The Story of Indonesian Heritage

  • Istana Ali Marhum Kantor

    Kampung Ladi,Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat)

  • Gudang Mesiu Pulau Penyengat

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Benteng Bukit Kursi

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Kompleks Makam Raja Abdurrahman

    Kampung Bulang, Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

  • Mesjid Raya Sultan Riau

    Kelurahan Penyengat, Kecamatan Tanjungpinang Kota, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau [Pulau Penyengat]

Hotel Juliana Solo

Perkembangan wilayah Vorstenlanden atau wilayah otoritas kerajaan yang merupakan pewaris dari Dinasti Mataram Islam (Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Kadipaten Mangkunegaran, Kadipaten Pakulaman), tidak dapat dilepaskan dari perubahan kebijakan politik pemerintah kolonial Belanda pada waktu itu.
Pada tahun 1870 muncul yang disebut Agrarische Wet (Undang-Undang Agraria), yang mendorong melonjaknya perekonomian khususnya di wilayah Vorstenlanden termasuk Surakarta. Kebijakan ini menyebabkan perkembangan yang positif bagi usaha perkebunan swasta di Hindia Belanda, khususnya wilayah Surakarta.
Perkembangan Kota Surakarta atau Solo lambat laun berkembang pesat seiring dengan makin banyaknya kalangan swasta asing yang mendirikan perusahaan perkebunan dan bermukim di kota tersebut. Fasilitas kota yang modern banyak mulai dibangun, seperti sarana pengairan pengendali banjir, jaringan listrik, jaringan jalan, jalan kereta api, pusat perekonomian, pemukiman dan fasilitas hiburan, seperti bioskop, societeit, dan hotel.

Hotel Juliana Solo pada masa Hindia Belanda (Sumber: http://antoniuspurbayan.com/)

Sama dengan Hotel Dohne, Hotel Slier maupun Hotel Rusche, Hotel Juliana hadir di Solo kala itu sebagai fasilitas modern untuk mengakomodasi keberadaan para pengusaha asal Eropa yang kian marak. Hotel itu berada di daerah Kebalen atau berada di sebelah utara Gereja Katolik Santo Antonius Purbayan.
Tak banyak informasi mengenai siapa yang mendirikan Hotel Juliana ini. Dalam buku telepon wilayah Solo (Gouvernements Bedrijf Der Telefonie Gids Voor Solo) terbitan September 1930 tercetak bahwa Hotel Juliana beralamatkan di Poerbajan, dan nomor teleponnya atas nama P. van der Helder. Diperkirakan bangunan hotel tersebut didirikan antara tahun 1900-1920an.
Pada waktu berdiri, Hotel Juliana tak mau kalah bersaing dengan Hotel Slier. Kalau Hotel Slier menawarkan kepada tamu hotelnya untuk penjemputan tamu dari Stasiun Balapan menuju hotel dengan kereta kuda, pengelola Hotel Juliana siap membantu tamunya yang ingin berkunjung ke Kraton Kasunanan Surakarta.
Pada waktu itu, lokasi hotel ini berada di kawasan yang menjadi bagian dari Oude Stad van Solo yang senantiasa ramai dan diperuntukkan untuk kalangan atas. Beberapa landhuurder (penyewa tanah) yang sekaligus ondernemer (pengusaha perkebunan) suka menginap di Hotel Juliana. Tepat di depannya terdapat Solosche Schouwburg  atau Gedung Kesenian Solo (sempat menjadi gedung bioskop Fajar Theater).

Kantor Denpom IV/4 Surakarta (Foto tahun 2014)

Selain itu, menu masakan dari Hotel Juliana ini terkadang mendapat pesanan dari Gereja Katolik Santo Antonius Purbayan ketika sedang ada perayaan-perayaan yang dilakukan oleh gereja yang berada di sebelah selatan hotel tersebut. Pada tahun 1935 saat Romo C. Ruijgrok, SJ mengalami kambuh sakit asmanya, untuk santapannya juga dipesankan dari Hotel Juliana.
Pada waktu Jepang menduduki Kota Solo, Hotel Juliana dijadikan sebagai kamp bantuan oleh pasukan Jepang untuk mengurusi para interniran yang terdiri dari pria, wanita dan anak-anak, dari Maret 1942 hingga Agustus 1942. Setelah Agustus, para interniran banyak yang dipindahkan ke Sekolan Van Deventer (sekarang SMPN 10) dan Kamp Bumi di Laweyan.
Pada akhir pendudukan Jepang, pada tahun 1945, hotel ini berubah fungsi menjadi markas pemuda dan pejuang kemerdekaan Republik Indonesia. Kemudian pada tahun 1946-1949 bangunan Hotel Juliana dipinjam untuk markas Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Surakarta.
Pada masa Agresi Militer II atau yang dikenal dengan Operatie Kraai (Operasi Gagak), pasukan Belanda yang membonceng Sekutu berhasrat ingin menduduki Kota Surakarta seperti dulu lagi sebelum kedatangan Jepang. Akan tetapi hasrat tersebut akhirnya harus berhadapan dengan perlawanan dari pasukan TNI dan Pasukan TP.
Sebelum memasuki Kota Solo pada 21 Desember 1948, pimpinan TNI yang membawahi Solo menggunakan taktik bumi hangus guna untuk memperlambat gerak dari pasukan Belanda memasuki Kota Solo. Mereka menilai bangunan bikinan Belanda masih dianggap kuat mengandung aroma kolonialisme sehingga harus diratakan dengan tanah ketimbang dikuasai kembali oleh Belanda. Kantor Gupernemen (sekarang Balai Kota Surakarta), Hotel Slier, Kantor Pos maupun Hotel Rusche tak luput dari bumi hangus tersebut. Sedangkan Hotel Juliana yang lokasinya tak jauh dari keempat bangunan tersebut selamat dari bumi hangus. Hal ini disebabkan karena pada waktu melancarkan bumi hangus, posisi bangunan Hotel Juliana sudah tidak dipergunakan lagi sebagai hotel melainkan sebagai markas PMI Kota Surakarta.
Paska Agresi Militer II ini kemudian bangunan hotel ini difungsikan menjadi Markas Polisi Militer Daerah Militer IV Diponegoro Detaseman IV/4 Surakarta (Markas CPM Surakarta). Saat peristiwa G30S, pada Oktober 1965 hingga Mei 1968, Markas CPM ini menjadi Kantor Teperca (Tim Pemeriksa Cabang) Surakarta dan sekaligus menjadi tempat interogasi para tapol asal Surakarta dan Klaten.
Kini, bangunan bekas Hotel Juliana itu kembali menjadi Kantor Denpom IV/4 Surakarta, yang di kalangan masyarakat Solo akrab juga dengan gedung CPM (Corps Polisi Militer) atau gedung PM (Polisi Militer) saja. Kendati menjadi Kantor Denpom IV/4 Surakarta yang notabene milik TNI, secara umum bangunan berlantai dua tersebut masih terjaga dan terawat, baik detail kusen, hiasan kaca patri, jendela, pintu, atap kayu, serta bekas lorong kamar-kamar hotel yang kini dipergunakan sebagai ruang kerja. Di bagian belakang pada bangunan yang terletak di Jalan Arifin, Kelurahan Kampung Baru, Kecamatan Paar Kliwon, Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah ini, masih ditemui bekas tungku cerobong dari bata yang dulu mungkin dipakai sebagai dapur masak hotel. *** [250420]

