraturan Daerah Kota Magelang Nomor 7 Tahun 2013 tentang Cagar Budaya di Kota Magelang. Berarti melestarikan bangunan sekolah tersebut merupakan keharusan dalam mempertahankan bukti-bukti sejarah perjalanan pendidikan di Kota Magelang. *** [181214]
Share:

Menara Air Magelang

Sisi menarik lain dari alun-alun Kota Magelang, tidak hanya menyediakan ruang terbuka yang berfungsi sebagai taman kota namun juga meninggalkan jejak aristektur bangunan yang megah nan menjulang. Bangunan yang menjadi penanda yang khas keberadaan alun-alun tersebut adalah sebuah tower untuk menampung air, atau yang biasa dikenal dengan menara air.
Menara air ini terletak di sudut pertemuan antara Jalan Alun-alun Utara  dengan Jalan Alun-alun Barat, Kelurahan Kemirirejo, Kecamatan Magelang Tengah, Kota Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi menara air ini berada di pojok barat laut dari alun-alun, atau berdekatan dengan GPIB Magelang.
Menara air yang dulunya dikenal dengan nama Watertoren te Magelang ini mulai dibangun pada tahun 1916 dan mulai beroperasi sejak Mei 1920. Sang arsitek dibalik megahnya bangunan menara air ini adalah Ir. Herman Thomas Karsten. Karsten adalah arsitek lulusan Technische Hoogeschool di Delft yang disandangnya pada tahun 1908. Karsten dilahirkan pada 22 April 1884 di Amsterdam. Ayahnya, seorang profesor  dalam ilmu filsafat dan wakil ketua Chancellor (Pembantu Rektor atau Direktur) sedang ibunya berasal dari Jawa Tengah. Pada tahun 1921, Karsten menikahi Soembinah, anak perempuan seorang lurah di Dieng, Mangunredjo.


Menara air ini memang dirancang oleh Thomas Karsten sebagai tempat penampungan untuk mencukupi kebutuhan air masyarakat Kota Magelang dan sekaligus berfungsi untuk mendistribusikan air minum bagi warga Kota Magelang, yang sumbernya mengambil mata air dari Kalegen, Bandongan.
Bangunan menara air ini memiliki luas bangunan 526 m² dengan tinggi bangunan 23 m. Jumlah pilar dari menara air ini sebanyak 32 buah yang dapat menampung air sebanyak 1.750.000 liter air. Konon untuk membangun menara air ini menghabiskan biaya sebesar 550.000 gulden.
Semula bangunan bagian bawah dari menara air ini terbagi menjadi 13 ruangan melingkar. Beberapa di antaranya adalah kantor menara air, laboratorium, dan ruangan untuk pelayanan pelanggan. Namun sepertinya, kantor menara air telah dialihfungsikan sebagai gudang.
Bangunan yang kini menjadi salah satu ikon di Kota Magelang ini, sekarang dikelola oleh Perusahaan Umum Daerah (Perusda) Air Minum Kota Magelang, atau yang dikenal dengan PDAM. Selain itu, juga menjadi salah satu bangunan heritage yang ada di Kota Magelang. *** [171214]
Share:

Alun-Alun Kota Magelang

Kawasan alun-alun yang berada di pusat Kota Magelang, saat ini telah berkembang pesat menjadi kawasan campuran yang terutama didominasi oleh aktivitas komersial dengan cakupan skala layanan kota dan bahkan regional (se-eks Karesidenan Kedu). Fenomena ini cukup menarik mengingat alun-alun dahulunya peruntukkan lahannya didominasi aktivitas sosial-keagamaan kini masih tetap bertahan dan diminati oleh masyarakat kota yang terlihat dari makin banyaknya orang yang berkunjung ke kawasan alun-alun dengan beragam aktivitas, dan tujuannya masing-masing.
Alun-alun ini terletak di Kelurahan Kemirirejo, Kecamatan Magelang Tengah, Kota Magelang. Provinsi Jawa Tengah. Sebelah barat berbatasan dengan Jalan Alun-Alun Barat atau Jalan Tentara Pelajar, sebelah timur berbatasan dengan Jalan Ahmad Yani, sebelah utara berbatasan dengan Jalan Alun-Alun Utara, dan sebelah selatan berbatasan dengan Jalan Alun-Alun Selatan.
Menurut sejarahnya, keberadaan alun-alun Kota Magelang terjadi ketika Kerajaan Inggris mengambil alih Hindia Belanda dari jajahan Kerajaan Belanda. Pada tahun 1812, Letnan Gubernur Sir Thomas Stamford Raffles mengangkat Mas Ngabei Danuningrat sebagai bupati pertama Magelang dengan gelar Adipati Danuningrat I. Penunjukkan ini terjadi sebagai konsekuensi perjanjian antara Inggris dan Kesultanan Yogyakarta pada tanggal 1 Agustus 1812 yang menyerahkan wilayah Kedu kepada Pemerintah Inggris.


Adipati Danuningrat I kemudian merintis berdirinya Kota Magelang dengan membuat alun-alun, masjid (groote moskee), dan rumah adipati/bupati (regentwoning) di utara alun-alun. Raffles yang mengagumi kebudayaan Jawa, mendukung langkah sang adipati dalam membuat alun-alun. Di samping sesuai dengan kultural Jawa, juga sejalan dengan pola pembangunan di Kerajaan Inggris pada masanya.
Dalam peradaban Jawa, rumah kediaman penguasa (Kraton, Kadipaten) selalu dilengkapi dengan sebidang alun-alun yang melambangkan konsep Ketuhanan, atau dalam ruang kosong ada kehidupan yang dilambangkan dengan pohon beringin. Alun-alun secara kultural Jawa merupakan simbol keluasan titah manusia di dunia di mana unsur makrokosmos dengan mikrokosmos berpadu sebagai sebuah hubungan vertikal antara manusia dengan Sang Pencipta, dan secara horisontal antara manusia dengan alam dan sesamanya.
Setelah Hindia Belanda kembali ke pangkuan Kerajaan Belanda pada tahun 1813, Magelang secara otomatis juga menjadi daerah kolonial Belanda lagi. Sejak itu, Belanda mulai mengembangkan Magelang menjadi kota yang maju dengan mendirikan sejumlah gedung di sekitar alun-alun tersebut, seperti GPIB (1817), Klenteng Liong Hok Bio (1864), Gereja Santo Ignatius (1865), Middelbare Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (1878), Kantor Pos (1845), Menara Air (1920), dan lain-lain. Dari sinilah pembangunan berbagai infrastruktur terus berkembang pesat pada masanya.
Di samping fungsinya sebagai lambang kebesaran dan wibawa penguasa, sejak dulu alun-alun bukan sekadar lapangan, tetapi juga memiliki fungsi ganda, yakni di samping sebagai ruang terbuka kota, saat ini kegiatan-kegiatan tertentu yang bersifat rekreasi tak jarang digelar pula di alun-alun. Kini, fungsi alun-alun sudah berubah wajah, namun sebagai elemen kota berupa ruang terbuka umum, ruang publik, masih sangat diperlukan, dan bahkan alun-alun menjadi penanda penting dari Kota Magelang. *** [171214]

Kepustakaan:
http://eprints.undip.ac.id/12014/
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Magelang
http://penataanruang.pu.go.id/.../edisi5c.pdf
Share:

Kantor Pos Magelang

Ketika sedang mencari kaca mata plus 1,5 di Jalan Pemuda, terlintas bangunan Kantor Pos di sudut jalan, pertemuan antara Jalan Ahmad Yani dengan Jalan Sigaluh yang selurus dengan Jalan Alun-Alun Selatan. Bangunan ini menarik mata yang memandangnya karena kekunaannya, peninggalan Kolonial Belanda.
Kantor Pos ini terletak di Jalan Ahmad Yani No. 2 Kelurahan Panjang, Kecamatan Magelang Tengah, Kota Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi berada di sebelah timur alun-alun, atau sebelah timur laut dari Klenteng Liong Hok Bio. Hal ini dimengerti karena fasilitas kantor pos merupakan elemen kota yang sangat strategis.
Menurut sejumlah literatur, menyebutkan bahwa kantor pos ini diperkirakan dibangun antara tahun 1835 hingga tahun 1845 seumuran dengan kantor pos yang didirikan di Bandung, Yogyakarta, Surakarta, Salatiga, Madiun, Ngawi, Kediri, Bangkalan dan Sumenep. Diperkirakan bahwa dahulu kantor pos dan telegraf menjadi satu (Post Telegraaf en Telefon Dienst), dan bentangan kawat-kawat telegraf waktu itu menyesaki Jalan Sigaluh sehingga lama kelamaan daerah tersebut dikenal dengan daerah Kawatan.