Kepustakaan:
Putranto, A., & Pradnyawan, D. (2018). MODEL PENILAIAN KUANTITATIF BANGUNAN CAGAR BUDAYA KOTA SURAKARTA (QUANTITATIVE VALUING MODEL OF HERITAGE BUILDINGS IN SURAKARTA CITY). Naditira Widya, 12(2), 159-172. https://doi.org/10.24832/nw.v12i2.313
http://antoniuspurbayan.com/2019/12/11/sejarah-paroki-st-antonius-purbayan/
https://eprints.sinus.ac.id/147/4/001C2016STI_11.5.10008_BAB_IV.pdf
https://indischekamparchieven.nl/en/search?mivast=963&mizig=276&miadt=968&miaet=14&micode=kampen&minr=1397390&milang=en&misort=plaats%7Casc&mif1=Central%20Java&mif2=315905&miview=ika2
http://sejarahsosial.org/kamp_solo/htm/10.htm
https://www.facebook.com/notes/gereja-katolik/sejarah-gereja-paroki-santo-antonius-purbayan-surakarta/77235852439/
Share:

Loge L’Union Frederic Royal Solo

Loge L’Union Frederic Royal adalah sebuah loge yang pernah berdiri di kampung Batangan. Kampung itu sekarang secara administratif berada di Kelurahan Kedunglumbu, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi ini berada di sebelah selatan Benteng Vastenburg, atau sebelah timur laut Alun-alun Lor.
Loge, dalam bahasa Belanda memiliki arti perhimpunan mason (freemasonry). Di dalam bangunan loge ini digunakan sebagai tempat berkumpulnya anggota Freemasonry untuk melakukan pemujaan kepada ‘Yang Maha Terang’, yang dalam ritualnya acapkali dengan melantunkan nyanyian kerohanian dan upacara pemanggilan arwah orang mati. Loge atau loji dalam bahasa pribumi sering disebut sebagai “Rumah Setan atau Gedong Setan” sedangkan dalam bahasa Jawa disebut “Omah Pewangsitan”. Upacara ritual yang dilakukan oleh anggota Gerakan Kemasonan ini yang menyebabkan masyarakat di sekitar menyebutnya dengan omah setan (rumah setan).
Loge L’Union Frederic Royal ini didirikan oleh hampir tiga puluh orang mason bebas di Surakarta. Permintaan pendirian diajukan pada tanggal 25 September 1871, dan pada tanggal 28 Oktober 1872 dilakukan peresmian. Surakarta juga merupakan salah satu dari Vorstenlanden, dan sama seperrti Yogyakarta menikmati status semi-otonom dalam hubungannya dengan pemerintahan di Batavia. Surakarta kemudian dijadikan salah satu daerah tempat untuk mendirikan loge oleh kelompok Gerakan Kemasonan itu.

Loge L’Union Frederic Royal Soerakarta (Sumber: https://www.picuki.com/)

Tokoh yang berperan penting dalam pendirian loge ini diantaranya adalah Jonkheer Willibald Dagobert van Nispen, atau biasa disingkat menjadi Jhr. W.D. van Nispen. Ia lahir di ‘s Heerenberg pada 24 Maret 1836 dari pasangan Lodewijk Carel Jacob Christiaan Frans van Nispen dan Eulalie Louise Bender.
Nispen menikah di Sragen pada 30 September 1905 dengan seorang wanita Jawa yang ia beri nama Brunhilde, dan dari pernikahannya ini, ia dikaruniai seorang putra bernama Dagobert Anton Leonhard Karel van Nispen yang lahir di Kebonromo, Sragen, pada 14 Oktober 1907.
Jhr. W.D. van Nispen dikenal dikenal sebagai seorang yang mempunyai pengaruh dalam hal persewaan tanah di wilayah Surakarta. Kelak ia akan memimpin atau menjadi ketua dari “Solosche Landhuurders Vereeniging” (Perkumpulan Penyewa Tanah Solo), di samping ia mengepalai loge tersebut.
Freemasonry sendiri merupakan perkumpulan persaudaraan internasional ‘rahasia’ yang mempunyai kedekatan dengan jaringan Yahudi.. Dalam bahasa Belanda, freemasonry dikenal dengan Vrijmetselarij. Dr. Th. Stevens, seorang peneliti tentang perkumpulan ini, mengalihbahasakan Vrijmetselarij dalam bahasa Indonesia menjadi Tarekat Mason Bebas.
Para anggota mula-mula berkumpul di sebuah hotel, dan kemudian di sebuah rumah tinggal yang disediakan untuk maksud tersebut. Setelah bangunan loge selesai dibangun, mereka kemudian berpindah ke gedungnya sendiri, dan mendirikan Maconnieke Societeit L’Union Frederic Royal.
Gedung loge yang megah itu memiliki gaya arsitektur Indische Empire. Indische Empire Style adalah suatu gaya arsitektur kolonial yang berkembang pada abad ke 18 dan 19, sebelum terjadinya “westernisasi” pada kota-kota di Hindia Belanda di awal abad ke 20. Gaya ini merupakan hasil percampuran antara teknologi, bahan bangunan dan iklim yang ada di Hindia Belanda dengan gaya Empire Style yang sedang berkembang di Perancis. Gaya arsitektur ini dipopulerkan oleh Herman Willem Daendels, mantan serdadu Napoleon Bonaparte yang menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang ke-36, yang memerintah antara tahun 1808-1811.
K. Hylkema pernah mengadakan penelitian dalam buku-buku keanggotaan loge-loge di Hindia Belanda (Onderzoek in de ledenboekjes der Indische loges). Di Surakarta, loge L’Union Frederic Royal memiliki anggota loge (Stevens, 2004) sebagai berikut:


1874 72 1897 62 1920 53
1875 72 1898 73 1921 48
1876 72 1899 75 1922 54
1877 72 1900 79 1923 55
1878 72 1901 77 1924 56
1879 71 1902 74 1925 56
1880 53 1903 71 1926 61
1881 53 1904 46 1927 50
1882 47 1905 45 1928 48
1883 47 1906 44 1929 45
1884 49 1907 38 1930 47
1885 25 1908 38 1931 48
1886 44 1909 42 1932 43
1887 43 1910 45 1933 40
1888 34 1911 43 1934 31
1889 34 1912 36 1935 26
1890 - 1913 42 1936 29
1891 43 1914 40 1937 26
1892 48 1915 41 1938 24
1893 45 1916 40 1939 25
1894 41 1917 40 1940 24
1895 41 1918 49 - -
1896 48 1919 50 - -

Pada waktu Jepang menduduki Surakarta, loge ini dibekukan. Kemudian bangunan gedungnya difungsikan untuk kepentingan militer Jepang yang ada di sini. Diperkirakan bangunan loge ini sudah tidak ada lagi ketika terjadi bumi hangus dari pejuang-pejuang Indonesia dalam menghadapi Agresi Militer yang dilancarkan oleh Belanda yang ingin menguasai Indonesia lagi. *** [230420]

Kepustakaan:
Stevens, Dr. Th. (2004). Tarekat Mason Bebas dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
http://www.berghapedia.nl/index.php/Nispen,_Willibald_Dagobert_van
Share:

Hotel Slier Solo

Hotel Slier merupakan salah satu hotel besar yang pernah ada di Surakarta, atau Kota Solo pada masa Hindia Belanda. Dalam buku telepon wilayah Solo (Gouvernement Bedrij Der Telefonie Gids Voor Solo) terbitan September 1930 tercetak bahwa Hotel Slier beralamatkan di Residentielaan, yang sekarang berubah menjadi Jalan Jenderal Sudirman. Lokasi bekas Hotel Slier ini kini menjadi Kantor Pos dan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Solo (gedung yang baru).
Hotel ini didirkan oleh Geertruida Adriana Borger, janda mendiang Willem Jacobus Coers (1831-1888), pada tahun 1897. Sebelumnya, hotel ini masih merupakan sebuah losmen yang dirintis oleh Willem Jacobus Coers, seorang kapten kapal (scheepskapitein).
Losmen yang sudah dirintis oleh Coers dilanjutkan oleh istrinya sepeninggal suaminya pada tahun 1888. Kemudian losmen itu dibangun oleh istrinya menjadi hotel yang megah di zamannya, dan diberi nama Hotel Slier (Hotel Slier te Soerakarta). Ia sekaligus menjadi direkturnya hingga tahun 1910. Lalu digantikan oleh J. van Nouhuys sampai tahun 1926.

Hotel Slier Solo (Sumber: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/)

Bangunan Hotel Slier terdiri atas dua lantai, dan memiliki gaya arsitektur Indische Empire dengan delapan kolom Doric sebagai penopang selasar bawah. Indische Empire adalah gaya arsitektur yang berkembang di Hindia Belanda antara pertengahan abad ke-18 dan akhir abad ke-19. Gaya ini merupakan replika dari Empire Style Neoklasik yang popular di Perancis abad ke-19, yang telah disesuaikan dengan iklim dan material yang ada di Hindia Belanda.
Pengaruh kolonial terlihat mendominasi bangunan Hotel Slier. Pada atapnya terdapat dormer, yaitu jendela atau bukaan lain yang terletak pada atap yang melereng dan memiliki atap tersendiri. Bingkai dormer biasanya diletakkan vertikal di atas gording pada atap utama.
Dalam foto lama, Hotel Slier kelihatan asri dengan rerimbunan pepohonan yang berada di depan hotel tersebut. Sebagai hotel terkemuka di Kota Solo pada zamannya, Hotel Slier sering menjadi tempat menginap para pejabat kolonial, pengusaha China maupun orang penting lainnya selama bertugas atau mengunjungi Kota Solo. Terkadang juga menjadi tempat untuk pertemuan sejumlah orang penting, seperti Dr. Radjiman dengan Mr. Copper Mountain.

Tuan Hartgers di kantornya yang berada di Hotel Slier, 1921 (Sumber: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/)

Suatu terobosan bagus ditempuh pengelola Hotel Slier, yakni penjemputan tamu dari Stasiun Balapan menuju hotel dengan kereta kuda. Penyediaan pelayanan penjemputan yang memadai ini tentu menguatkan minat pengunjung memilih menginap di hotel tersebut.
Selain itu, Hotel Slier juga pernah menjadi kantor dari sejumlah perusahaan yang hadir dan membangun di Kota Solo. Ketika sedang membangun gedung untuk Solosche Electricitiets Maatschappij (SEM), perusahaan ini juga berkantor sementara di Hotel Slier. Setelah selesai, barulah SEM pindah ke gedung barunya yang berada di Purwosari pada 1 Januari 1906. Perusahaan lampu Best Light & Co juga pernah membuka kantor perwakilan sementara di Hotel Slier ketika mempromosikan produknya (Kuntowijoyo, 2000: 143).
Ketika Jepang menduduki Kota Solo, Hotel Slier di bawah kepemimpinan direktur J.F.L. Schrijvers van Zenden dianeksasi oleh pasukan Jepang. Setelah Indonesia merdeka, bangunan hotel tersebut diambil alih oleh Indonesia. Namun, pada saat meletus Agresi Militer Belanda II (Clash II), bangunan Hotel Slier pernah menjadi sasaran aksi pembakaran (bumi hangus) oleh pejuang Indonesia dalam rangka mempersempit ruang gerak Belanda di Solo.
Setelah Belanda mengakui kedaulatan Indonesia dan situasi mulai stabil kembali, bangunan hotel yang tersisa dirombak menjadi Hotel Merdeka. Kemudian di bagian selatan didirikan Kantor Pos.
Setelah bangunan hotel Merdeka sempat mangkrak puluhan tahun, terakhir lahannya dibeli oleh Kantor Perwakilan BI Solo dan dibangun gedung ekstensi BI untuk mengganti gedung BI yang lama. Gedung BI lama yang berada di sebelah utaranya akan dijadikan sebagai museum BI di Kota Solo. *** [210420]

Kepustakaan:
Kuntowijoyo. (2000). Making An Old City A Pleasant Place To Stay For Meneer And Mevrouw: Solo, 1900-1915. Humaniora Volume XII No. 2, hal. 143.
https://www.colonialbusinessindonesia.nl/nl/database-en/catalog/item/hotel-slier-2
https://www.genealogieonline.nl/stamboom-coers/I49.php
Share:

Hotel Rusche Solo

Pada masa Hindia Belanda dulu, Solo menjadi salah satu kota yang menyenangkan untuk tinggal bagi orang-orang Belanda. Hal ini dikarenakan banyaknya fasilitas modern di zamannya dijumpai di Solo, seperti stasiun kereta api, pusat perbelanjaan, perbankan, societeit, dan hotel. Di antara hotel yang ada di Solo adalah Hotel Rusche (Hotel Rusche te Soerakarta).
Dalam Gouvernements Bedrijf Der Telefonie Gids Voor Solo Uitgave Septermber 1930 No. 70 (hal. 5) disebutkan bahwa, Hotel Rusche berada di Lodjiwoeroeng. Lodjiwoeroeng merupakan sebutan nama daerah yang pernah akrab di kalangan masyarakat Solo. Daerahnya dari Gladag ke utara sampai Jembatan Arifin, terus ke barat sampai Pring Gading lalu ke selatan hingga pertigaan Jalan Imam Bonjol – Jalan Slamet Riyadi, dan kemudian ke timur sampai ke Gladag lagi.
Menurut catatan sejarah, Hotel Rusche didirikan pada akhir abad ke-19 oleh Albert Rusche, seorang pengusaha Belanda yang memiliki banyak usaha di Solo. Usahanya diawali dari percetakan dan penerbitan (drukkerij) Albert Rusche & Co., kemudian merambah ke perhotelan, properti (onroerend goed), dan perdagangan ekspor impor.

Hotel Rusche Solo (Sumber: https://ruschefamily.com/)

Albert Rusche lahir di Amsterdam pada 28 Juli 1851 dari pasangan Roelof Rusche dan Alberta Wilhelmina Rusche. Ia menikah dengan Diena Jansen pada tahun 1884 di Bogor. Dari pernikahannya itu, ia dikaruniai 11 anak: Bertha de Wilde, Willem, Jootje, Annie, Albert, Alex, Theo, Dina, Albert Alwin Rusche, Adolph Heinrich Christian Rusche, dan Joopie.
Seperti halnya dengan Hotel Slier, Hotel Rusche merupakan salah satu hotel ternama di Kota Solo. Raja Chulalongkorn dari Siam (kini Thailand) pernah menginap di hotel ini ketika mengunjungi Kraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Pura Mangkunegaran. Berita tentang menginapnya Raja Siam dimuat dalam surat kabar De Locomotief: Samarangsch handles-en advertentieblad, 27 Juni 1901.
Hotel Rusche memiliki dua lantai, dan di atas teras depan (voor galerij) terlihat balkon untuk melihat pemandangan yang ada di depan hotel. Gaya arsitektur bangunan hotel ini pada situasi perkembangan arsitektur pada akhir abad ke 19 di Hindia Belanda, yaitu gaya arsitektur transisi. Pada umumnya arsitektur transisi ini mempunyai bentuk denah yang hampir mirip dengan arsitektur Indische Empire. Hal yang membuat arsitektur peralihan terlihat berbeda dengan Indische Empire adalah tidak adanya pilar bergaya Yunani atau Romawi sebagai ciri khasnya.
Seperti hotel-hotel terkenal di kota-kota besar di Hindia Belanda, Hotel Rusche juga mengiklankan jasa perhotelan yang dimilikinya dengan berbagai fasilitas seperti fasilitas 52 kamar lengkap dengan penerangan listrik, servis makanan, serta garasi yang bisa memuat empat buah mobil.
Bangunan Hotel Rusche yang pernah berdiri di Kota Solo itu sekarang sudah tidak ada lagi. Tinggal menjadi kenangan saja. Bekas bangunan Hotel Rusche kemudian pernah dibangun Bank Harapan Santosa (BHS) Gladag, yang pada awalnya merupakan bangunan tertinggi di Kota Solo dengan sepuluh lantai, tapi karena mengalami pailit bangunan BHS tersebut kemudian dibeli oleh pemilik Group Sun Motor, Imelda Sundoro.
Oleh Imelda Sundoro, bangunan bekas BHS itu ‘disulap’ menjadi bangunan The Royal Surakarta Heritage, sebuah hotel bintang lima di pusat Koa Solo yang memiliki 150 kamar dengan lima tipe kamar yakni superior, deluxe, executive, junior suite, dan executive suite. *** [160420]

Kepustakaan:
Aprianto, Muhammad. (2015). Dinamika Ekonomi Di Surakarta Tahun 1870-1936. Skripsi di Program Stdui Ilmu Sejarah, FIB, UNS
Riyanto, Bedjo. (2019). Siasat Mengemas Nikmat: Ambiguitas Gaya Hidup Dalam Iklan Rokok Di Masa Hindia Belanda Sampai Pasca Orde Baru 1925-2000. Yogyakarta: Lembaga Studi Realino
https://ruschefamily.com/?page_id=147   

Share:

Stasiun Kereta Api Bumiayu

Stasiun Kereta Api Bumiayu (BMA) atau yang selanjutnya disebut dengan Stasiun Bumiayu, merupakan salah satu stasiun kereta api kelas II yang berada di bawah manajemen PT Kereta Api Indonesia (Persero) Daerah Operasi (Daop) 5 Purwokerto yang berada pada ketinggian +236,45 m di atas permukaan laut. Stasiun ini terletak di Jalan Stasiun, Dusun Taloksari Kulon, Desa Dukuhturi, Kecamatan Bumiayu, Kabupaten Brebes, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi stasiun ini berada di sebelah timur Pasar Talok Sumber Rezek ± 230 m, atau sebelah selatan Lapangan Talok ± 400 m.
Pembangunan Stasiun Bumiayu ini bersamaan dengan pembangunan jalur rel kereta api Cirebon-Prupuk/Margasari-Kroya sepanjang 158 kilometer. Pengerjaannya dilakukan oleh Staatsspoorwegen (SS)  di bawah pimpinan SS yang ke-11, Ir. M.H. Damme (1913-1919), pada tahun 1916/1917, dan jalur tersebut merupakan bagian dari proyek jalur kereta api untuk jalur bagian barat (Westerlijnen).
Usulan pembangunan jalur rel Cirebon-Prupuk/Margasari-Kroya ini sebenarnya sudah disetujui dengan dikeluarkannya Undang-Undang 31 Desember 1912 (de Wet van 31 December 1912). Karena keadaan selama Perang Dunia I, pelaksanaan konstruksi jalur rel tersebut menjadi tertunda.Tujuan pembangunan jalur tersebut adalah untuk memperpendek jarak antara Jakarta-Surabaya. Sebelumnya jalur yang ditempuh antara Jakarta-Surabaya selalu melewati daerah Priangan selatan yang berkelok-kelok melintasi perbukitan yang sering menanjak.
Sedangkan, untuk jalur yang melintasi Bumiayu ini memilik ketinggian tertinggi tidak lebih dari 340 m, yang dapat di atasi antara Prupuk dan Purwokerto (56 kilometer) dengan kemiringan tidak lebih dari 14‰ dengan jalur melengkung sejauh 300 m.
Pelaksanaan pembangunan jalur rel Cirebon-Prupuk/Margasari-Kroya dilakukan dari dua arah, yaitu utara (Cirebon) dan selatan (Kroya), serta dibagi dalam tiga tahap. Tahap 1 dari Cirebon hingga Margasari, dan tahap 2 dari Kroya ke Patuguran. Kedua jalur tahap 1 dan 2 itu diresmikan bersamaan pada 1 Juli 1916.
Kemudian tahap 3, pengerjaan jalur Margasari-Patuguran. Jalur tahap 3 ini merupakan jalur terberat karena banyak melintasi jurang, sehingga jalur rel tersebut banyak memiliki lintasan rel dengan jembatan berkolom tinggi. Jalur Margasari-Patuguran ini dibuka untuk umum pada 1 Januari 1917, dan sekaligus diresmikannya stasiun atau halte yang berada di lintasan tersebut. Salah satu stasiun tersebut adalah Stasiun Bumiayu (Treinstation te Boemiajoe). Ketika didirikan, Stasiun Bumiayu masih merupakan sebuah halte (di bawah stasiun kelas III).
Stasiun Bumiayu memiliki 4 jalur kereta api dengan jalur 2 dan 3 sebagai sepur lurus. Jalur 2 digunakan sebagai sepur lurus arah ke Stasiun Kretek hingga Purwokerto, dan jalur 3 difungsikan sebagai sepur lurus arah ke Stasiun Linggapura hingga Cirebon. Selain itu, di stasiun ini juga terdapat 3 sepur badug, dua sisi barat (menyambung di jalur 1 dan 4) dan satu sisi timur (bercabang dari jalur 1).
Stasiun Bumiayu ini tergolong stasiun yang ramai. Banyak kereta api yang melintas maupun singgah di stasiun tersebut. Emplasemennya pun terlihat bersih dan rapi. *** [200818]

Kepustakaan:
Oegema, J.J.G. (1982). De Stoomtractie op Java en Sumatra. Deventer-Antwerpen: Kluwer Technische Boeken
Reitsma, S. A. (1925). Gedenkboek staatsspoor- en tramwegen in Nederlandsch-Indie 1875-1925. Weltevreden: Topografische Inrichting
http://www.studiegroep-zwp.nl/halten/

Share:

Pabrik Gula Kartasura

Kartasura atau yang biasa disebut “Kartosuro” oleh warga setempat, merupakan salah satu kecamatan di wilayah Kabupaten Sukoharjo, letaknya di sebelah barat Kota Surakarta (Solo). Letaknya sangat strategis di mana pertigaan di jalan arteri yang ada di Kartasura merupakan penghubung tiga kota besar antara Surakarta-Yogyakarta-Semarang, sehingga sehari semalam tidak pernah sepi dari aktivitas warga masyarakat. Sebagai sebuah kota kecamatan, perkembangannya lebih pesat ketimbang ibu kota kabupatennya yang berada di Sukoharjo.
Posisi Kartasura pada perbatasan wilayah Kabupaten/Kota menjadikan perkembangannya sangat dipengaruhi oleh perkembangan Kabupaten/Kota sekitar. Kedekatan lokasi dan historis antara Kartasura dengan Surakarta menyebabkan karakteristik perkembangan Kartasura memiliki tipologi yang hampir sama dengan Kota Surakarta, sebagai kota perdagangan yang berakar pada kultur budaya Jawa.
Salah satu bukti akan ‘kejayaan’ Kartasura yang masih bisa kita saksikan adalah situs Pabrik Gula (PG) Kartasura, atau dalam literatur Belanda kerap disebut dengan Suikerfabriek Kartasoera bij Poerwosari in de Vorstenlanden (Pabrik Gula Kartasura dekat Purwosari di Vorstenlanden). Vorstenlanden merupakan satu istilah yang dipakai pada sejarah Jawa untuk menyebut daerah-daerah yang berada di bawah otoritas monarki asli Jawa pecahan Dinasti Mataram Islam: Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Kadipaten Mangkunegaran, dan Kadipaten Pakualaman). Sehingga, pengertian Vorstenlanden yang berkenaan dengan PG Kartasura adalah Kota Surakarta (Solo), karena wilayah Kartasura memang berbatasan dengan Solo.

Bekas PG Kartasura

Situs PG Kartasura terletak di Jalan Permata Raya Dukuh Tegalmulya RT 02 RW 08 Desa Pabelan, Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi situs ini berada di sebelah utara perempatan lampu merah Gembongan ± 300 m, atau berseberangan jalan dengan Menara One Apartment. Lokasi ini juga tak jauh dari situs PG Colomadu yang sekarang menjadi Destinasi Wisata De Tjolomadoe. Jaraknya sekitar 3,5 kilometer. Kedua bekas pabrik gula ini dalam posisi saling membelakangi. PG Kartasura menghadap ke selatan, dan PG Colomadu menghadap ke utara.
Sejauh penelusuran literatur, penulis tidak menemukan dengan pasti kapan PG Kartasura itu didirikan. Hal ini mungkin disebabkan karena sepanjang perjalanan pabrik gula tersebut, mulai dari berdiri, mencapai puncak kejayaan hingga meredup kerap berpindah tangan atau gonta-ganti pemiliknya.
Diperkirakan berdiri pada masa penerapan cultuurstelsel (sistem tanam paksa) dari tahun 1830 hingga 1870. Meskipun di daerah Vorstelanden tidak diberlakukan cultuurstelsel, namun para penyewa tanah (landhuurder) menyukainya. Selain tanahnya subur, juga adanya jaminan keamanan akan tanah yang yang disewa tersebut mengingat tanah tersebut umumnya milik kraton.
Dalam Koloniaal Verslag 1869 Bijlagen Vel. 67 (hal. 350) disebutkan bahwa pada tahun 1868 ada dua alat pabrik diperkenalkan di PG Kartasura, dan akan diujicoba pada pada tahun 1869. Namun akhirnya kedua alat tersebut tidak jadi digunakan. Tetapi secara umum telah menunjukkan adanya kegiatan yang memuaskan di PG Kartasura tersebut pada tahun 1867 dan 1868.

Bekas PG Kartasura

Pemilik awal PG Kartasura ini tidak diketahui dengan pasti. Kepemilikan baru diketahui setelah PG Kartasura ini dioperasionalkan oleh Naamloze Vennotschap (NV) Kartasoera Cultuur Maatschappij. Semula Kartasoera Cultuur Maatschappij merupakan bagian dari Samarangsche Cultuur Maatschappij. Kemudian dalam perjalanannya, Samarangsche Cultuur Maatschappij dalam likuidasi (1885-1892). Likuidasi berkaitan erat dengan masalah finansial. Perusahaan yang dilikuidasi umumnya memiliki likuiditas yang rendah. Artinya, perusahaan tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kewajiban jangka pendeknya. Sebab itu, perusahaan yang dinyatakan likuidasi cenderung memiliki total kewajiban atau utang yang lebih besar dibandingkan dengan total asetnya. Selain itu, perusahaan yang dilikuidasi juga cenderung tidak mampu menghasilkan aliran kas yang cukup.
Situasi ini mengakibatkan Kartasoera Cultuur Maatschappij diambil alih oleh kreditornya. Lalu oleh kreditornya, Kartasoera Cultuur Maatschappij dikelolanya. Nama perusahaan tetap dipertahankan, tetapi terjadi perubahan anggaran dasar perusahaan. Dalam sertifikat Kartasoera Cultuur Maatschappij diterangkan, bahwa Kartasoera Cultuur Maatschappij didirikan berdasarkan Undang-Undang 3 November 1887 dihadapan Notaris J.C.G. Pollonea di Amsterdam, dan disetujui berdasarkan Koninklijk Besluit 3 Desember 1887 No. 26.
Anggaran dasarnya diubah pada 4 Mei 1892 dihadapan Notaris J.C.G Pollonea di Amsterdam melalui tindakan tertanggal 17 November 1892 No. 56 dan 8 Februari 1893 No. 32 dihadapan Notaris B.V. Houthuysen di Semarang. Tindakan ini disetujui berdasarkan Gouverment Besluit tertanggal 8 Maret 1893 No. 6. Kemudian diubah lagi berdasarkan Gouverment Besluit tertanggal 3 Oktober 1910 No. 13 di depan Notaris J.H.A. van Barneveld.
Dari situ diketahui bahwa Kartasoera Cultuur Maatschappij tidak lagi berpusat di Negeri Belanda tapi pindah ke Semarang, dan semenjak itu perusahaan perkebunan mulai menunjukkan geliat PG Kartasura yang dikelolanya. Pada tahun 1899 bangunan pabrik mengalami perbaikan dari sebelumnya. Perbaikan itu disematkan dalam cerobong asapnya dalam tulisan “Kartasoera 1899”. Dari sinilah kemudian banyak orang mengira kalau PG Kartasura ini dibangun pada tahun tersebut.

Bekas PG Kartasura

Pada tahun 1915 Kartasoera Cultuur Maatschappij diakusisi oleh Internationale Crediet- en Handelsvereeniging “Rotterdam” (Internasio), sebuah perusahaan besar milik Belanda dalam bidang ekspor-impor. Dalam kepemilikan yang baru ini, PG Kartasura mengalami perkembangan pesat dalam hal produksi dan penjualannya. Sebagai wujud keberhasilannya, Internasio mengganti bangunan lawas pabrik gula dengan bangunan yang lebih modern di zamannya pada tahun 1920. Langgam Art Deco mewarnai bangunan PG Kartasura sejak saat itu, dan sampai sekarang kemegahan bangunan tersebut masih kelihatan pesonanya.
Pada waktu depresi ekonomi melanda dunia pada tahun 1929, hampir semua negara mengalami kehancuran ekonomi. Suatu zaman yang dikenal dengan malaise ini memporakporandakan kehidupan ekonomi negara, tak terkecuali Hindia Belanda. Hindia Belanda yang baru saja mengalami eforia ekonomi berkat perkebunan dan produksi olahannya harus menghadapi kenyataan pahit. Banyak pabrik gula yang gulung tikar pada waktu itu.
PG Kartasura sedikit masih bisa beroperasi pada waktu itu meski mengalami penurunan volume penjualannya, dan sempat bertahan sampai tahun 1935. Itupun Internasio sejak tahun 1933 sudah tidak membagikan dividennya kepada para pemegang saham.
Setelah Indonesia merdeka, PG Kartasoera dinasionalisasi oleh Pemerintah Republik Indonesia, dan pengelolaan maupun asetnya diserahkan ke PTPN (PT Perkebunan Nusantara). Kompleks pabrik itu kemudian dipecah menjadi dua kepemilikan. Sebagian milik PTPN dan sebagian menjadi milik ABRI.
Pada tahun 1968 lahan milik PTPN dijual kepada PT Karep Bojonoegoro. Kemudian pada tahun 1985, bangunan PG Kartasura dijual lagi kepada PT Pandusata Utama. Setelah itu itu bangunan pabrik gula ini beberapa kali pindah tangan. Terakhir dimiliki oleh PT Sinar Grafindo.
Semasa berhenti beroperasi sebagai pabrik gula dan berubah menjadi gudang dari pemiliknya, bangunan PG Kartasura sempat terlihat menyeramkan. Namun sejak 9 Juni 2018, lahirlah destinasi wisata The Heritage Palace yang merupakan hasil revitalisasi dan pengembangan bekas PG Kartasura.
Destinasi wisata The Heritage Palace tak kalah menariknya dengan De Tjolomadoe yang terlebih dahulu direvitalisasi. Di dalam The Heritage Palace, pengunjung bisa menyaksikan Museum Angkutan yang berisi beberapa mobil antik berbagai merek, beberapa bangunan bersejarah, Museum 3 D, dan juga Omah Walik. Banyak spot menarik yang instagramable bagi pengunjung. *** [200715]

Kepustakaan:
https://repository.overheid.nl/frbr/sgd/18691870/0000420199/1/pdf/SGD_18691870_0000398.pdf
http://rri.co.id/surakarta/post/berita/683681/daerah/the_heritage_palace_wahana_wisata_baru_di_kabupaten_sukohaejo.html
https://www.colonialbusinessindonesia.nl/en/database-en/catalog/item/kartasoera-cultuur
http://www.gahetna.nl/archievenoverzicht/pdf/NL-HaNA_2.20.01.ead.pdf
http://www.stockold.com/site2009/sos-dind-0140.JPG

Share:

Stasiun Kereta Api Wonosobo

Stasiun Kereta Api Wonosobo (WS) atau yang selanjutnya disebut dengan Stasiun Wonosobo, merupakan salah satu stasiun kereta api kelas III/kecilyang berada di bawah manajemen PT Kereta Api Indonesia (Persero) Daerah Operasi (Daop) 5 Purwokerto yang berada pada ketinggian +772 m di atas permukaan laut. Stasiun ini terletak di Jalan Raden Kolonel Karjono No. 66 RT 07 RW 04 Dusun Kliwonan, Desa Wonosobo Barat, Kecamatan Wonosobo, Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi stasiun ini berada di sebelah barat daya Kantor Kelurahan Wonosobo Barat ± 200 m, atau sebelah utara RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo ± 350 m.
Pembangunan Stasiun Wonosobo bersamaan dengan pembangunan jalur rel kereta api Banjarnegara-Selokromo-Wonosobo sejauh 33 kilometer. Pengerjaan jalur rel dan stasiun itu dilakukan oleh Serajoedal Stoomtram Maatschappij (SDS) mulai dari tahun 1916 sampai dengan tahun 1917.
SDS membangun jalur kereta api dan beroperasi di wilayah Banyumas. Jalur SDS dimulai dari Maos, menuju utara melewati Purwokerto (jalur Maos-Purwokerto tidak menyatu dengan jalur milik Staatsspoorwegen). Dari Purwokerto, jalur SDS berlanjut ke Purbalingga, Banjarnegara, dan berakhir di Wonosobo.

Station SDS te Wonosobo (Sumber: http://www.old-indische.com/)

Sehingga, Stasiun Wonosobo ini merupakan salah satu stasiun terminus dari sejumlah stasiun yang dibangun oleh SDS. Pengertian stasiun terminus adalah stasiun yang berada di ujung jalur kereta api. Dalam bahasa Jawa, diistilahkan dengan mêntok, yang artinya tidak dapat terus atau buntu. Jadi, begitu masuk Stasiun Wonosobo, lokomotif akan dilepas, dan dipindah ke depan gerbong yang mengarah ke Banjarnegara lagi.
Jalur rel Banjarnegara-Selokromo-Wonosobo merupakan jalur yang berada di pegunungan, medannya berkelok-kelok dan terdapat banyak tanjakan. Pembangunan jalur rel ini merupakan tahap ketiga dari konsesi yang diberikan oleh Pemerintah Hndia Belanda kepada SDS, dan dalam implementasi di lapangan, pembangunan jalur Banjarnegara-Selokromo-Wonosobo sesuai dengan Government Besluit 22 Juni 1912 No. 12 dibagi dalam dua pengerjaan. Pertama, pengerjaan jalur rel Banjarnegara-Selokromo sepanjang 19 kilometer, dan diresmikan pada 1 Mei 1916. Kedua, pengerjaan lanjutannya dari Selokromo menuju Wonosobo sepanjang 14 kilometer, yang diresmikan pada 7 Juni 1917. Biaya konstruksi sekitar f 88,000 per kilometer (De Inginieur edisi 10 Agustus 1918).
Stasiun Wonosobo memiliki 5 jalur (track) dengan jalur 2 sebagai sepur lurus arah selatan ke Halte Penawangan. Sedangkan, yang arah utara cukup sampai di stasiun ini saja. Jalur 1 digunakan untuk persilangan yang terjadi di stasiun bila ada kereta yang mau memasuki stasiun. Jalur 3 digunakan untuk persiapan kereta api yang akan berangkat dari Stasiun Wonosobo. Jalur 4 digunakan untuk menuju ke depo lokomotif, dan jalur 5 digunakan untuk menuju ke gudang penyimpanan barang.
Dulu, Stasiun Wonosobo tergolong cukup ramai untuk mengangkut dan menyuplai barang kebutuhan dari dan keluar Wonosobo. Selain juga aktivitas penumpang yang akan bepergian dari stasiun ini, dan sebaliknya. Semula, lokomotif yang digunakan menggunakan tenaga uap sehingga bahan untuk menggerakannya menggunakan kayu bakar atau batubara. Seiring semakin berkurangnya atau sulitnya menyediakan kayu atau batubara untuk bahan bakar, maka sekitar tahun 1962 mulai memakai lokomotif berbahan bakar diesel.
Pada tahun 1976, Stasiun Wonosobo sudah tidak melayani penumpang namun tetap operasional untuk angkutan barang sampai dengan tahun 1982. Pada tahun 1982 layanan stasiun ini ditutup total. Hal ini disebabkan dengan semakin usangnya prasarana perkeretaapian yang ada di jalur tersebut. Perjalanan kereta api sering terlambat karena seringnya terjadi kerusakan pada lokomotif, sehingga orang banyak berpindah dengan mengunakan jalan raya.
Kendati stasiun ini menjadi terbengkelai, namun masih beruntung dengan masih adanya wujud bangunan stasiun tersebut, yang menjadi aset PT Kereta Api Indonesia (Persero) dengan nomor register 305/53361/WS/PWT. *** [100420]

Kepustakaan:
Basundoro, P. (2019). Arkeologi Transportasi Perspektif Ekonomi dan Kewilayahan Keresidenan Banyumas 1830-1940an. Airlangga University Press.
Oegema, J.J.G. (1982). De Stoomtractie op Java en Sumatra. Deventer-Antwerpen: Kluwer Technische Boeken
Prayogo, Yoga Bagus., dkk. (2017). Kereta Api di Indonesia: Sejarah Lokomotif Uap. Yogyakarta: Jogja Bangkit Publisher

Share:

Pabrik Gula Comal

Pemalang merupakan salah satu kabupaten yang berada di Jawa Tengah. Letaknya berada di pesisir pantai utara pulau Jawa, di antara Kota Tegal dan Pekalongan. Walaupun Pemalang masih tergolong sebagai kota kabupaten yang kecil, akan tetapi dalam perjalanannya pernah menorehkan sejarah pada masa kolonial Belanda dulu. Tanahnya yang subur menarik perhatian setiap orang yang melintasinya.
Seorang Belanda yang bernama D Haan pernah melakukan perjalanan pada tahun 1622 ke Mataram melewati pesisir utara Jawa. De Haan melaporkan bahwa wilayah Pemalang dan Wiradesa merupakan wilayah yang penuh dengan persawahan yang subur.
Selain itu, Pieter Franssen, seorang utusan VOC, yang juga mengadakan perjalanan pada tahun 1630 dari Semarang, melukiskan bahwa di daerah Pemalang terdapat banyak sawah. Daerah yang subur tersebut dilihat potensinya oleh Pemerintah Hindia Belanda sehingga wilayah Pemalang banyak ditanami tebu, dan menyebabkan didirikannya pabrik-pabrik gula di Pemalang, salah satu di antaranya adalah Pabrik Gula Comal (Suikerfabriek Tjomal).

Bangunan PG Comal antara tahun 1920-1930 (Sumber: https://www.maritiemdigitaal.nl/)

Pabrik gula ini terletak di Jalan Raya Comal Baru Barat, Dusun Plandongan Satu, Desa Ujunggede, Kecamatan Ampelgading, Kabupaten Pemalang, Provinsi Jawa Tengah. Lokasi situ pabrik ini berada di selatan SMK Nusa Mandiri ± 750 m.
Dalam Arsip Nasional Kementerian Pendidikan, Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan Kerajaan Belanda Nomor Arsip: 2.20.30 dijelaskan bahwa bahwa Pabrik Gula (PG) Comal didirikan pada tahun 1857 oleh Oost-Indische Maatschappij van Administratie en Lijfrente te Batavia. Pada tahun 1872 PG Comal dibeli oleh Jonkheer Frederik Joan Theodoor van der Wijck (1843-1874).
Tak lama setelah PG Comal dibeli, Van der Wijck meninggal dunia pada 24 Desember 1874 di usia 31 tahun. Pada saat meninggal, Van der Wijck belum menikah. PG Comal diwariskan kepada tiga orang keluarga maupun kerabatnya, yaitu Jonkheer Cornelis Charles van der Wijck (abang kandung), Willem Hendrik Teding van Berkhout (abang ipar), dan F.W. des Tombe.

PG Comal (Sumber: https://cs.nga.gov.au/detail.cfm?IRN=204244)

Ketiga pemilik baru PG Comal kemudian mengangkat Samuel Cornelis van Musschenbroek sebagai administratur. Sebutan itu berasal dari bahasa Belanda, administrateur, yaitu istilah untuk pengelola perkebunan atau kepala pabrik gula. Ketika itu, van Musschenbroek masih berusia dua puluh satu tahun. Ibunya, Maria Teding van Berkhout (1813-1901), berasal dari keluarga yang memiliki pabrik.
Van Musschenbroek berhasil membawa PG Comal semakin berkembang. Kepiawaiannya dalam mengelola pabrik gula tersebut dilandasi oleh kemampuannya dalam melakukan komunikasi dengan para petinggi Hindia Belanda pada masa itu, di samping dia juga pernah mengikuti pelatihan dalam mengelola pabrik gula di Jerman. Apa yang dia pelajari di Jerman, dia praktekkan di Jawa. Dia juga berperan mendirikan stasiun penelitian industri, memelopori pembentukan Algemeen Syndicate van Suikerfabriekanten.
PG Comal ketika itu merupakan perusahaan murni yang pada tahun 1898 diubah menjadi perseroan terbatas dengan nama NV Maatschappij tot Exploitatie van Suikeronderneming Tjomal. Modalnya saat itu sebesar 1 juta gulden yang terbagi dalam 400 saham di mana masing-masing senilai 2.500 gulden.

Laboratorium PG Comal (Sumber: https://www.rijksmuseum.nl/)

Pada tahun 1919 bangunan PG Comal mengalami renovasi. Arsitek yang dipercaya untuk mendesain bangunan PG Comal yang baru adalah Herman Thomas Karsten, seorang arsitek Belanda yang berkarya di Hindia Belanda.
Meskipun krisis politik dan ekonomi selama periode antara dua perang dunia, perusahaan gula ini telah berulang kali membaik dan berkembang. Lingkungan pabrik pun juga dilengkapi dengan berbagai sarana prasarana dalam menunjang kebutuhan karyawannya, seperti perumahan, taman maupun kolam renang.
Pada Mei 1940, sebuah akta disahkan dihadapan notaries Hofstede di Semarang, di mana kedudukan pengelolaan PG Comal dipindahkan dari Den Haag ke Semarang. Setelah invasi Jepang, pekerjaan berlanjut untuk beberapa waktu di bawah pengawasan Jepang. Direktur PG Comal F.W. des Tombe dan staf yang berasal dari Belanda atau Eropa ditangkap dan dipenjarakan oleh otoritas Jepang di kamp bersama yang lainnya.

Rumah dinas Adiministrateur Samuel Cornelis van Musschenbroek (Sumber: https://www.rijksmuseum.nl/)

Pada waktu Indonesia merdeka, terbersit keinginan pemiliknya untuk mengoperasikan pabrik gula tersebut. Akan tetapi karena adanya gangguan dari para pejuang-pejuang kemerdekaan, pemilik semula tidak bisa mendapatkan kembali kendali penuh perusahaan sampai April 1949.
Pada saat Agresi Militer Belanda II atau dikenal dengan Operatie Kraai (Operasi Gagak), PG Comal mengalami kerusakan. Situasi seperti ini semakin mempersempit hasrat pemilik semula untuk menguasai lagi. Bahkan Pemerintah Indonesia akhirnya menasionalisasi perusahaan tersebut pada tahun 1958.
Kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1963 tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah N. 175 Tahun 1961 (Lembaran Negara Tahun 1961 No. 200) Tentang Pendirian Perusahaan Perkebunan negara Kesatuan Perintis, sisa PG Comal diserahkan kepada Perusahaan Perkebunan Gula Negara Sragi.
Pada tahun 1970-an PG Comal mengalami gulung tikar, seiring dengan berkurangnya bahan baku tebu. Di samping semain menyempitnya lahan pertanian, juga kurangnya insentif bagi petani untuk menanam tebu kembali di daerah sana.
Kini, aset PG Comal menjadi milik dan wewenang PT Perkebunan Nasional (PTPN) IX yang berkantor pusat di Semarang, Jawa Tengah. *** [060420]

Kepustakaan:
Knight, G.R.  (2013).  Commodities and colonialism : the story of big sugar in Indonesia, 1880-1942.  Leiden :  Brill
http://colonialarchitecture.eu/obj?sq=id%3Abt%3A261
http://www.gahetna.nl/archievenoverzicht/pdf/NL-HaNA_2.20.39.ead.pdf
https://www.genealogieonline.nl/stamboom-driessen/I73156592.php
https://www.genealogieonline.nl/stamboom-driessen/I73328697.php
https://www.genealogieonline.nl/stamboom-driessen/I7352856.php

Share:

Terpopuler

Mutiara Kekunaan

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Blog Archive

Label

Statistik Blog

Sahabat Kekunaan

Hubungi Kami