Cukup banyak perubahan nama dalam sistem pos di Indonesia. Nama Jawatan Pos, Telegraph dan Telepon (PTT) terus dipertahankan hingga tahun 1945.  Pada tahun 1961, Jawatan PTT resmi menjadi perusahaan Negara berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 240 Tahun 1961. Peraturan tersebut menyebutkan bahwa Jawatan PTT itu kemudian berubah menjadi Perusahaan Negara Pos dan Telekomunikasi (PN Postel).
Pada tahun 1965, PN Postel mengalami pemecahan menjadi Perusahaan Pos dan Giro (PN Pos dan Giro) dan Perusahaan Telekomunikasi (PN Telekomunikasi). Hal ini bertujuan untuk mencapai perkembangan yang lebih luas lagi dari masing-masing BUMN ini. Pemecahan PN Postel menjadi PN Pos dan Giro dan PN Telekomunikasi ini memiliki legalitas hukum melalui PP Nomor 29 Tahun 1965 dan PP Nomor 30 Tahun 1965.
Pada tahun 1978, PN Pos dan Giro berubah menjadi Perusahaan Umum Pos dan Giro (Perum Pos dan Giro) berdasarkan PP Nomor 9 Tahun 1978. Hal ini bertujuan untuk semakin mempermudah keleluasaan pelayanan pos bagi masyarakat Indonesia. Perubahan bentuk usaha dari sebuah perusahaan Negara menjadi perusahaan umum ini pun disempurnakan lagi supaya bisa mengikuti iklim usaha yang sedang berkembang melalui keluarnya PP Nomor 28 Tahun 1984 mengenai tata cara pembinaan dan pengawasan.
Pada tahun 1995, Perum Pos dan Giro berubah menjadi PT. Pos Indonesia (Persero) dengan dikeluarkannya PP Nomor 5 Tahun 1995. Perubahan ini bertujuan untuk memberikan fleksibilitas dan kedinamisan untuk PT. Pos Indonesia (Persero) sehingga bisa lebih baik dalam melayani masyarakat dan menghadapi perkembangan dunia bisnis yang semakin ketat persaingannya. *** [171214]
Share:

Klenteng Liong Hok Bio

Tempo doeloe di sebelah tenggara Alun-Alun Kota Magelang sudah menjadi kawasan yang cukup ramai. Wilayah yang dulu dikenal dengan Grooteweg Zuid Patjinan atau Jalan Raya Pecinan (sekarang Jalan Pemuda) ini merupakan jantung ekonomi masyarakat baik dulu maupun sekarang. Sisa-sisa bangunan kuno yang menunjukkan bahwa daerah tersebut merupakan Pecinan masih dapat ditemui meski yang bisa ditemui hanya beberapa saja. Salah satunya adalah tempat ibadah bagi pemeluk Tri Dharma yang bernama Klenteng Liong Hok Bio.
Klenteng ini terletak di Jalan Alun-Alun Selatan No. 2 Kelurahan Kemirirejo, Kecamatan Magelang Tengah, Kota Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi klenteng ini berada di sebelah selatan alun-alun, atau di sebelah timur Kantor Mapolresta Magelang dan berdekatan dengan Kantor Pos Magelang.
Berdasarkan catatan sejarah yang tertempel di dinding dekat pintu kantor, Klenteng Liong Hok Bio didirikan pada 8 Juli 1864 oleh Kapiten Be Koen Wie alias Be Tjok Lok. Setelah Perang Diponegoro berakhir pada tahun 1830, seorang warga Tionghoa bernama Be Koen Wie dari Solo yang dianggap telah banyak berjasa selama waktu perang, diangkat menjadi Luitenant oleh Pemerintah Hindia Belanda, dan kemudian dipindahkan ke Magelang. Di Magelang, Luitenant Be Koen Wie dipercaya menjadi pachter candu dan rumah gadai sehingga akhirnya ia menjadi saudagar dan hartawan yang kaya raya di zamannya.


Berkat kepiawaiannya dalam menjalankan bisnis yang dipercayakan kepadanya ini, ia kemudian diangkat menjadi Kapiten bagi masyarakat Tionghoa kala itu. Kesuksesannya mengetuk pintu hatinya untuk berkenan menghibahkan tanahnya untuk didirikan klenteng sebagai tempat ibadah masyarakat Tionghoa di Magelang dan Tua Pek Kong yang berada di Kampung Ngarakan dipindahkan ke klenteng tersebut.
Dilihat dari bangunannya, klenteng yang menghadap ke utara atau ke arah alun-alun ini tergolong besar dan megah, hanya sayangnya bangunan utamanya telah dilalap si jago merah pada 16 Juli 2014. Klenteng ini sengaja dibangun di sudut perempatan jalan, pojok tenggara dari alun-alun, karena menurut kepercayaan masyarakat Tionghoa bahwa lokasi tersebut berisi segala pengaruh negatif. Pengaruh buruk tersebut akan hilang atau sirna dengan dibangunnya klenteng ini.
Memasuki pagar klenteng ini, peziarah akan menjumpai kantor klenteng yang berada di sebelah kanan atau arah barat. Setelah melewati depan kantor klenteng, peziarah akan menjumpai lantai bekas bangunan utama klenteng yang terbakar itu, dan belum sempat dibangun kembali.


Menoleh ke arah timur dari depan lantai tersebut, akan dijumpai tempat pembakaran kertas-kertas doa berwarna merah dan menyerupai botol. Di tengah tempat pembakaran tersebut terdapat kaligrafi dalam aksara Tionghoa yang berwarna kuning.
Meneruskan langkah ke dalam setelah melewati pagar seng yang dicat merah sebagai penanda batas usai kebakaran, terlihat bangunan klenteng yang tinggi, besar dan megah. Sesungguhnya bangunan ini sebelumnya merupakan bangunan tambahan yang terletak di bagian belakang bangunan utama sebelum terbakar. Di depan bangunan tersebut tampak dua pilar kokoh dengan hiasan qing long (naga biru yang melilit pilar tersebut). Kekokohan ini semakin nampak dengan menyaksikan atap dari bangunan tersebut yang dihiasi oleh dua naga berjalan (xing long) yang saling menghadap huo zhu, mutiara api atau bentuk bola api (mutiara Buddha) terletak di bagian tengah wuwungan dan diglasir. Atap inilah yang menambah eksotisme dari klenteng ini.
Awalnya, klenteng ini hanya memiliki satu Kongco Hok Tik Cing Sien yang merupakan Dewa Bumi, dan sekaligus dewa yang utama dalam klenteng ini. Namun seiring berjalannya waktu, dewa-dewanya pun bertambah jumlahnya hingga puluhan, seperti Kwam Im Poo Sat atau Avalokitesvara (Dewi Welas Asih), Kwang Kong (Dewa Keadilan), Thiang Sian Sing Bo (Dewa Penguasa Air), Kwan Seng Tee (Dewa Perang), dan Thian Siang Tee (Dewa Pembasmi Ilmu Hitam).
Klenteng Liong Hok Bio ini adalah tempat ibadah bagi umat Tri Dharma (Tao, Konghucu, dan Buddha) yang sekaligus menjadi ikon masyarakat Tionghoa yang dapat ditemui di Kota Magelang. Bangunan yang didominasi warna merah ini juga melengkapi kawasan alun-alun dengan nuansa tempat peribadatan dan deretan heritage yang ada di Kota Magelang. *** [171214]
Share:

SMK Wiyasa Magelang

Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Wiyasa merupakan salah satu SMK Swasta yang ada di Kota Magelang. SMK ini memfokuskan pada bidang keahlian pariwisata dengan program keahlian: akomodasi perhotelan dan usaha jasa pariwisata.
Bangunan SMK ini akan senantiasa menarik perhatian bagi yang melintas di depannya. Karena bentuk bangunannya yang menarik dari segi arsitekturnya. Kesan kuno begitu menonjol bila dibandingkan dengan bangunan yang ada di jalur itu.
SMK ini terletak di Jalan Tidar No. 36 Kelurahan Kemirirejo, Kecamatan Magelang Tengah, Kota Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi SMK ini berada di sebelah barat RSUD Tidar atau di sebelah utara Stadion Abu Bakrin.
Awalnya, gedung SMK Wiyasa ini merupakan gedung Hollandsche Chineesche School (HCS) yang dibuka pada 2 September 1913. HCS ini didirikan, lantaran adanya kekhawatiran Pemerintah Hindia Belanda terhadap gerakan Tionghoa di Magelang. Kekhawatiran itu timbul karena masyarakat Tionghoa kala itu telah mendirikan sekolah khusus orang Tionghoa yang dikenal dengan Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) atau Rumah Perkumpulah Tionghoa di Nanggoelan atau Pawirokoesoeman Koelon (sekarang menjadi Jalan Medang).


SMK Wiyasa dibangun pada masa Hindia Belanda, sehingga bangunannya mendapat pengaruh dari gaya arsitektur yang berkembang di Belanda juga. Namun bangunan kolonial yang ada di Indonesia berbeda dengan bangunan di Belanda pada masanya. SMK Wiyasa pada waktu dibangun mendapat pengaruh arsitektur Modern Fungsional dengan elemen Art Deco. Arsitektur Modern Fungsional pada waktu itu sedang berkembang (1910-1940), gaya arsitektur ini lebih diminati para arsitek yang berada di Hindia Belanda karena lebih mengutamakan fungsi, keindahan timbul semata-mata oleh adanya fungsi dari elemen-elemen bangunannya. Aspek keindahan tidak lagi dikaitkan dengan adanya dekor atau ornamen dan bagian-bagian bangunan yang semata-mata untuk memperindah bangunan seperti misalnya menara-menara tinggi, oranamen, patung, dan lain-lain yang tidak memiliki fungsi. Bentuk pelengkung banyak digunakan pada bangunan arsitektur Kolonial, terutama pada arsitektur Modern.
Pada saat Jepang menganeksasi Hindia Belanda, pasukan Jepang di bawah pimpinan Matsumoto berhasil menguasai Magelang pada 6 Maret 1942. Jepang masuk ke Magelang melalui Yogyakarta, tidak seperti perkiraan Belanda yang mengira Jepang akan datang dari arah Semarang.
Ketika menduduki Magelang, Jepang menjadikan gedung HCS sebagai Markas Kempetai (satuan polisi militer Jepang yang ditempatkan di seluruh daerah jajahan Jepang). Markas ini pernah menjadi tempat untuk menyelesaikan masalah pencopotan bendera Merah Putih yang dipasang di tembok Hotel Nikita, yang biasa disebut “Insiden Hotel Nikita”. Tetapi pembicaraan itu tidak menemukan kesepakatan. Mereka kemudian berbondong-bondong menuju markas Nakamura Butai, yang merupakan komandan pasukan Jepang, untuk membicarakan masalah kemerdekaan itu. Tetapi, tidak ada keputusan yang dihasilkan dan semakin membuat kecewa para pemuda yang berkumpul itu.


Pada 25 September 1945 pagi hari, sedang diadakan upacara bendera di Gunung Tidar. Tetapi, selagi upacara mendekati akhirnya, terdengar suara tembakan dari arah Gedung Kempetai. Tidak lama kemudian rakyat menyerbu Gedung Kempetai dengan menggunakan senjata seadanya. Pasukan Jepang sendiri kemudian menembaki orang-orang yang menyerbu itu. Jatuhlah korban 11 orang  dan 4 orang di antaranya gugur dalam pertempuran itu, yaitu Kusni, Slamet, Samad Sastrodimedjo, dan Djajus. Untuk mengenang kejadian kepahlawanan itu kemudian dibangun tugu atau monumen di dekat Gunung Tidar. Monumen tersebut didirikan tepat di seberang gedung ini.
Setelah Jepang hengkang dari Magelang, bekas Gedung Kempetai tersebut beberapa tahun kemudian kembali menjadi tempat proses belajar lagi, yaitu menjadi Sekolah Kepandaian Putri (SKP) Kristen. Kemudian berubah menjadi Sekolah Kepandaian Keputrian Pertama (SKKP) Kristen, dan terus berubah lagi menjadi Sekolah Menengah Industri Pariwisata (SMIP) Wiyasa yang diresmikan pada 24 Januari 1994.
Setelah muncul Surat Edaran Sekjen Depdikbud Nomor 410007/A.A5/OT/1997 tertanggal 3 April 1997 perihal tindak lanjut Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 034, 035 dan 036/O/1997 atau yang lain-lainnya tentang yang Mengatur Perubahan Nomenklatur SLTP-SMP, SMU-SMA dan SMEA-SMK, SMIP Wiyasa pun ditingkatkan dengan dilengkapi mini hotel, restoran, laboratorium bahasa dan sarana lainnya yang merupakan syarat minimal sebuah SMK khususnya rumpun pariwisata. Akhirnya, berubahlah menjadi SMK Wiyasa sampai sekarang.
Mengacu pada Pasal 5 dari Peraturan Daerah Kota Magelang Nomor 7 Tahun 2013 tentang Cagar Budaya di Kota Magelang, jelas sekali bahwa gedung SMK Wiyasa ini sudah bisa digolongkan sebagai bangunan cagar budaya karena telah memenuhi kriteria: berusia 50 tahun atau lebih, mewakili masa gaya paling singkat 50 tahun, memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan, serta memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa. Oleh karena itu, bangunan SMK Wiyasa ini harus dilindungi, dan dilestarikan. *** [171214]

Kepustakaan:
Nugroho Adi Perdana, 2010. Pengaruh Pendudukan Jepang Terhadap Masyarakat Magelang 1942-1945, dalam Paramita Vol.20 No.2-Juli 2010
http://eprints.undip.ac.id/44328/4/BAB_3.pdf
http://mkwiyasa.sch.id/html/profil.php?id=profil&kode=12&profil=Sejarah%20Singkat
Share:

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami